Penambahan Kapasitas Bus Belum Berdampak pada Peningkatan Jumlah Penumpang
Keputusan pemerintah untuk menambah kapasitas angkut bus AKAP belum berdampak di lapangan. Penumpang masih enggan memakai bus karena diharuskan memiliki surat izin keluar masuk (SIKM).
Oleh
Insan Alfajri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penambahan kapasitas penumpang bus antarkota antarprovinsi belum berpengaruh terhadap penambahan jumlah penumpang di Terminal Pulo Gebang, Jakarta Timur. Para penumpang masih terganjal aturan yang mengharuskan mengantongi surat izin keluar masuk (SIKM).
Penambahan kapasitas penumpang bus AKAP diatur dalam Surat Edaran (SE) Kementerian Perhubungan tentang Pedoman dan Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Transportasi Darat pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru untuk mencegah Penyebaran Covid-19. SE ini terbit 8 Juni 2020 dengan mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 41 Tahun 2020 yang ditetapkan Menteri Perhubungan pada tanggal yang sama.
Adaptasi kebiasaan baru terdiri dari tiga fase, yakni pembatasan bersyarat (9 Juni-30 Juni), pemulihan terkendali (1 Juli-31 Juli), dan normal baru (1 Agustus-32 Agustus).
Aturan ini berlaku di wilayah dengan zona merah, oranye, kuning, dan hijau. Zona wilayah penyebaran Covid-19 ditentukan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Pada aturan terbaru ini, bus AKAP di zona merah dilarang beroperasi. Sementara di aturan sebelumnya, bus AKAP beroperasi dengan kapasitas 50 persen penumpang.
Untuk wilayah oranye, kuning, dan hijau, bus AKAP bisa beroperasi dengan 70 persen penumpang selama fase I dan II. Di fase III atau normal baru, bus AKAP bisa beroperasi dengan 85 persen penumpang.
Menurut Kepala Unit Pengelola Terminal Terpadu Pulo Gebang Bernard Octavianus Pasaribu, penumpang bus AKAP di Pulo Gebang masih dibatasi 50 persen dari kapasitas. Berhubung SIKM masih berlaku, jumlah penumpang masih sangat sepi.
Berdasarkan data Terminal Pulo Gebang, data keberangkatan penumpang terakhir pada 28 Mei lalu. Saat itu ada empat penumpang yang naik dari Pulo Gebang.
Hari ini, kata Dwi F, petugas Terminal Pulo Gebang, ada dua penumpang ingin berangkat. Berhubung dokumennya tidak lengkap, penumpang itu batal berangkat. ”SIKM-nya tak ada,” lanjutnya.
Menurut agen Perusahaan Otobus (PO) Transport Express Jaya, Bujang (52), SIKM menjadi momok bagi agen. Beberapa penumpang yang datang meminta agen menguruskan SIKM untuk mereka.
Agen pun kesulitan menjelaskan syarat perjalanan kepada penumpang. ”Ketika kami tanyakan SIKM, surat sehat, surat tugas, dan lain-lain, mereka bilang, ’aturan dari mana pula itu’. Aduh, pusing,” kata Bujang.
Saat ini, kata Bujang, ada sekitar 15 penumpang Transport Express Jaya tujuan Sumatera Barat. Penumpang itu membeli tiket di beberapa pul Transport Express Jaya di Jabodetabek.
”Sekarang ini kami sedang bingung bagaimana memberangkatkan mereka. Mereka tidak punya SIKM. Kalau tak ada peluang, kemungkinan di-balikin lagi uang tiketnya,” tambahnya.
Managing Director PT Eka Sari Lorena Transport Dwi Rianta Soerbakti memahami bahwa aturan terbaru tersebut bertujuan untuk menggerakkan roda perekonomian. Namun, operator masih ragu dengan penerapannya di lapangan karena permintaan dari masyarakat belum maksimal karena syarat perjalanan masih ketat.
”Salah satunya, ya, SIKM itu. Menurut saya, cukup dengan surat tes Covid-19 saja,” jelasnya.
Untuk mengurus SIKM, penumpang harus memiliki surat keterangan bekerja di Jakarta. Penumpang juga harus memiliki surat perjalanan dinas dan surat pernyataan sehat.
Sekarang ini kami sedang bingung bagaimana memberangkatkan mereka. Mereka tidak punya SIKM. Kalau tak ada peluang, kemungkinan di-balikin lagi uang tiketnya.
Dukung pembatasan
Di sisi lain, lanjut Dwi, operator khawatir pandemi Covid-19 justru berlangsung lebih lama dengan relaksasi aturan ini. Jika pandemi semakin ganas penyebarannya, ekonomi akan lambat pulih. ”Jadi, percuma saja kalau diperbolehkan beroperasi tetapi demand tidak banyak karena pandemi terus memanjang,” ujarnya.
Oleh sebab itu, dia tidak setuju dengan penambahan kapasitas penumpang. Aturan sebelumnya yang menyatakan jumlah penumpang 50 persen dari kapasitas semestinya tetap dipertahankan.
”Saya tidak setuju dengan dihilangkannya pembatasan 50 persen, bahaya,” jelasnya.
Sulitnya masuk ke Jakarta membuat warga menumpuh opsi lain, yakni menggunakan jasa travel ilegal. Pemilik warteg di Rawa Belong, Jakarta Barat, misalnya, menggunakan jasa travel ilegal untuk pulang kampung.
Ia berangkat ke Tegal, Jawa Tengah, seminggu menjelang Lebaran. Tiga hari lalu, dia istri, anak, dan seorang karyawan, kembali ke Jakarta dengan menggunakan travel gelap.
Ongkos meningkat tajam dari Rp 200.000 menjadi Rp 500.000. Kendati demikian, dia tidak harus melengkapi dokumen perjalanan. ”Saya sudah pernah mengurus SIKM sewaktu di kampung, tetapi susah buka situsnya,” ujar pria berusia 35 tahun yang enggan disebutkan namanya itu.