PT Kereta Commuter Indonesia wajib membatasi jumlah penumpang kereta rel listrik agar risiko penularan Covid-19 bisa ditekan. Dampaknya, pendapatan menurun dan biaya operasional per penumpang naik.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·3 menit baca
PT Kereta Commuter Indonesia memastikan ada kerugian akibat kewajiban pengurangan jumlah penumpang yang diangkut selama pandemi Covid-19 ini demi memutus rantai penularan. Pendapatan dari sisi tiket menurun sehingga biaya operasional per penumpang naik. Pemerintah bersama PT Kereta Api Indonesia dan PT KCI mendiskusikan upaya menyiasati kerugian itu.
”Kami biasa mengangkut rata-rata 1 juta penumpang per hari. Sekarang, kami hanya mengangkut sekitar 200.000 penumpang per hari,” ucap Direktur Utama PT KCI Wiwik Widayanti saat berbicara dalam diskusi daring ”Membangun Pemahaman Publik tentang Tanggung Jawab PT KCI”, Sabtu (13/6/2020), yang diselenggarakan Institut Studi Transportasi (Instran). Karena itu, ia memastikan pendapatan PT KCI dari sisi penjualan tiket menurun.
Wiwik mengatakan, pihaknya sudah menjalankan efisiensi di berbagai bidang untuk menurunkan pengeluaran. Namun, kerugian kemungkinan besar tidak terhindarkan. Karena itu, ia berharap pemerintah pusat menyesuaikan tarif perjalanan KRL agar penyelenggaraan KRL tetap baik.
Saat ini, dengan berjalannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi di DKI, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 41 Tahun 2020 yang diturunkan melalui Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2020 mengatur bahwa KRL boleh mengangkut penumpang dengan jumlah 45 persen dari kapasitas maksimalnya dalam sekali pengangkutan, atau maksimal 74 penumpang per kereta. Itu sudah naik dibandingkan saat PSBB sebelumnya, yaitu hanya 35 persen dari kapasitas maksimal pada 9 April-7 Juni.
Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Zulfikri mengatakan, biaya operasional per penumpang sudah jelas membengkak karena kapasitas angkut dikurangi. ”Nah, bagaimana menyiasatinya, memang sekarang kami melakukan pembahasan terus, khususnya karena semua kereta KRL disubsidi dengan PSO (public service obligation atau subsidi dari pemerintah),” ujarnya.
Namun, Zulfikri menegaskan, pemerintah pada prinsipnya berupaya agar solusi menaikkan tarif penumpang KRL tidak sampai diambil mengingat masyarakat sedang terpukul akibat penyebaran virus korona baru. Sementara itu, Didiek Hartantyo, Dirut PT KAI (induk PT KCI), mengatakan, pihaknya mengikuti arahan Zulfikri mengingat kewenangan penentuan tarif merupakan ranah pemerintah pusat.
Pemerintah pada prinsipnya berupaya agar solusi menaikkan tarif penumpang KRL tidak sampai diambil, mengingat masyarakat sedang terpukul akibat penyebaran virus korona baru.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, khawatir operasional KRL terganggu akibat menurunnya pendapatan dari tarif penumpang. Apalagi, biaya operasi bertambah karena PT KCI harus menjalankan protokol kesehatan saat melayani, antara lain dengan pengadaan pengukur suhu tubuh, cairan pembersih tangan, dan kebutuhan mendadak lainnya. Karena itu, solusi menaikkan tarif, menaikkan besaran PSO, atau kombinasi keduanya, perlu dipertimbangkan.
Selain itu, Sudaryatmo mengusulkan PT KCI dan PT KAI menggenjot pendapatan non-fare box (non tiket), salah satunya lewat hak penamaan stasiun. PT Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta sudah menjalankannya, antara lain dengan penamaan Stasiun Lebak Bulus Grab, Setiabudi Astra, Istora Mandiri, Blok M BCA, dan Dukuh Atas BNI.
Akademisi Unika Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, menambahkan, solusi kenaikan tarif perjalanan KRL bisa diambil secara terbatas. Ia menyebutkan, empat tahun lalu, Direktorat Lalu Lintas dan Kereta Api Kemenhub pernah membuat studi terkait itu mengingat pemerintah ingin mengurangi besaran subsidi pada KRL.
”Bayangkan, (subsidi) Rp 2 triliun untuk se-Indonesia, Rp 1,6 triliunnya untuk KRL,” ucap Djoko. Sementara itu, terdapat data yang menyatakan, setiap hari Sabtu, hanya 5 persen pengguna KRL yang merupakan pelaju (rutin pulang-pergi dari satu kota ke kota lain, misalnya karena bekerja), sedangkan sisanya menumpang kereta untuk kegiatan sosial lainnya, termasuk berwisata. Pada hari Minggu, jumlah pelaju hanya 3 persen dari seluruh pengguna KRL.
Bayangkan, (subsidi) Rp 2 triliun untuk se-Indonesia, Rp 1,6 triliunnya untuk KRL.
Karena itu, Djoko pernah mengusulkan agar subsidi tarif KRL pada akhir pekan dan hari libur ditiadakan, kecuali bagi orang yang memenuhi syarat. Ini demi menekan beban pengeluaran negara.