Area Padat Penduduk Sulit Lepas dari Bayangan Zona Merah
Puluhan wilayah rukun warga (RW) di Jakarta kini berusaha lepas dari status zona merah penularan Covid-19. Satu hal yang menjadi tantangan berat adalah sebagian wilayah mereka adalah area padat penduduk.
Oleh
Aditya Diveranta
·5 menit baca
Kawasan RW 009 Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, disibukkan dengan pembagian bantuan sosial pada Kamis (11/6/2020) siang. Di tengah pembagian, Ketua RW setempat Kosasih (52) kerap menemui warga yang berkumpul di sekitar rumah. Di salah satu sudut gang perumahan, dia menegur sekumpulan ibu dan anak-anak yang berkumpul agar kembali ke rumah masing-masing.
”Bu, Dik, pada masuk ke rumah dong. Kalau enggak begitu, daerah kita dicap zona merah terus,” ungkap Kosasih. Kendati begitu, tidak semua warga mematuhi permintaan ketua RW. Kosasih pun melanjutkan distribusi bansos ke pengurus warga setempat.
Hampir dua pekan, Kosasih bersama warga RW 009 Kebon Kacang bergelut menghadapi status zona merah penularan Covid-19. Wilayah RW mereka adalah satu dari sekitar 66 wilayah RW yang dicap zona merah sehingga diwajibkan untuk menerapkan pembatasan sosial berskala lokal (PSBL).
Di Kebon Kacang, ada tiga warga postif Covid-19 yang masih isolasi mandiri hingga Kamis ini. Seiring dengan sebagian warga yang mengisolasi diri, Kosasih juga meminta agar warga lainnya berdiam di rumah selama masa PSBL. Pembatasan tersebut menjadi tidak mudah karena dalam berbagai kesempatan, ada saja warga yang tidak tahan untuk berkumpul di sekitar rumah. Sebagian warga juga tidak dapat menahan aktivitas sehari-hari karena alasan keuangan.
Di satu sisi, kawasan perumahan RW 009 adalah area padat penduduk. Kosasih mengatakan, wilayahnya terdiri dari 17 RT yang diisi penduduk lebih dari 3.500 orang. Lokasi RW 009 Kebon Kacang juga selalu ramai lantaran terletak dekat sekali dengan kawasan Blok G Pasar Tanah Abang.
Rahmah (48), warga setempat, menuturkan, langkah pembatasan sosial menjadi hal terberat yang mesti dilakukan di lingkungannya. Sebab, kegiatan berkumpul di lingkungan rumah telah menjadi rutinitas sebagian besar warga.
”Ya, kita mau kumpul, nyari duit, jualan, semuanya dilakukan di sekitar rumah. Kalau PSBL harus diam di rumah, seperti enggak ada apa-apa yang bisa dikerjain di rumah. Dagang aja mesti keluar, kan,” paparnya.
Kesulitan mengatasi kerumunan warga di zona merah juga dirasakan Agustiar, Ketua RW 003 Kota Bambu Utara, Palmerah, Jakarta Barat. Bahkan, pekan lalu, ada sejumlah warga yang menolak dites dan kabur karena alasan takut terkena Covid-19.
Ahli perkotaan dari Universitas Tarumanegara, Suryono Herlambang, mengatakan, sepertiga dari kawasan zona merah Covid-19 di DKI Jakarta terjadi di area kumuh dan padat penduduk. Dia merujuk pada temuan bersama Center for Metropolitan Studies (Centropolis), sebuah lembaga riset di Program Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara (Untar).
Dari pemetaan Centropolis, ada 22 RW kategori kumuh yang masuk zona merah. Suryono merinci, ada satu RW kumuh berat, 11 RW kumuh sedang, dan 10 RW kumuh ringan. Suryono dan tim sedang mengamati kaitan antara kepadatan area warga dan tingkat penularan Covid-19.
”Kami menduga, penularan Covid-19 di kawasan ini terjadi karena interaksi sosial warga yang jaraknya saling berdekatan. Sebab, ada wilayah RW 017 Kelurahan Penjaringan yang kategori kumuh berat dan kawasan padat, belakangan angka penularannya melonjak naik,” ujar Suryono saat dihubungi, Kamis siang.
Dia menyayangkan, PSBL di zona merah tampak belum fokus menekan kegiatan sosial di sekitar lingkungan warga. Apabila memungkinkan, warga sebaiknya mengurangi berkumpul, baik untuk sekadar ngobrol atau kegiatan ibadah. Pembatasan ketat semacam itu diperlukan demi mencegah penularan kasus lagi.
Suryono menyarankan, kawasan perumahan warga yang dekat dengan pasar juga tetap diwaspadai. Sebab, kasus penularan di pasar juga tampak semakin sering. Pemeriksaan harus menyeluruh di kalangan pedagang dan pegawai pasar.
”Sejatinya saya dan tim belum menemukan rumusan langkah efektif untuk mencegah penularan di area padat. Tetapi, menghindarkan warga dari aktivitas kerumunan adalah mutlak. Temuan Centropolis memperlihatkan sejumlah kasus terjadi karena kegiatan sosial. Jadi, menjaga jarak fisik tetaplah anjuran yang paling utama,” jelasnya.
Suryono menambahkan, kondisi PSBL semestinya menjadi opsi yang paling tepat untuk mencegah penularan di zona merah. Namun, butuh konsentrasi penuh untuk menekan kegiatan sosial di lingkungan zona merah. Warga pun, menurut dia, perlu diberi pengertian oleh pemimpin yang paling mereka percaya.
”Akan bagus apabila pejabat setempat, apalagi gubernur, untuk turun langsung dan memberi pengertian kepada warga mengenai bahaya zona merah Covid-19. Tentunya, kita semua pun tidak ingin terus-menerus diterpa zona merah,” ungkapnya.
Akademisi dan praktisi klinis Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, tak henti mengingatkan agar pemerintah melakukan evaluasi ketat terhadap masa transisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kondisi itu terutama karena angka penularan kerap meningkat pada 9 Juni dan 10 Juni.
Adapun per 9 Juni, penambahan kasus mencapai 1.043 pasien positif di Indonesia. Pada 10 Juni, jumlah itu naik menjadi 1.241 pasien. Lalu pada Kamis, 11 Juni, jumlah penambahan turun menjadi 979 pasien.
”Kondisi tersebut menunjukkan penambahan kasus masih fluktuatif. Saya harap pemerintah menimbang secara tegas wilayah yang benar-benar siap melepas status PSBB. Apabila belum memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020, sebaiknya jangan dipaksakan,” tutur Ari yang juga Dekan Fakultas Kedokteran UI.
Ari menambahkan, masyarakat harus benar-benar beradaptasi dengan situasi terkini. Hal itu lantaran sebagian aktivitas pekerjaan tidak bisa selalu dikerjakan dari rumah.
”Dalam beberapa kasus, banyak kondisi di mana kita harus hands on suatu tugas, seperti bidang edukasi perguruan tinggi, juga berbagai aktivitas seperti perdagangan, dan lain-lain. Mau tidak mau, kita harus hidup dengan protokol jaga jarak fisik,” ujarnya.
Kondisi tersebut, suka tidak suka, harus dijalani setidaknya sampai vaksin Covid-19 telah tersedia. Setelah itu pun, warga mungkin harus menjaga jarak fisik sampai vaksin setidaknya didistribusikan ke sejumlah negara.
Di tengah kondisi itu, sebagian warga di zona merah pun berusaha menahan diri di rumah. Mereka pun berharap agar tidak terus dicap sebagai zona merah Covid-19, apalagi kalau situasi pandemi justru semakin parah.