Pascapenerapan adaptasi kebiasaan baru, jumlah kasus Covid-19 terus meningkat. Masyarakat khawatir tertular atau menularkan virus. Protokol kesehatan disebut masih dipatuhi publik meski di lapangan faktanya berbeda.
Oleh
M Puteri Rosalina (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Akhir Mei lalu, pemerintah menerapkan normal baru atau adaptasi kebiasaan baru atau AKB, aktivitas yang sebelumnya dibatasi kembali berjalan normal. Namun, syaratnya harus tetap menjalankan protokol kesehatan.
Penerapan normal baru saat itu hanya ditetapkan di 102 kabupaten/kota zona hijau. Namun, pada akhirnya, semua wilayah di Indonesia, tak terkecuali wilayah berzona merah ikut menerapkan kehidupan normal baru. Kegiatan kembali berjalan normal seperti sebelum pandemi meski sebenarnya Kementerian Kesehatan mengeluarkan beberapa aturan terkait dengan protokol kesehatan di normal baru.
Sebagian besar masyarakat sudah kembali bekerja, beribadah, ataupun beraktivitas lain di luar rumah. Hanya pendidikan yang masih dilakukan di rumah. Dua dari lima responden jajak pendapat Kompas awal Agustus lalu menyebutkan sudah beraktivitas biasa seperti sebelum pandemi. Meski demikian, ada juga sepertiga lebih yang membatasi kegiatan di luar rumah.
Khawatir
Memang tak mudah mendisiplinkan masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan di sela-sela pulihnya kegiatan ekonomi. Akibatnya, hampir tiap hari kasus harian yang muncul semakin tinggi. Selama Juni-Agustus, rata-rata pertambahan kasus harian sekitar 1.400-an. Bandingkan saat PSBB yang penambahan hariannya hanya 450-an kasus.
Sejumlah kluster baru mulai bermunculan pasca-penerapan AKB. Sebut saja kluster pasar, perkantoran, sekolah berasrama, tempat ibadah, pemulangan jenazah, permukiman, hingga kluster-kluster kecil dalam keluarga.
Peningkatan kasus tersebut menimbulkan kekhawatiran sendiri di masyarakat. Bahkan tingkat kekhawatirannya meningkat dibandingkan hasil jajak pendapat Kompas maret lalu. Pada periode Maret, 67,9 persen responden mengaku khawatir terhadap kemunculan virus korona.
Awal Agustus ini, lebih dari tiga perempat responden menyebutkan takut tertular virus. Di sisi lain, kelompok responden yang sama juga khawatir menjadi vektor virus yang bisa menularkannya ke orang lain.
Presepsi ini berbeda dengan Studi Persepsi Risiko yang dilakukan LaporCovid19.org and Social Resilience Lab NTU di Jakarta dan Surabaya akhir Juni lalu. Warga di dua kota tersebut telah memiliki perilaku menjaga diri dengan baik dengan melaksanakan protokol kesehatan. Namun, rata-rata beranggapan risiko untuk terkena virus sangat kecil.
Warga di Jakarta dan Surabaya telah memiliki perilaku menjaga diri dengan baik dengan melaksanakan protokol kesehatan. Namun, rata-rata beranggapan risiko untuk terkena virus sangat kecil.
Rasa khawatir tersebut membuat hampir semua responden masih menjalankan protokol kesehatan. Tercatat sebanyak 97,8 persen mengaku masih setia menggunakan masker saat berada di luar rumah, kemudian 96,5 persen tetap rutin untuk mencuci tangan, serta 93 persen masih melakukan menjaga jarak.
Namun, dari tiga komponen tersebut, nilai perilaku untuk menjaga jarak relatif lebih rendah dibandingkan dua lainnya. Sikap untuk menjaga jarak fisik relatif sulit dilakukan saat ini. Masyarakat Indonesia cenderung suka berkumpul. Selain itu, dalam beberapa kesempatan, kerumunan juga tak terhindarkan, seperti kondisi dalam angkutan umum ataupun dalam suatu antrean.
Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 (BPS, 2020) menemukan bahwa ada respons yang berbeda dari berbagai golongan usia. Semakin tinggi usia responden, semakin taat responden dalam berperilaku memenuhi himbauan untuk menjaga protokol kesehatan.
Pelanggaran
Meski dalam survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 tersebut angka pelaksanaan protokol kesehatan cukup tinggi, nyatanya di lapangan masih banyak ditemukan pelanggaran, khususnya dalam penggunaan masker.
Seperti yang ditemukan di Jakarta dalam razia masker per 24 Juli, masih ada lebih dari 40.000 warga yang terkena sanksi tidak menggunakan masker. Mereka yang tidak menggunakan masker beralasan lupa, merasa tidak perlu menggunakan masker karena hanya bermobilitas jarak dekat, hingga alasan ekonomi karena tidak mempunyai uang untuk memiliki masker.
Di Jakarta, dalam razia masker per 24 Juli, masih ada lebih dari 40.000 warga yang terkena sanksi tidak menggunakan masker.
Selain itu, mereka yang menggunakan masker pun terkadang masih salah dalam menggunakannya, seperti tidak menutupi hidung, memakai masker tidak sampai ke dagu, atapun beberapa kali melepas dan menaruhnya di dagu.
Membangun disiplin masyarakat, dalam paparan ”Social Engineering dan Pandemi Covid-19 (Ruchyat, 2020)”, tidak bisa instan, cepat, dan hanya satu sektor kegiatan. Sebaliknya, dibutuhkan waktu lama yang harus dibangun secara sistemik, melibatkan banyak faktor dan komponen yang akan saling berkaitan dan berhubungan. Rekayasa sosial masyarakat diperlukan yang berawal dari rasa tahu, paham, sadar, hingga bisa melakukannya dengan spontan sehari-hari.
Beruntung, lebih dari tiga perempat masyarakat mengatakan bersedia untuk melakukan tes gratis, baik berupa tes cepat dan tes usap jika diminta pemerintah. Catatan BNPB hingga 12 Agustus, secara akumulasi sudah 1.012.104 orang yang diperiksa baik dengan tes cepat ataupun melalui uji usap.
Adaptasi kebiasaan baru ini menjadi ujian bagi kita semua. Bukan berarti aktivitas kembali normal, kita bisa melakukan kegiatan dengan bebas. Protokol kesehatan harus dilakukan dengan siapa pun. Jika tidak, kita akan kalah dengan virus korona baru yang akan terus membelenggu aktivitas perekonomian.