Sudah hampir tiga bulan Indonesia berjuang melawan Covid-19. Cemas, pengorbanan ini bisa berakhir sia-sia.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
Hampir tiga bulan, rakyat Indonesia berjuang membantu bangsa ini berperang melawan virus korona tipe baru penyebab Covid-19. Frustrasi, bosan, kesal, hingga marah merupakan hal lumrah yang tak bisa disembunyikan ketika manusia sebagai makhluk sosial yang pada hakikatnya butuh interaksi sosial terkurung di rumah.
Sayangnya, perjuangan itu kini dirasa akan berakhir sia-sia. Tak ada happy ending. Padahal, mereka sudah berbulan-bulan melawan ego, membatalkan berbagai agenda atau kegiatan, bahkan menunda rencana liburan, hingga resepsi pernikahan demi bersama-sama menyelamatkan Indonesia dari ancaman pandemi Covid-19.
Di saat merasa perjuangan mereka tak lagi dihargai, baik oleh pemerintah dengan segala inkonsistensi kebijakannya maupun oleh sebagian warga yang masih gemar berkumpul, Gita Sere Hutahaean (23), warga Tambora, Jakarta Barat, ikut melambungkan #indonesiaterserah di media sosialnya. Sudah tak ada lagi cara lain, selain pasrah dan ikut meramaikan tagar satiran publik itu lantaran dia hanya rakyat biasa yang kebetulan saat ini berstatus mahasiswa.
Baginya, perjuangan bangsa Indonesia melawan virus korona tipe baru penyebab Covid-19 ibarat rusa menanduk gunung. Tanduk patah, gunung tak juga berpindah.
Ada beberapa hal yang membuat perempuan asal Medan, Sumatera Utara, itu, kecewa. Salah satunya, di saat belum ada kepastian pandemi ini akan berakhir, wacana pelonggaran PSBB mulai gencar dikumandangkan pemerintah. Presiden Joko Widodo meminta masyarakat hidup berdampingan dengan korona.
Pernyataan hidup berdampingan dengan korona dinilai sebagai salah satu bentuk inkonsistensi dari pemerintah. Sebab, Gita meyakini pemerintah paham dan sadar bahwa virus korona tipe baru penyebab Covid-19 merupakan ancaman nyata yang membahayakan jutaan nyawa warga Indonesia. Bukti itu sudah terlihat dari penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia yang masih terus terjadi dari hari ke hari.
Data jumlah kasus positif Covid-19 yang dirangkum dari BNPB, KawalCOVID-19, dan pemberitaan Kompas, hingga Rabu (20/5/2020) pukul 02.40 sebanyak 18.496 kasus. Hingga Rabu dini hari itu ada penambahan 486 kasus positif Covid-19. Mereka yang terjangkit Covid-19 dan masih dirawat berjumlah 12.808 kasus, yang sudah sembuh ada 4.467 orang, dan yang meninggal 1.221 kasus.
”Pengorbanan saya tidak ada artinya dibandingkan pengorbanan tim medis. Mereka pertaruhkan nyawa. Betapa pedihnya kesia-siaan ini mungkin lebih tepat dijawab oleh mereka,” kata Gita, Selasa (19/5/2020), di Jakarta.
Wacana pelonggaran PSBB sudah dibantah Presiden Joko Widodo. Ia menegaskan bahwa sampai saat ini PSBB masih dijalankan dengan ketat. Skenario pelonggaran yang disiapkan baru akan mulai diterapkan saat kondisi faktual Covid-19 menurun signifikan dan ajek di masyarakat.
Namun, di daerah, potensi pelonggaran PSBB menguat. Di Kota Bekasi, Jawa Barat, pelonggaran PSBB akan dimulai saat tahap tiga PSBB berakhir pada 26 Mei 2020. Syaratnya, kasus positif Covid-19 terus melandai dan kelurahan zona hijau terus bertambah. Hingga Selasa (19/5/2020), kelurahan yang sudah dinyatakan bebas Covid-19 atau masuk zona hijau terus meningkat dari awal tinggal 8 kelurahan menjadi 38 kelurahan.
Di Tangerang Selatan, Banten, PSBB diperpanjang 14 hari hingga 31 Mei 2020. Namun, sanksi bukan jadi fokus utama. Warga diajak menumbuhkan gaya hidup baru dengan beradaptasi di tengah pandemi. Penerapan protokol kesehatan dengan membiasakan warga menjaga jarak, pakai masker, dan rajin mencuci tangan didorong sebagai bagian dari new normal.
Prematur
Dorongan hidup new normal ditanggapi pesimistis oleh sebagian sukarelawan dari Bekasi Lawan Covid-19. Selama masa PSBB, ajakan agar warga mematuhi PSBB masih diabaikan warga. Bagi mereka, mustahil warga disiplin jika sosialisasi minim dan tanpa sanksi.
Wacana pelonggaran PSBB juga melukai perjuangan para sukarelawan. Padahal, sejak awal PSBB diterapkan terutama di Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sukarelawan Bekasi Lawan Covid-19 menilai kebijakan itu setengah hati.
Alasannya, PSBB diterapkan tanpa terlebih dahulu mempersiapkan jaring pengaman sosial. Situasi ini sempat dikhawatirkan bisa menimbulkan kekacauan massal. Sebab, warga dipaksa tinggal di rumah tanpa terlebih dahulu dibekali jaring pengaman sosial.
”Saat warga sudah jengah terhadap protokol yang tidak jelas, ada tumpang-tindih kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di satu sisi bantuan sosial juga tidak merata, sulit meminta warga mematuhi protokol Covid-19,” kata Koordinator Bekasi Lawan Covid-19 Hendro Rahmandani.
Saat warga sudah jengah terhadap protokol yang tidak jelas, ada tumpang-tindih kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di satu sisi bantuan sosial juga tidak merata, sulit meminta warga mematuhi protokol Covid-19.
Lahirnya komunitas Bekasi Lawan Covid-19 tak lepas dari lambatnya respons pemerintah daerah di Bekasi menghadapi Covid-19. Komunitas ini lahir dengan tujuan awal membantu pemerintah daerah menyadarkan warga agar patuh pada protokol Covid-19. Mereka kemudian memperluas jangkauan dengan memproduksi alat perlindungan diri hingga mendampingi warga membangun ketahanan pangan di masa sulit pandemi.
Komunitas Bekasi Lawan Covid-19 hanya contoh kecil bangkitnya solidaritas sosial yang tumbuh di kalangan akar rumput. Gerakan senyap dengan konsep rakyat bantu rakyat kian menyebar dan masif berjalan hingga seluruh pelosok Nusantara.
Fenomena ini setidaknya terekam dalam liputan harian Kompas menyambut Idul Fitri 1441 Hijriah. Warga kian aktif menggalang bantuan penanganan pandemi dengan berderma kepada warga yang membutuhkan. Data laporan Legatum Prosperity pada 2019 menempatkan Indonesia di urutan kelima negara dengan modal sosial tertinggi.
Kebangkitan solidaritas sosial yang relevan dengan nilai-nilai Pancasila jadi modal sosial yang semestinya diperkuat dan terus dirawat pemerintah dan diorkestrasi agar searah sehingga bantuan yang digalang tepat sasaran. Tujuannya, demi menjaga kepercayaan publik agar anggapan rakyat bantu rakyat dan tudingan ketidakberpihakan pemerintah terhadap warganya tak perlu jadi satiran publik yang menggema di media sosial.