Kompak Menjaga Diri di Masa Pembatasan Sosial Berskala Lokal
Warga Jakarta di lingkungan zona merah Covid-19 berupaya saling bantu demi melalui pembatasan sosial berskala lokal. Hal ini dilakukan demi segera menyudahi penularan Covid-19.
Oleh
Aditya Diveranta
·5 menit baca
Hiruk pikuk warga baru tuntas setelah adanya tes cepat atau rapid test untuk mendeteksi virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) di RW 009 Kelurahan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (10/6/2020). Sekitar pukul 14.00, Ketua RW 009, Kosasih, meminta warga agar segera bubar dan kembali ke lingkungan rumah masing-masing.
”Pak, Bu, langsung kembali ke rumah masing-masing setelah rapid test. Sebaiknya kurangi kegiatan di luar selama masa pembatasan sosial. Kita sama-sama lelah karena menjadi wilayah zona merah penularan Covid-19 melulu,” kata Kosasih.
Begitulah aktivitas Kosasih hampir selama sepekan terakhir. Wilayah RW 009 yang diurusnya adalah satu dari 66 wilayah RW zona merah penularan Covid-19 di Jakarta. Sejumlah wilayah tersebut kini berjuang menjalani protokol jaga jarak fisik secara ketat demi memutus rantai penularan Covid-19.
Upaya menjalani pembatasan sosial berskala lokal (PSBL) tidak mudah. Apalagi dengan total penduduk hingga 3.500 orang dari 17 RT di lingkungan Kosasih. Dari jumlah sebanyak itu, ada sebagian orang yang kini diminta untuk isolasi mandiri dan berdiam di rumah.
Sebagian orang yang mengisolasi diri otomatis tidak dapat bekerja dan bepergian. Demi menjamin kebutuhan dasar mereka, Kosasih bersama para pengurus RW 009 memasok nasi bungkus ke sejumlah rumah warga.
”Kami (pengurus RW) mengerti, orang-orang di sini banyak yang berprofesi pedagang. Tidak dapat uang kalau tidak berdagang. Saya coba bantu semampunya saja, kirim makanan untuk pagi dan sore untuk yang sedang isolasi mandiri. Itu pun kebetulan karena saya punya warung nasi,” jelas Kosasih.
Salah satu yang dibantu Kosasih adalah keluarga Sumaroh (60). Keluarga ini masih menjalani isolasi mandiri setelah sempat dinyatakan positif Covid-19 sekitar dua pekan silam.
Abdullah Madani (54), seorang penasihat di RW 009 Kebon Kacang, juga berusaha menyantuni kebutuhan pokok sejumlah warga di masa PSBL. Hal itu dia lakukan karena kekhawatiran warga malah bergejolak saat kekurangan bahan pokok. Dia menyumbang stok bahan pokok sebagai cadangan ketika pemerintah belum mendistribusikan bantuan sosial.
”Saya menyadari kalau banyak warga di lingkungan ini yang kesusahan akibat pandemi. Jangan sampai ada gejolak di antara mereka gara-gara bantuan datang terlambat. Saya pun paham distribusi bantuan dari pemerintah prosesnya butuh waktu,” ujar Abdullah yang bekerja sebagai pengusaha toserba.
Kondisi serupa juga diantisipasi oleh Agustiar, Ketua RW 003 Kelurahan Kota Bambu Utara, Palmerah, Jakarta Barat. Dia sadar betul kalau gejolak antarwarga berisiko menggagalkan PSBL di lokasinya yang masih zona merah. Maka itu, dia memastikan bantuan dari warga dan pemerintah dikerahkan secara merata. Salah satu cara penyaluran itu dilakukan lewat rumah ibadah terdekat di lingkungan warga.
”Pengurus warga sepakat kalau yang terpenting saat ini adalah meredakan zona merah di sejumlah wilayah DKI. Saya sebisa mungkin mendukung kondisi itu, meski kondisinya sangat sulit di lokasi yang padat penduduk,” ujar Agustiar.
Solidaritas warga
Associate professor bidang sosiologi bencana dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Sulfikar Amir, menilai solidaritas warga saat ini adalah hal yang paling dibutuhkan untuk menghadapi pandemi. Dia memuji sikap kekompakan yang muncul secara organik di kalangan komunitas warga. Merekalah yang saling bahu-membahu menjalankan protokol pencegahan Covid-19.
Sulfikar memandang kondisi tersebut mencerminkan sejumlah warga telah sadar akan bahaya transmisi lokal penularan Covid-19. Kesadaran ini adalah modal sosial yang dimiliki Indonesia dalam menghadapi krisis pandemi.
Dalam konteks mikro, wargalah yang berperan paling giat dalam mengantisipasi situasi pandemi.
Meski demikian, modal sosial tersebut akan sia-sia apabila pemerintah tidak mengakomodasi kebutuhan warga. Kondisi saat ini harus tetap diakomodasi dengan berbagai kebutuhan, seperti bermacam bentuk bantuan sosial.
”Solidaritas masyarakat itu sebenarnya adalah modal sosial yang sangat penting untuk merespons situasi krisis Covid-19 ini. Namun, kesadaran semacam ini akan percuma apabila tidak dikelola dengan baik. Pemerintah harus menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat dan menghilangkan kesan adanya konflik kepentingan antara lembaga pemerintahan,” kata Sulfikar.
Selagi warga berjuang, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah menyiapkan anggaran sebesar Rp 4,1 triliun untuk persediaan bantuan sosial hingga Desember mendatang. Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta Edi Sumantri menuturkan, anggaran ini dialokasikan lewat anggaran belanja tidak terduga.
Dalam pelaksanaan, Pemprov DKI Jakarta memprioritaskan anggaran itu untuk penanganan Covid-19 sesuai dengan arahan Kementerian Dalam Negeri. Itu diprioritaskan untuk tiga sektor, di antaranya kesehatan, jaring pengamanan sosial, dan pemulihan ekonomi. ”Tiga sektor ini yang harus dijaga sehingga Pemprov DKI sudah mengalokasikan Rp 5,3 triliun,” ujar Edi.
Adaptasi normal baru
Akademisi dan praktisi klinis Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, menuturkan, masyarakat harus benar-benar beradaptasi dengan situasi yang kini disebut sebagai kenormalan baru. Hal itu lantaran sebagian aktivitas warga saat ini tidak dapat selalu dikerjakan dari rumah. ”Dalam beberapa kasus, banyak kondisi di mana kita harus hands on suatu tugas, seperti bidang edukasi perguruan tinggi, juga berbagai aktivitas seperti perdagangan, dan lain-lain. Mau tidak mau, kita harus hidup dengan protokol jaga jarak fisik,” ujarnya.
Kondisi tersebut, suka tidak suka, harus dijalani setidaknya sampai vaksin Covid-19 telah tersedia. Setelah itu pun, warga mungkin harus menjaga jarak fisik sampai vaksin setidaknya didistribusikan ke sejumlah negara.
Ari pun menyarankan, pemerintah harus benar-benar menimbang secara matang peralihan pembatasan sosial menuju ke situasi kenormalan baru. Apalagi, per 10 Juni, jumlah penambahan kasus positif mencapai 1.242 orang. Jumlah ini menjadi yang paling tinggi sejak kemunculan Covid-19 di Indonesia pada Maret silam.
”Saya harap pemerintah mempertimbangkan secara tegas wilayah yang benar-benar siap melepas status PSBB. Apabila belum memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020, sebaiknya jangan dipaksakan,” ujar Ari yang juga Dekan Fakultas Kedokteran UI.