Persoalan-persoalan Sepele di Balik Bentrokan Massa di Bekasi
Bentrokan antarkelompok warga kembali terjadi di Kota Bekasi, pada 31 Juli 2020. Kejadian itu berawal dari ketidaksengajaan warga yang menyerempet sepeda motor salah satu kelompok massa.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
Bentrokan antarmassa di Kota Bekasi, Jawa Barat, sering terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Pemicu bentrokan massa itu pun sering kali dimulai dari persoalan sepele. Konflik horizontal antarwarga atau kelompok warga seperti api dalam sekam yang masih berpotensi untuk berkobar.
Kali ini, tawuran antarkelompok massa kembali pecah hanya karena salah satu warga tak sengaja menyerempet sepeda motor milik sekelompok pemuda yang tengah diparkir di pinggir jalan. Peristiwa itu terjadi di Pondok Gede, Kota Bekasi, pada 31 Juli 2020 sekitar pukul 21.00.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Umum Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota Ajun Komisaris Besar Hery Purnomo, mengatakan, polisi sudah menangkap empat pelaku pemicu tawuran itu. Mereka terlibat penganiayaan pada warga yang menyenggol sepeda motor kelompok massa itu saat akan memasukkan mobilnya ke garasi
”Saat itu ada satu kelompok pemuda yang sedang buat acara ulang tahun, jadi kendaraan mereka diparkir di pinggir jalan. Terus karena sudah malam, ada salah satu warga yang mau masukkan mobilnya ke garasi. Dia tidak sengaja menyenggol sepeda motor para pemuda yang sedang buat acara ulang tahun,” katanya, Sabtu (1/8/2020) di Bekasi.
Kelompok massa yang tak terima itu kemudian menghampiri dan menganiaya warga tersebut. Kejadian itu mengundang perhatian warga sekitar, termasuk salah satu kelompok ormas.
”Namanya juga di kampung, kalau ada yang dipukul di depan keluarganya, pasti teriak. Jadi, warga pada keluar, makanya jadi ramai,” ujar Hery.
Bentrokan massa itu tidak sempat membesar lantaran aparat kepolisian dari Kepolisian Sektor Pondok Gede dan Polres Metro Bekasi Kota bergerak cepat dan membubarkan dua kelompok massa itu. Polisi kemudian mengamankan 11 kelompok pemuda yang memulai keributan.
”Saat ini masih kami periksa. Dari 11 orang itu, ada 4 orang yang terbukti terlibat penganiayaan dan sudah kami tahan,” katanya.
Kasus bentrokan antarkelompok massa di Bekasi sudah sering terjadi selama beberapa bulan terakhir. Pada akhir Mei 2020, bentrokan massa juga pecah di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Bintara, Bekasi Barat.
Dikutip dari Kompas.com, bentrokan itu melibatkan ormas Pemuda Pancasila (PP) dengan ormas Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Kejadian berawal ketika ormas PP melontarkan ucapan menantang kepada ormas PSHT. Menjawab tantangan itu, ormas PSHT kemudian mendatangi markas ormas PP di Jalan I Gusti Ngurah Rai dan sempat terjadi konsentrasi massa dari ormas PSHT di lokasi.
Kejadian itu kemudian dimediasi pihak kepolisian dan kedua pihak bersepakat untuk berdamai. Namun, tak lama kemudian, aksi saling lempar antara kedua ormas itu kembali terjadi di tempat yang sama di Jalan I Gusti Ngurah Rai.
”Ini bisa dikendalikan. Jadi, mereka sekadar melempar dan tidak ada korban jiwa karena ada petugas yang mengawasi,” tutur Kepala Polres Metro Bekasi Kota Komisaris Besar Wijonarko.
Adapun menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, bentrokan antarormas itu berawal dari utang enam gelas kopi. Selama ini, kelompok ormas PP, saat memesan kopi di salah satu warung di Jalan I Gusti Ngurah Rai tidak pernah membayar. Padahal, selama ini jika anggota ormas itu duduk di warung tersebut, warung itu selalu sepi karena warga sekitar tidak berani berbelanja di tempatnya.
Bentrokan antarormas itu berawal dari utang enam gelas kopi. (Kombes Yusri Yunus)
”Setiap malam anggota Pemuda Pancasila yang di pos selalu pesan enam gelas tapi tidak mau membayar,” kata Yusri dalam keterangan tertulisnya, Kamis (21/5/2020).
Pemilik warung pun memberanikan diri untuk menagih utang kopi dari anggota kelompok ormas itu. Namun, ia malah dipukul oleh kelompok ormas tersebut dan mereka juga menantang kelompok ormas PSHT yang berada tak jauh dari lokasi penganiayaan. Peristiwa itulah yang memulai kejadian bentrokan antarormas dan menyebabkan empat unit kendaraan roda dua milik salah satu ormas dilaporkan terbakar.
Persoalan konflik horizontal di Jakarta dan sekitarnya seperti api dalam sekam yang dapat berkobar sewaktu-waktu. Api dalam sekam itu adalah konflik antarwarga atau antakelompok. Konflik horizontal itu akibat persaingan ekonomi, persoalan tempat usaha atau lapak, dan persoalan memperebutkan sumber-sumber daya ekonomi.
Menurut kriminolog Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, persaingan semacam itu juga terjadi dalam dunia kejahatan. Persaingan hanya bisa dimenangi, antara lain, dengan membentuk kelompok.
Dalam kriminologi kelompok semacam itu sering disebut sebagai geng. Di Jakarta ataupun kota-kota besar, ada dua macam geng, yaitu geng berorientasi kekerasan dan geng berorientasi kriminal.
”Geng berorientasi kekerasan kecenderungannya hanya menegaskan eksistensi dengan melakukan kekerasan, menakut-nakuti orang, atau merusak. Sementara geng kriminal motifnya menguasai peluang ekonomi,” ujarnya, (Kompas, 13/2/2019).
Ciri khas geng kriminal ini juga dimiliki oleh sebagian organisasi masyarakat. Organisasi masyarakat sebenarnya bukan geng kriminal, tetapi sejumlah aktivitasnya termasuk menganggu keamanan.
Geng berorientasi kekerasan kecenderungannya hanya menegaskan eksistensi dengan melakukan kekerasan, menakut-nakuti orang, atau merusak. Sementara geng kriminal motifnya menguasai peluang ekonomi. (Kriminolog Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin)
Ketika kasus John Kei dan kelompoknya mengemuka ke publik pada akhir Juni 2020, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Idham Azis memastikan, Polri tidak akan memberikan ruang kepada kelompok preman yang membuat masyarakat resah dan takut. Polri akan mengawal sampai persidangan kasus seperti yang melibatkan John Kei dan kelompoknya.
”Kuncinya, negara tidak boleh kalah dengan preman,” kata Idham, (Kompas, 23/6/2020).