Mati Rasa pada Ancaman Maut Korona
Warga DKI Jakarta yang tidak menggunakan masker saat di luar rumah atau berkumpul tanpa membatasi jarak, bahkan bisa ditemukan di lingkungan-lingkungan yang masuk RW zona rawan penularan Covid-19.
Ibu Kota memperpanjang penerapan pembatasan sosial berskala besar masa transisi hingga pengujung Juli. Namun, diperpanjang atau tidak, sepertinya tiada berbeda. Warga sudah asyik nongkrong di pinggir jalan tanpa bermasker. Anak-anak berlarian bebas tanpa kenal jaga jarak. Mereka seakan mati rasa pada ancaman maut virus korona.
Datang langsung ke zona rawan penularan Covid-19 di Jakarta meruntuhkan citra seram yang tercipta di otak. Bukan hanya tidak terlihat seperti zona rawan, melainkan di lokasi-lokasi itu warga bebas beraktivitas seperti sebelum koloni korona menyerang.
Di Jakarta, ada 30 rukun warga (RW) berstatus zona rawan Covid-19, seperti bisa dilihat di laman corona.jakarta.go.id. Sebanyak 19 RW di antaranya, atau 63 persen, ada di Jakarta Pusat. Di antara 19 RW zona rawan itu, ada RW 001 Johar Baru, RW 007 Tanah Tinggi, RW 001 Galur, dan RW 002 Paseban yang saling berdekatan.
Menelusuri RW 001 Galur ke RW 001 Johar Baru, lanjut ke RW 007 Tanah Tinggi, aktivitas warga tanpa mengenakan masker di pinggir jalan adalah pemandangan umum. Bahkan ada yang mengobrol tanpa membatasi jarak fisik satu sama lain. Anak-anak berkejaran di tengah jalan—seperti sudah bisa ditebak—juga tanpa masker.
Pada suatu siang menjelang sore, di seberang Sekretariat RW 001, anak-anak berkumpul dan saling bercanda. ”Itu belum seberapa. Coba datang habis maghrib,” tantang Evi, sapaan akrab Herviyanthi, Sekretaris Pengurus RW 001 Johar Baru, saat dikontak hari Sabtu (18/7/2020).
Memasuki gelap, anak-anak kecil, termasuk yang berusia di bawah lima tahun (balita), malah semakin memadati area seberang Sekretariat RW. Evi tidak habis pikir mengapa para orangtua merelakan anak mereka menghadapi ancaman tertular virus maut.
Padahal, berdasarkan data hingga 18 Juli, sudah ada 265 anak berusia lima tahun ke bawah yang positif Covid-19 di Jakarta, terdiri dari 119 anak perempuan dan 146 anak laki-laki. Sebanyak 1.011 balita lainnya berstatus pasien dalam pengawasan (PDP).
Tidak hanya itu. Sebagian warga di RW Evi meyakini, pelacakan kasus positif di lingkungan mereka hanya akal-akalan untuk meraup untung. Sebab, kabarnya, biaya per tes usap dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR) bisa mencapai Rp 1,2 juta atau lebih. Evi pun kena tuduh ikut jadi bagian ”sindikat” pencari untung itu.
”Sampai ada warga bilang begini, ini kan permainan, emang lu dibayar berapa, sih,” kat Evi saat ditemui sebelumnya.
Ini mirip dengan yang dihadapi tenaga kesehatan di Sulawesi Selatan. Sebagian warga di sana menganggap tenaga kesehatan mencari untung dari penularan virus korona baru.
”Tak ada sedikit pun niat kami menari di atas penderitaan orang lain atau memanfaatkan pandemi untuk mencari untung. Kami hanya menjalankan profesi yang sejak awal kami sadari penuh risiko,” tutur Dr Ahmad Asy Ari, Kepala Puskesmas Makkasau, Makassar, yang diisolasi akibat positif Covid-19 (Kompas.id, 14/6/2020).
Baca juga : Tak Ada Niat Kami Menari di Atas Penderitaan Orang Lain
Evi menceritakan, penyebaran Covid-19 di RW 001 bermula dari adanya seorang pria berusia 63 tahun yang datang berobat ke pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), bulan lalu. Warga tersebut sudah sepekan menderita demam. Karena tenaga kesehatan melihat ada gejala Covid-19, warga ini dites usap dan ternyata memang positif.
Evi mempertimbangkan fakta bahwa RW 001 bersama RW 002 merupakan RW paling padat penduduk di Kelurahan Johar Baru sehingga tingkat interaksi warga di sana tinggi. Ia mencontohkan, saking padatnya, di lingkungan RT tempat pria tadi tinggal, ada pola beberapa rumah mengakses satu kamar mandi.
Karena itu, pengurus RW 001 meminta puskesmas mengadakan tes usap massal bagi warga yang satu RT dengan pasien. Penolakan hebat pun dilancarkan warga. Mereka meyakini hasil tes tidak akurat dan sudah diarahkan untuk menghasilkan banyak klaim kasus positif.
Sebelum tes, pengurus RW meminta kartu keluarga (KK) warga sasaran tes untuk dikumpulkan guna pendataan oleh puskesmas. Warga lantas menarik KK mereka lagi setelah tahu itu untuk kebutuhan pengujian. ”Kirain saya buat bansos (bantuan sosial),” ujar Evi menirukan warga penolak tes.
Akibatnya, hanya 41 orang dari 15 keluarga di RT tersebut yang ikut tes, dengan 10 orang di antaranya dinyatakan positif. Namun, pengurus RW 001 Johar Baru tidak menyerah. Mereka yang pernah kontak dengan warga positif Covid-19 dilacak lagi hingga mendapatkan empat kasus positif tambahan. Dengan demikian, total 15 warga RW 001 tertular virus korona baru.
Pria lanjut usia yang diketahui sebagai kasus pertama di RW 001 beserta sepuluh warga positif yang satu RT dirawat di empat rumah sakit berbeda. Sementara empat warga positif lainnya menjalani isolasi mandiri di rumah masing-masing. Evi bersyukur empat warga terakhir itu kooperatif dan patuh tidak keluar rumah selama 14 hari.
Pengabaian protokol kesehatan juga tampak di area Palmerah, Jakarta Barat. Melewati Jalan Palmerah Barat pada Senin (13/7/2020), sejumlah pengendara sepeda motor yang tidak mengenakan masker silih berganti lewat.
Masuk ke jalan yang lebih sempit, menelusuri Jalan KH Syahdan pada area sekitar Kampus Universitas Bina Nusantara, berlanjut ke Jalan Palmerah Barat IX hingga Jalan Palmerah Barat II, kondisi serupa ditemui. Hampir setiap menit, pengguna jalan yang tidak bermasker melintas. Ada yang berjalan kaki, mengayuh sepeda, dan mengemudikan sepeda motor. Ada pula pedagang kaki lima di pinggir jalan yang tidak bermasker.
Di antara beberapa pedagang gorengan yang tidak bermasker, Mubin (23) adalah salah satunya. Ia memilih tidak mengenakan masker karena tidak memengaruhi jumlah pembeli yang datang. Padahal, ia menyimpan masker di gerobak dagangannya. ”Lagi kayak begini, orang yang mau beli pada takut semua,” ujarnya.
Mubin memilih tidak mengenakan masker karena tidak memengaruhi jumlah pembeli yang datang. Padahal, ia menyimpan masker di gerobak dagangannya. ”Lagi kayak begini, orang yang mau beli pada takut semua,” ujarnya.
Mubin baru berdagang lagi sekitar sebulan, setelah sebelumnya tinggal sementara waktu di kampung halaman di Cirebon, Jawa Barat, karena lesunya ekonomi saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Akibat tidak ada pekerjaan di tempat asalnya, ia kembali berjualan gorengan di Ibu Kota. Saat ini, pendapatan bersihnya rata-rata hanya Rp 50.000 per hari, sedangkan sebelum pandemi bisa Rp 250.000 per hari.
Sikap Mubin bertolak belakang dengan pandangannya terhadap virus korona baru. Meski tidak menjaga diri dengan masker, ia menyatakan takut tertular Covid-19.
Kontradiksi juga ditunjukkan Ono (26), pedagang es jeruk peras yang berjualan di samping Mubin. Ia menyatakan terus berjualan sejak awal Covid-19 merebak. Guna mengantisipasi penularan, ia mengaku menjaga kesehatan dengan mematuhi kewajiban penggunaan masker.
”Ya jaga kesehatan aja, ya aturan pakai masker gitu,” ucap Ono. Namun, sejak awal ditemui hingga selesai wawancara, masker sama sekali tidak menutup mulut dan hidungnya.
Ratusan kasus baru pun terus muncul dalam pendataan DKI. Bahkan, pada Minggu (12/7/2020), ada tambahan 404 kasus yang terkonfirmasi, memecah rekor jumlah kasus baru harian sepanjang riwayat pencatatan di Jakarta. Pada Sabtu (18/7/2020), ada tambahan 331 kasus sehingga total kasus positif Covid-19 di DKI 16.038 kasus.
Perasaan mati rasa terhadap ancaman sudah ditangkap Social Resilience Lab Nanyang Technological University (NTU) dan laporcovid19.org, yang bekerja sama mengadakan survei daring terhadap responden di DKI Jakarta pada 29 Mei-20 Juni. Hasilnya, 54 persen responden menyatakan kemungkinan mereka tertular Covid-19 amat kecil.
Dilakukan survei daring terhadap responden di DKI Jakarta pada 29 Mei-20 Juni. Hasilnya, 54 persen responden menyatakan kemungkinan mereka tertular Covid-19 amat kecil.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, melihat masalah kedisiplinan warga menjalankan protokol kesehatan tidak kunjung tertangani, bahkan sejak PSBB yang penuh dengan pembatasan ketat, mulai Maret silam. Rendahnya kedisiplinan berlanjut hingga PSBB masa transisi dengan pelonggaran berbagai pembatasan.
”Ini menunjukkan bahwa orang itu merasa tidak ada sesuatu yang bermasalah, yang perlu dikhawatirkan. Nah, ini berbahaya,” ujarnya.
Karena itu, Rakhmat mendorong pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI untuk mengevaluasi efektivitas penyampaian pesan pencegahan Covid-19. Menurut dia, ada metode yang belum didayagunakan secara maksimal, yaitu memanfaatkan kanal forum kekeluargaan seperti kelompok pengajian, majelis taklim, dan karang taruna.
Baca juga :Agen Informal Belum Dimaksimalkan untuk Sosialisasi Anti-Covid-19
Selama ini, Rakhmat menilai pemerintah lebih banyak berkutat pada jalur formal untuk sosialisasi tentang pentingnya protokol kesehatan. ”Mungkin karena (forum kekeluargaan) lebih dekat komunitasnya, lebih cair, itu bisa menjadi salah satu mekanismenya (untuk menggencarkan sosialisasi pencegahan Covid-19),” ucapnya.
Sebelumnya, pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, juga menyarankan Pemprov DKI lebih aktif melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk menyebarluaskan pesan penggunaan masker. Pemakaian masker adalah kunci menekan pertambahan kasus Covid-19, tetapi sekaligus menjadi hal yang masih kerap diabaikan oleh banyak warga di Ibu Kota.
Mungkin, selain menuntut kepekaan masyarakat terhadap ancaman maut korona, kepekaan pemerintah juga perlu diasah untuk makin paham yang dimaui warganya agar dengan kepenuhan kesadaran mau patuh menjaga kesehatan.
Baca juga : PSBB Tanpa Pengawasan Ketat Protokol Kesehatan Minim Dampak