MOJOKERTO, KOMPAS — Gejala pertentangan politik yang sampai mengancam keutuhan hubungan sosial masyarakat sebagaimana pernah terjadi di Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tetap mungkin bisa terjadi pada pilkada di Jawa Timur tahun 2018.
KPU bukannya tidak berdaya menghadapi gejala konflik sosial dan merebaknya ujaran kebencian di media sosial, hanya saja KPU tidak bisa memasuki dan mengatur fenomena sosial demikian itu. Namun, gejala sosial itu bisa ditanggulangi dengan aturan hukum lain, termasuk KUHP, di antaranya dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.
Anggota KPU Jawa Timur, Mohammad Arbayanto, menyampaikan itu seusai tampil pada acara sosialisasi Pilkada KPU Jawa Timur di Mojokerto, Rabu (18/10).
Ketua KPU Kota Mojokerto Amin Saiful Iman Soliki, Kamis (19/10), mengatakan, selama pernyataan kebencian tidak dilakukan oleh tim sukses calon atau calon atau partai politik, KPU tidak bisa mengatur.
”Peraturan KPU tidak mengikat orang-orang di luar pelaksanaan pilkada atau pemilu, tetapi ada peraturan di luar KPU yang mengatur perbuatan ujaran kebencian itu, misalnya pasal perbuatan tidak menyenangkan,” katanya.
Mungkin saja persekusi atau perolok-olokan bisa terjadi. Namun, hal itu bisa dikelola melalui pendekatan dengan tokoh-tokoh, para pemimpin masyarakat dan agama.
Menurut Arbayanto, persekusi terhadap pendukung pasangan calon oleh pendukung pasangan calon lainnya berada di luar wilayah domain KPU. Namun, tindakan demikian dapat dijaring dengan UU ITE, KUHP, dan aturan lain.
Di lingkungan KPU, jika tindakan itu dilakukan oleh pasangan calon, juru kampanye resmi pasangan calon, atau pengurus partai, bisa dilakukan tindakan hukum oleh KPU.
Namun, jika dilakukan selain peserta pilkada, maka berada di wilayah hukum Polri dan instansi lainnya. ”Jadi, tindakan persekusi tidak berarti hanya didiamkan, tetapi masih bisa dilakukan tindakan,” katanya.