Keinginan pulang kampung kadang membutakan realita. Bahkan, ketika pandemi Covid-19 belum usai, sebagian warga nekat menerobos larangan pemerintah.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
Saat larangan mudik dikeluarkan pemerintah, tak sedikit warga masih nekat pulang ke kampung halaman. Kekhawatiran akan penularan Covid-19 mereka kesampingkan karena mereka tak punya banyak pilihan.
Kamis (14/5/2020) pagi, Sayroji (59) terlihat linglung. Sambil menggendong tas ransel dan menggeret koper, ia berjalan di antara gerai-gerai penjual makanan di Stasiun Gambir yang saat itu tengah tutup. Tampaknya sudah sekitar dua jam ia menghabiskan waktu sambil berputar-putar di sekitar stasiun.
Ia masih memendam rasa kecewa lantaran gagal menaiki Kereta Api Luar Biasa pukul 08.30 ke Cirebon hari itu. Bukan karena ketinggalan kereta, melainkan karena ditolak oleh petugas yang berjaga di Posko Gugus Tugas Covid-19 Stasiun Gambir. Alasannya, ia tak termasuk dalam kriteria yang dikecualikan melakukan perjalanan selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Namun ia tak patah arang. Ia langsung menghubungi keluarganya yang ada di Cirebon untuk menjemputnya ke Jakarta menggunakan mobil pribadi. ”Yakin lah bisa lewat titik pengecekan. Sudah saya kirimkan hasil rapid test dan surat-suratnya buat ditunjukkan ke petugas di jalan,” katanya.
Sayroji memilih pulang ke Cirebon karena perusahaannya telah memberlakukan libur. Da bekerja pada salah satu perusahaan migas di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Di Jakarta, ia hanya melakukan transit sejak mendarat di Bandara Soekarno-Hatta pada Rabu (13/5/2020) sore.
”Saya menginap di Jakarta buat ikut kereta api Kamis pagi, tetapi malah tidak diperbolehkan. Padahal, saya punya hasil negatif Covid-19 dan surat dari perusahaan,” katanya.
Sayroji sangat yakin bahwa dirinya terhindar dari virus SARS-CoV-2 selama berada di Teluk Bintuni karena tempat kerjanya berada di pedalaman. Untuk menuju ke sana saja, ia harus menyeberang menggunakan speed boat selama dua jam. Baginya, mustahil ada karyawan yang terpapar Covid-19 di tempat terpencil itu.
Padahal, ia mengungkapkan bahwa setiap empat minggu sekali terjadi rotasi karyawan di tempat kerjanya. Artinya, karyawan di sana akan pulang ke daerahnya masing-masing setelah empat minggu bekerja, dan kembali lagi setelah empat minggu libur.
”Sebelum terjadi pandemi, kami libur hanya dua minggu. Kebanyakan karyawan itu pulangnya transit ke Jakarta dulu. Baru nanti ada yang menyebar ke Jawa, Sumatera, dan daerah lain,” ungkap Sayroji.
Sistem rotasi tersebut pula yang membuat Sayroji tak punya pilihan selain pulang ke rumah. Pasalnya, ia tinggal di asrama secara bergantian dengan karyawan yang lain. Jika tiba waktu libur, kamar yang ia tempati harus digunakan oleh karyawan yang kembali bekerja. Jika menetap di Bintuni, artinya ia harus mengontrak rumah atau indekos di perkampungan warga.
Sayroji juga meyakini bahwa keluarga dan warga di kampungnya tak akan terusik dengan kedatangannya. Terlebih, ia menganggap penularan Covid-19 di kampungnya tak segenting yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya.
Korban PHK
Dibukanya perjalanan kereta api luar biasa juga membuka peluang bagi Putra untuk pulang ke kampungnya di daerah Klaten, Jawa Tengah. Sekitar satu setengah bulan yang lalu, ia hidup tanpa arah di Kota Tangerang, Banten setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sebagai warga pendatang, ia juga tidak berhak menerima bantuan sosial apa pun selama berada di tempat tinggalnya. Ia menganggap, pulang kampung adalah pilihan yang paling realistis. ”Satu setengah bulan sudah saya dan istri tak punya pendapatan. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke rumah,” katanya.
Syarat untuk pulang ke kampung halaman pun relatif mudah bagi Putra. Ia hanya perlu menyiapkan surat keterangan dari kelurahan tempat tinggalnya di Tangerang dan Klaten. Selain itu, surat keterangan sehat dan hasil negatif Covid-19 juga perlu dilampirkan.
Sebelum memutuskan pulang, Putra sudah menghubungi keluarga dan ketua RT di kampungnya. Menurut dia, baik keluarga maupun ketua RT tidak keberatan menyambut kepulangan Putra dan istrinya. Ia juga mengaku akan melakukan karantina mandiri di rumah selama 14 hari.
Sementara itu, di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, aktivitas kedatangan penumpang terus terjadi pada Kamis siang. Tak sedikit penumpang, terlihat keluar dari pintu bandara 2F sambil membawa tas ransel atau koper lebih dari satu.
Abdurrohman, misalnya, siang itu baru saja mendarat setelah terbang dari Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Ia merupakan pekerja migran Indonesia yang bekerja pada sebuah kapal pesiar di perairan Australia. ”Tadi kami dari Denpasar rombongan, ada lebih dari 100 orang dengan tujuan akhir beragam,” kata pria asal Jakarta tersebut.
Selain Abdurrahman, ada juga Rian yang berada di penerbangan dari Denpasar. Siang itu ia tampak duduk di kursi tunggu Terminal 2F sambil menunggu penerbangan lanjutan ke Medan, Sumatera Utara. Di sampingnya terdapat troli yang berisi tiga tas ransel. Rian adalah korban PHK dari salah satu perusahaan perhotelan di Bali. ”Di tempat saya, lebih dari 50 persen karyawan terkena PHK. Sudah dua bulan saya tanpa pekerjaan di Bali,” katanya sambil berjalan memasuki pintu bandara.
Ia tak punya pilihan selain harus pulang ke kampung halamannya di Medan lantaran sudah dua bulan mendekam di Denpasar tanpa penghasilan apa pun. Meski begitu, Rian tetap waswas jika nantinya membawa dan menularkan virus kepada keluarga di kampung.
Kepulangan Rian bukan merupakan keputusan sepihak. Sebelumnya, ia telah berdiskusi dengan keluarga bahwa ia harus pulang agar bisa bertahan hidup. Keputusan tersebut akhirnya diambil, tepat 10 hari menjelang Hari Raya Idul Fitri.