Kandungan Unsur Pencemar Lumpur Urukan Reklamasi Ancol Pun Perlu Kajian
Jika kadar pencemar tinggi, bukan tidak mungkin lumpur untuk reklamasi Ancol yang berasal dari pengerukan sungai dan waduk malah menambah beban pencemaran di Teluk Jakarta.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta menjamin endapan lumpur sungai dan waduk yang digunakan untuk reklamasi di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara, aman dari pencemaran sehingga tidak menambah beban lingkungan bagi Teluk Jakarta. Apalagi, pemerintah pusat pun belum menetapkan baku mutu sedimen perairan yang bisa menjadi panduan mengukur aman-tidaknya material dari pencemaran.
Peneliti kimia laut dan ekotoksikologi Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, M Reza Cordova, menyarankan Pemprov DKI melalui dinas lingkungan hidup terlebih dulu menguji kandungan pencemar pada sedimen sungai dan waduk sebelum digunakan untuk urukan memperluas lahan di kawasan Ancol. ”Kalau, misalnya (kadar pencemaran), tinggi, bukan tidak mungkin bahan pencemar itu akan luruh dan lepas ke perairan, dan menambah beban pencemaran,” ucapnya saat dihubungi Minggu (12/7/2020).
Pada Sabtu (11/7/2020), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melalui video berjudul ”Pengembangan Kawasan Ancol” di akun Youtube Pemprov DKI Jakarta, menyampaikan, perluasan lahan di Ancol—yang secara teknis bernama reklamasi—bertujuan melindungi warga dari banjir. Sebab, tanah urukan bersumber dari pengerukan lumpur seluruh sungai di Jakarta dengan total panjang 400 kilometer, serta lebih dari 30 waduk.
Sungai dan waduk di Jakarta secara alami mengalami sedimentasi sehingga mesti dikeruk terus-menerus demi pengendalian banjir. Selama sebelas tahun, hasil pengerukan mencapai 3,4 juta meter kubik dan ditempatkan di kawasan Ancol, menghasilkan daratan seluas 20 hektar. ”Nah, lumpur ini kemudian dimanfaatkan untuk pengembangan kawasan Ancol,” ujar Anies.
Anies menambahkan, pengerukan sungai dan waduk akan terus berjalan, kemudian akan ada pula penggalian terowongan moda raya terpadu (MRT). Semua hasil pengerukan akan ditimbun lagi di Ancol. Dari hasil kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), lokasi yang dibutuhkan untuk penempatan material seluas total 155 hektar, dengan 120 hektar di sisi timur dan 35 hektar di sisi barat, yang juga akan disediakan kawasan yang bersebelahan dengan stasiun MRT di Ancol.
Dari pengalaman meneliti pencemaran di Teluk Jakarta yang merupakan muara dari 13 sungai, Reza berpendapat, bahan pencemar berupa logam berat dan polutan organik persisten (POPs) juga tinggi di sungai-sungai Jakarta. Kadar bahan pencemar pada sedimen waduk bisa jadi lebih tinggi karena waduk relatif merupakan ekosistem perairan tergenang. Jika ada polutan masuk ke waduk atau danau, polutan cenderung tidak berpindah dan turun ke sedimen.
Dalam publikasi berjudul ”Pengaruh Kualitas Sedimen Dasar terhadap Karakteristik Lingkungan Keairan, Studi Kasus: Saluran Tarum Barat” pada Jurnal Irigasi (2012) terbitan Kementerian Pekerjaan Umum, peneliti teknologi lingkungan sumber daya air Moelyadi Moelyo dan kawan-kawan menuliskan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan saat akan menimbun sedimen dasar sungai dan saluran hasil pengerukan guna mengendalikan dampak pencemaran bahan berbahaya dan beracun.
Faktor-faktor itu adalah analisis dari material yang ditimbun, identifikasi reaksi atau dekomposisi yang bisa terjadi, karakterisasi permukaan tanah dan geohidrologi lokasi penimbunan, mekanisme pengangkutan material yang sudah terkontaminasi, serta penilaian dampak lingkungan terhadap rantai makanan, kesehatan, dan komponen lingkungan lain.
Pencemaran pada sedimen perairan diduga berdampak pada kehidupan biota, yang berarti bisa berpengaruh juga pada manusia lewat rantai makanan. Reza, misalnya, terlibat menulis riset yang dipublikasikan di Bulletin of the Marine Geology edisi Desember 2018, tentang pengaruh inhibisi sedimen Teluk Jakarta terhadap pertumbuhan mikroalga Chaetoceros gracilis. Tim penulis menyimpulkan, terhambatnya pertumbuhan C. gracilis berhubungan dengan efek toksik kontaminan pada sedimen dari lokasi-lokasi yang berdekatan dengan muara sungai.
Dalam penjelasannya, Gubernur Anies menyebutkan, PT Pembangunan Jaya Ancol diwajibkan membuat amdal serta seluruh kewajiban turunannya. Ia juga memastikan reklamasi di Ancol bukan bagian dari pembangunan 17 pulau yang dulu bermasalah.
Tidak seperti proyek pulau buatan, Anies mengklaim reklamasi di Ancol tidak menghalangi aliran sungai mana pun. Lahan tambahan juga tidak mengganggu aktivitas nelayan, tidak seperti hasil reklamasi sebelumnya yang antara lain berhadapan dengan kawasan nelayan di Kamal Muara dan Muara Angke.
Adanya lahan tambahan itu perlu dimanfaatkan untuk pengembangan Ancol dengan mengedepankan kepentingan publik. Karena itu, Anies mengeluarkan Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) Seluas ± 35 Ha (Lebih Kurang Tiga Puluh Lima Hektar) Dan Kawasan Rekreasi Taman Impian Ancol Timur Seluas ± 120 Ha (Lebih Kurang Seratus Dua Puluh Hektar).
Reza menambahkan, Pemprov DKI juga perlu memastikan adanya tambahan bentang daratan tidak mengganggu arus laut di Teluk Jakarta, yang selama ini membantu proses pembersihan (flushing) alami di sana. Pembersihan tersebut memang tidak menghilangkan sama sekali polutan, tetapi menurunkan kadar toksisitas dari polutan yang ada.
Jika sirkulasi arus laut berkurang akibat adanya daratan baru, menurun pula oksigen yang dibutuhkan untuk degradasi bahan polutan agar toksisitasnya lebih rendah. Reza mencontohkan, oksigen diperlukan untuk memecah amonia menjadi nitrit dan nitrat.
Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Parid Ridwanuddin meminta Pemprov DKI tidak menggunakan alasan kepentingan publik sebagai legitimasi reklamasi di Ancol. Jika memang berkomitmen menghadirkan pantai publik bagi warganya, Pemprov seharusnya menjadikan seluruh pesisir Jakarta yang panjangnya puluhan kilometer sebagai pantai yang bisa diakses gratis masyarakat, bukan hanya dengan reklamasi Ancol.
Ketua Umum Koalisi Kawali Lingkungan Indonesia Lestari (Kawali) Puput TD Putra menambahkan, karena belum ada kajian terhadap pengaruh banjir, reklamasi di Ancol tidak bisa dikatakan untuk melindungi warga Jakarta dari ancaman bencana itu. ”Pengerukan setu, empang, danau, sungai untuk menampung air hujan yang mengakibatkan banjir itu betul, tetapi kalau reklamasi dikatakan akan mengurangi banjir, belum tentu. Sebab, faktor kenaikan air laut belum diperhitungkan,” katanya.