Menahan Rindu Mudik demi Kemaslahatan Saat Pandemi
Di balik masa pandemi Covid-19 yang tak tentu, ada warga yang menahan rindu di rumah untuk tidak mudik ke kampung halaman. Semua itu dilakukan demi kepentingan yang lebih besar, yakni mencegah penularan Covid-19.
Bosan dan mati gaya, begitulah kira-kira aktivitas yang dijalani Pratiwi Sulistiyani (27) hampir sebulan ini. Dia berkeras untuk tetap di rumah selama instruksi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dari pemerintah.
Beberapa hari menjelang Ramadhan, Selasa (19/5/2020), pegawai kantoran di Jakarta ini biasanya mudik ke Bantul, Jawa Tengah. Namun, kondisi pandemi Covid-19 memaksanya tetap di rumah. Dia pun terpaksa menahan rindu demi kesehatan dirinya dan orangtua.
”Aku geram sekali karena banyak orang yang memaksakan mudik saat situasi begini. Padahal, perantau kaya aku dan beberapa temanku susah payah menahan rindu untuk pulang kampung,” ujar Pratiwi saat dihubungi Selasa sore.
Baca juga: Memindahkan Ruang Pertemuan ke Dunia Maya Saat Pandemi
Kondisi yang dialami Pratiwi mungkin mewakili sebagian warga saat ini. Menjelang Lebaran, warga telah terbiasa menjalani tradisi pulang ke kampung halaman. Kini, masyarakat dipaksa untuk tetap di rumah demi mencegah penularan Covid-19.
Seperti diketahui sebelumnya, virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, mampu menular dengan cepat melalui tetesan kecil saat batuk dan bersin (droplets). Sehingga kondisi kerumunan orang dalam jarak yang sangat dekat perlu dihindari.
Satu orang positif Covid-19 mampu menularkan virus minimal pada dua orang. Ditambah lagi, keberadaan virus ini bisa menjadi sangat mematikan untuk sebagian orang yang berusia lanjut dan memiliki penyakit penyerta.
Karena risiko itu, Hasna Azizah (22), mahasiswi di Yogyakarta yang biasa mudik ke Jakarta, kini pun terpaksa untuk tidak memaksakan pulang dan bertemu orang tua. Dia khawatir kepulangannya justru riskan membuatnya menjadi orang dengan tanpa gejala (OTG) Covid-19.
Baca juga: Mereka Bergerilya di Pintu Masuk Sumatera
Baik Pratiwi dan Hasna kini lebih banyak bertelekonferensi lewat panggilan video. Mereka mengakui, penggunaan layanan panggilan video kian intens selama Ramadhan dan saat di rumah saja.
Pratiwi misalnya, sore ini baru saja menggunakan aplikasi telekonferensi untuk mengontak kawan-kawan alumni semasa berkuliah di sebuah universitas di Bogor, Jawa Barat. Penggunaan kuota internet pun menjadi semakin boros.
Hasna juga memanfaatkan panggilan video untuk berinteraksi dengan sejumlah saudara dari Jakarta dan Bogor. Dia yang kerap bertelekonferensi hampir setiap hari mengaku banyak terbantu dengan teknologi saat ini.
Menurut dia, teknologi virtual saat ini berperan sebagaimana istilah ”mendekatkan orang-orang yang jauh”. ”Ramadhan tahun ini, keluarga di rumah terpaksa silaturahmi secara virtual. Karena kemungkinan tahun ini keluarga dari Jakarta dan Bogor tidak akan mudik, jadinya kami makin sering bersilaturahmi virtual.
Baca juga: Berpuasa di Tengah Wabah
Situasi baru
Guru Besar Sejarah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, menjelaskan, silaturahmi virtual saat ini menjadi situasi baru yang terpaksa dijalani orang-orang sedunia. Cara itu dianggap mendukung langkah pembatasan sosial yang dapat mencegah penularan Covid-19 (Kompas, 25/4/2020).
Dalam rangka menjalankan prinsip maqashid al-syari’ah, khususnya dalam
hifz al-nafs atau memelihara jiwa, seyogianya rencana dan niat untuk berkumpul di kala pandemi Covid-19 ditunda. Azyumardi menyebutkan hal tersebut juga berlaku untuk kegiatan mudik.
”Silaturahmi Ramadhan dan Idul Fitri untuk sementara mungkin cukup dilakukan secara virtual. Kemajuan teknologi komunikasi saat ini memungkinkan berbagai bentuk silaturahmi; tidak hanya lewat pesan kata dan kalimat tertulis atau lewat suara, tetapi juga dengan gambar live melalui berbagai media sosial,” ujarnya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, juga mengingatkan bahwa saat ini umat Muslim harus mengedepankan prinsip melawan kemudaratan. Virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, dianggap sebagai kemudaratan yang harus dilawan. Cara perlawanan terbaik saat ini adalah dengan menjaga kesehatan di rumah dan melaksanakan pembatasan sosial.
”Dalam kondisi sekarang ini, kedepankan prinsip ’La Dharara wa Laa Dhirara. Jangan melakukan sesuatu yang menimbulkan kemudaratan atau kerugian diri sendiri, keluarga, dan orang banyak. Saatnya mencoba mengerem kegiatan berkerumun, termasuk mudik,” tutur Haedar.
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asronun Ni\'am Sholeh menegaskan, perlawanan terhadap kemudaratan saat ini menjadi wajib hukumnya jika dibandingkan mengejar ibadah yang sifatnya sunah. Maka itu, beberapa rutinitas yang biasa umat Muslim lakukan, seperti shalat Tarawih, mengaji, mendengarkan khotbah di masjid, bahkan mudik, untuk sementara dapat dilakukan di rumah demi mencegah penularan pandemi.
”Pada masa seperti ini, insya Allah, diamnya kita di rumah dengan tujuan mencegah penularan itu sendiri dapat dikatakan sebagai ibadah. Begitu pun dengan ibadah di rumah, insyaallah tidak akan mengurangi keutamaan dan nilai ibadah di sisi Allah,” ungkapnya.
Baca juga: Menjalani Ramadhan di Tengah Pandemi
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar menyampaikan, semua orang saat ini sedang menahan kerinduan yang sama untuk tidak mudik. Kerinduan itu sebaiknya ditahan demi kebaikan yang lebih besar. Terutama apabila masih memiliki orangtua, sebaiknya kurangi interaksi fisik dan kurangi bepergian.
”Tahanlah kerinduan (mudik) itu demi kebaikan bersama. Kita semua ingin mudik dan bersilaturahmi dengan kerabat dekat, tetapi kalau hal ini justru riskan menularkan penyakit, sebaiknya jangan dilakukan. Manfaatkanlah teknologi yang ada sekarang untuk menjaga silaturahmi, terutama pada masa pandemi seperti sekarang,” ujarnya.