logo Kompas.id
MetropolitanPenuhi Gizi Masyarakat di Masa...
Iklan

Penuhi Gizi Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19

Pembatasan sosial mengganggu upaya pemenuhan gizi di semua daerah. Berbagai bantuan pemberian makanan sehat dan bergizi pada masyarakat bisa menjadi opsi, agar kekebalan dan kesehatan masyarakat tetap terjaga.

Oleh
Agustina Purwanti (Litbang Kompas)
· 4 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/Jft7THuhMEeH1q4rhFc_Z0qObQw=/1024x1102/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F08%2Filustrasi-sarapan.jpg
DIDIE SW

Ilustrasi makanan bergizi

Mengonsumsi makanan sehat bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi, tapi juga dianjurkan untuk membentuk kekebalan tubuh di masa pandemi. Walakin, penurunan pendapatan dan kemiskinan di masa sulit ini berpotensi memperburuk masalah kekurangan gizi di tanah air.

Pembatasan sosial yang mengharuskan masyarakat untuk tinggal di rumah sedikit banyak mengubah aktivitas masyarakat. Salah satunya, lebih banyak memasak sendiri dan mengkonsumsi makanan bikinan sendiri. Survei LIPI secara daring September lalu menemukan bahwa hampir 70 persen responden menjadi lebih sering memasak selama pandemi.

Kebiasaan ini juga membawa perubahan pola konsumsi makanan. Muncul kesadaran di kalangan masyarakat untuk mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi. Merujuk survei yang sama, enam dari 10 responden konsisten mengonsumsi protein hewani serta sayuran dan buah di masa pandemi dengan pertimbangan untuk menjaga kesehatan.

Protein, buah, dan sayur merupakan komponen makanan sehat dan bergizi yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan untuk dikonsumsi setiap hari. Dua per tiga dari satu porsi makan yang dianjurkan terdiri dari protein, buah, dan sayur.

https://cdn-assetd.kompas.id/rsUygfvG_KceWy0Jz0fdDZPmb14=/1024x2172/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2F20210123-H04-NSW-Bahan-Makanan-mumed_1611408727.png

Kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan sehat tersebut juga tergambar dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS, Maret 2020. Dibandingkan dengan survei Maret 2019, peningkatan pengeluaran untuk sayuran, hampir mencapai 20 persen dibandingkan tahun lalu.

Baca juga: Tahu dan Tempe Makin Dicari di Masa Pandemi

Disusul pengeluaran untuk buah meningkat 9,7 persen, kemudian telur sebagai salah satu sumber protein, meningkat 7,5 persen. Menariknya, pengeluaran buah dan sayur meningkat paling tinggi dibandingkan telur, ikan, dan daging, setelah tahun sebelumnya mengalami pertumbuhan negatif.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menganjurkan untuk banyak mengonsumsi buah dan sayur selama pandemi. Vitamin dan mineral yang terkandung di dalamnya diperlukan dalam mempertahankan sistem kekebalan tubuh yang optimal.

Asupan energi

Di sisi lain konsumsi pangan penduduk Indonesia juga telah tercukupi. Sejak lima tahun terakhir, proporsi penduduk yang mengalami kekurangan konsumsi pangan semakin menurun.

Hal tersebut ditunjukkan dari angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan yang diukur dari asupan energi minimum atau prevalence of undernurishment (PoU) yang cenderung mengecil. Tahun 2015, nilai PoU Indonesia masih 10,73 persen. Selanjutnya terus menurun, hingga 2019 mencapai 7,66 persen.

Iklan
https://cdn-assetd.kompas.id/-gE0Qq9AV84QNH9i4PUqi3PTVJs=/1024x626/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2F20190813TAM-01_1565690876.jpg
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Makanan berbahan hanjeli ditampilkan dalam Festival Pangan Lokal Lomba Cipta Menu Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (13/8/2019).

Penurunan angka PoU tersebut sejalan dengan penurunan kemiskinan di Indonesia. Persentase penduduk miskin mengalami penurunan dari 9,82 persen pada Maret 2018 menjadi 9,41 persen pada Maret 2019. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan pangan di Tanah Air mulai terkendali.

Kekurangan gizi

Di atas kertas, jika kebiasaan baik untuk mengonsumsi protein, buah, sayur terus belanjut hingga pandemi usai, asupan gizi masyarakat akan terjamin. Begitu juga dengan konsumsi pangan masyarakat yang telah tercukupi.

Namun nyatanya, persoalan gizi di tanah air belum sepenuhnya aman. Meski membaik, angka kekurangan gizi, khususnya pada balita, masih berada di atas ambang batas WHO.

Mengacu pada standar WHO, ambang batas prevalensi kekurangan gizi balita adalah 10 persen. Sementara, merujuk laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) selama empat periode (2007-2010- 2013-2018), angka kekurangan gizi balita di Indonesia selalu berada di atas angka 10 persen.

https://cdn-assetd.kompas.id/LqdmLj2irEOyUG62nLbISAkz0Cs=/1024x2094/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F02%2F20190220-H24-MKP-Grafikota-Makanan-mumed_1550677428.jpg

Catatan Riskesdas 2018, proporsi kekurangan gizi pada balita sebesar 17,7 persen. Angka tersebut terdiri atas prevalensi gizi buruk 3,9 persen, ditambah dengan prevalensi gizi kurang sebesar 13,8 persen. Nilai tersebut perbaikan dari hasil Riskesdas 2013 yang menunjukkan angka kekurangan gizi balita 19,6 persen.

Pandemi

Pandemi sedikit banyak berpengaruh pada penghasilan masyarakat yang menurun karena berkurangnya jam kerja ataupun penghasilan. Hal ini berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan. Merujuk data BPS, persentase penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 9,78 persen. Angka tersebut meningkat 0,56 poin dari September 2019.

Hal ini berpotensi memperburuk persoalan gizi pada balita, anak, ataupun ibu hamil. Berkurangnya pendapatan masyarakat berdampak pada kemampuan mencukupi kebutuhan gizi dengan makanan sehat. Masyarakat akan menggunakan dana yang terbatas hanya untuk membeli makan dengan pola makan ‘asalkan kenyang’. Bisa jadi angka prevalensi kekurangan konsumsi pangan PoU akan meningkat pada 2020 ataupun 2021.

Baca juga: Inspirasi dari Pembatasan Sosial Jabodetabek

Sebelum pandemi, keterbatasan masyarakat mengakses makanan sehat dan bergizi khususnya pada balita, dapat diatasi oleh pemerintah melalui Posyandu. Pemberian gizi rutin saat posyandu serta pemberian kapsul vitamin A biasanya rutin diberikan dua kali dalam satu tahun. Anak-anak biasanya juga mendapat gizi dari program hari gizi di sekolah.

Namun, pembatasan sosial membuat berbagai upaya pemenuhan gizi, terbatas dilakukan di semua daerah. Bantuan pemberian makanan sehat dan bergizi pada masyarakat bisa menjadi opsi, agar kekebalan dan kesehatan masyarakat tetap terjaga selama pandemi.

https://cdn-assetd.kompas.id/GIuA65EPrPH0l9flTERnN2R_ZcI=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F03%2F20200308_103708_1583755236.jpg
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU

Siswa SD Negeri Bunaken, Sulawesi Utara, mendapatkan makanan bergizi lewat program smart center yang merupakan bagian dari program KFC untuk Negeri. Banyak anak sekolah yang tidak mendapat sarapan pagi bergizi saat hendak belajar di sekolah sehingga mempengaruhi kemampuan belajar yang baik.

Editor:
nelitriana
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000