Sebagian Warga Pesimistis Pandemi Mereda dalam Waktu Dekat
Kesadaran terhadap ancaman penularan Covid-19 sulit terwujud di kalangan warga. Alih-alih mengarah ke situasi normal baru, warga justru khawatir angka penularan semakin meningkat.
Oleh
Aditya Diveranta
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 yang melanda negara di dunia belakangan dikaitkan dengan adanya kondisi ”normal baru”. Sejumlah peneliti memprediksi adanya perubahan pola hidup sosial besar-besaran setelah pandemi mereda. Selama tiga bulan pertama 2020 saja, Covid-19 memaksa setiap orang menjaga jarak fisik dan cenderung berkegiatan dari rumah.
Kondisi serupa pun terjadi di Indonesia setidaknya dua bulan belakangan. Meski begitu, instruksi jaga jarak fisik tampak tidak bertahan lama. Pada hari ini saja, Jumat (15/5/2020), situasi jalan raya dan sejumlah lokasi di Jakarta kembali ramai oleh aktivitas warga.
Selama lima hari dalam sepekan terakhir, Kompas mengamati aktivitas kerumunan warga di sejumlah lokasi. Apabila mengamati wilayah Jalan Raya Condet dan Jalan Raya Kramatjati di Jakarta Timur, situasi tampak ramai menuju pusat kota pada pagi hari. Begitupun di Jalan Raya Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat, kondisi serupa terjadi pada pagi dan sore.
Rita Damayanti (29), petugas fisioterapi medis yang berangkat dari wilayah Jakarta Timur, membenarkan aktivitas di luar semakin ramai pada pekan ini. Ia yang berangkat dari Cawang, Jakarta Timur, mengalami kepadatan kendaraan ketika berangkat menuju rumah sakit umum di Jakarta Pusat.
”Tadi pagi, jalan jadi sangat padat begitu. Naik bus Transjakarta rutenya pun dipaksa berputar-putar. Ini orang-orang sudah pada kerja ke kantor lagi mungkin, ya,” ujar Rita keheranan.
Febrina Ramadhanti (31), pegawai gerai makanan ini, juga sempat terjebak macet di kawasan Lenteng Agung, Pasar Minggu, dan kawasan perkantoran Kuningan. Kepadatan terjadi selama dua hari berturut-turut saat dirinya berangkat ke kantor.
Pesimistis
Sebagian warga pesimistis melihat kondisi Jakarta yang kian ramai di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Febrina, misalnya, melihat masih banyak warga yang berboncengan sepeda motor dan tidak memakai masker.
Begitu pula anjuran untuk menjaga jarak fisik. Menjelang sore saat berbuka puasa, sebagian warga berkerumun di lapak dadakan membeli hidangan takjil. Tidak ada sekat antarwarga, tidak ada juga teguran dari aparat yang berpatroli sore itu.
Julian Alfiandri (30) juga melaporkan kerumunan warga kerap terjadi di wilayah Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat. Kerumunan itu timbul menjelang sore saat warga mencari hidangan takjil. ”Memang kalau sore banyak yang berjualan di pinggir jalan dekat Pasar Taman Aries Kembangan. Namun, kawasan itu jadi lebih ramai belakangan ini, sebagian warga juga ada yang tidak pakai masker,” tutur Julian.
Melihat kondisi itu, sebagian warga juga pesimistis kondisi pandemi segera berubah normal di Indonesia. Sebab, aturan berjaga jarak fisik antarwarga saja seakan sulit sekali dipatuhi.
Amelia (46), pegawai administrasi sekolah swasta di Jakarta Selatan, menyoroti kerumunan warga saat tutupnya sebuah gerai makanan waralaba di pusat kota, pekan lalu. ”Kondisi kerumunan seperti itu malah tidak ditindak tegas. Padahal, banyak orang berusaha menahan kebosanan di rumah agar tidak tertular Covid-19,” ucapnya.
Akademisi dan Praktisi Klinis dari Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, menilai kelonggaran yang terjadi belakangan ini karena implementasi PSBB yang tidak konsisten di lapangan. Ari pun melihat sendiri kondisi di sejumlah jalan protokol kini semakin ramai dengan kendaraan dan aktivitas warga.
Apabila mengacu ke Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 Pasal 13, pelaksanaan PSBB meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi dan pembatasan kegiatan lainnya, kecuali terkait aspek pertahanan dan keamanan. Dari ketentuan itu saja, instruksi pembatasan kegiatan masih dilanggar di sejumlah sektor.
”Kita mesti mengakui, ada celah bagi warga untuk masih berkegiatan selama PSBB. Sebagian warga juga masih bekerja, beraktivitas dengan berbagai alasan dan tidak bisa melaksanakan PSBB secara optimal,” ujar Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.
PSBB belakangan juga tidak disertai pengawasan tegas menjelang momen Lebaran di Jakarta. Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yugo mengatakan, petugas di lapangan tidak bisa melarang warga untuk bepergian dari satu daerah ke daerah lain jika masih di lingkup Jabodetabek.
”Kalau hanya sekitar Jakarta, selama masih nenatuhi aturan PSBB, kami tidak melarang. Namun, kami akan mengawasi agar jangan sampai ada orang yang melakukan takbir keliling dan open house. Itu juga akan rawan untuk PSBB sekarang ini,” tutur Sambodo.
Terkait itu, ahli epidemiologi dari UI, Tri Yunis Miko Wahyono, menyarankan agar pemerintah menentukan sikap yang pasti terkait pergerakan warga menjelang Lebaran. Jika membiarkan warga bepergian di wilayah dalam kota, berarti kita harus siap mengambil risiko kasus Covid-19 meningkat. Ia pun memaklumi hal ini sulit berjalan karena tradisi silaturahmi sudah sangat melekat dengan Lebaran.
Ari Fahrial menambahkan, keterbatasan tenaga medis juga harus menjadi pertimbangan dalam kebijakan pelonggaran PSBB. Hingga saat ini, seluruh rumah sakit rujukan juga sedang dipenuhi pasien Covid-19. Tentunya, semua orang tidak ingin jumlah pasien positif dan meninggal terus bertambah.
Dalam jumpa pers virtual dari Geneva, Swiss, Rabu (14/5/2020), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan tiap negara untuk menghadapi virus ini dalam jangka panjang. ”Penting untuk meletakkan ini di atas meja: virus ini mungkin hanya menjadi virus endemik lain di komunitas kita dan virus ini mungkin tidak akan pernah hilang,” kata pakar kedaruratan WHO Mike Ryan.
Publik saat ini pasti mengharapkan agar Covid-19 bisa segera teratasi. Namun, kita perlu mempersiapkan diri untuk hadapi perang panjang dengan Covid-19. ”Saya pikir penting bagi kita untuk realistis dan saya tidak berpikir siapa pun dapat memprediksi kapan penyakit ini akan hilang,” ungkap Ryan.
Ryan menambahkan, meski nanti telah ditemukan vaksin, tetap dibutuhkan upaya besar-besaran untuk tahap implementasi. Saat ini lebih dari 100 calon vaksin dikembangkan, sebagian telah memasuki tahap uji klinis. Contohnya, penyakit menular seperti campak telah ditemukan vaksinnya, tetapi sampai kini penyakit tersebut belum bisa dieliminasi dari muka Bumi.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus masih optimistis bahwa dunia dapat mengendalikan pandemi ini dengan upaya yang keras. ”Arahnya ada di tangan kita dan ini adalah urusan semua orang. Kita semua harus berkontribusi untuk menghentikan pandemi ini.”