Tambang Batubara Ilegal di Bukit Soeharto
SAMARINDA, KOMPAS – Tambang batubara ilegal leluasa beroperasi di dalam kawasan konservasi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto Kalimantan Timur. Sebagian hutan konservasi seluas 67 ribu hektar itu dibabat dan dikeruk alat berat. Akibatnya, 71 persen dari areal Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto dalam kondisi kritis.
Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto yang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara ini lebih mirip kawasan yang diperuntukkan bagi pertambangan dibandingkan hutan konservasi. Lemahnya pengawasan membuat tambang ilegal semakin tak terkendali.
Hasil investigasi Kompas dengan menelusuri lokasi pertambangan batubara di dalam kawasan Tahura Bukit Soeharto akhir November lalu, menemukan, sejumlah alat berat di beberapa titik, dengan leluasa mengeruk dan memorakporandakan areal hutan. Lubang bekas tambang yang menganga terhampar dimana-mana. Sebagian berisi air berwarna hitam pekat.
Tambang-tambang ilegal itu kebanyakan berada sekitar 200 meter hingga 2 kilometer dari Jalan Raya Balikpapan-Handil, Samboja, Kutai Kartanegara. Bahkan, terdapat tambang ilegal yang hanya berjarak sekitar 500 meter di belakang kantor Kepolisian Subsektor Kuala Samboja. Namun, tak terlihat petugas kepolisian maupun petugas Tahura Bukit Soeharto yang berpatroli maupun mengawasi.
Dijaga preman
Tim liputan memasuki kawasan Tahura Bukit Soeharto melalui Jalan Sungai Merdeka-Samboja menuju ke arah RSUD Aji Batara Agung Dewa Sakti Samboja di Jalan Balikpapan-Handil. Memasuki Tahura Bukit Soeharto yang penuh tambang ilegal ini perlu berhati-hati. Banyak kelompok preman dipekerjakan para pemodal tambang ilegal di sana.
Tim pun menyusuri jalan tanah berlumpur ke dalam Tahura Bukit Soeharto dengan tampilan tak mencolok. Meski demikian, sebagian warga dan para penjaga tambang tetap memandang curiga. Para penjaga tambang kerap berpatroli dengan sepeda motor trail.
Di sejumlah titik jalan tanah yang menuju kawasan Tahura Bukit Soeharto, karung-karung berisi batubara siap diangkut. Karung-karung itu diletakkan berjejer di pinggir jalan.
Warga enggan untuk memprotes keberadaan tambang di kawasan Tahura Bukit Soeharto karena takut. “Kami khawatir diintimidasi,” ujar salah seorang warga Desa Sungai Seluang, Kecamatan Samboja.
Dari keterangan warga, tambang batubara ilegal mulai marak di kawasan Tahura Bukit Soeharto sejak tahun 2005-2006. Sebagian dari tambang itu bahkan dibiarkan beroperasi oleh petugas Tahura Bukit Soeharto yang berpatroli.
Seorang mantan pekerja tambang ilegal yang beroperasi di sekitar Tahura Bukit Soeharto, Saputra, mengungkapkan, karung-karung yang berisi batubara dan diletakkan di pinggir jalan biasanya berasal dari aktivitas tambang ilegal. Pekerja yang dibayar untuk memasukkan batubara ke dalam karung tersebut umumnya berasal dari luar kota.
Tambang batubara ilegal mulai marak di kawasan Tahura Bukit Soeharto sejak tahun 2005-2006. Sebagian dari tambang itu bahkan dibiarkan beroperasi oleh petugas Tahura Bukit Soeharto yang berpatroli
Saputra memutuskan berhenti dari pekerjaan di tambang ilegal sebagai seorang asisten operator alat berat sejak tiga tahun silam karena merasa hidupnya tidak tenang. Padahal, gajinya lumayan. “Saya bisa dapat antara Rp 3 juta sampai Rp 8 juta per bulan. Tergantung dari hasil penjualan batubara,” katanya.
Informasi yang diperoleh oleh salah satu bekas pemain tambang ilegal di Bukit Soeharto, ada biaya koordinasi yang dialokasikan pelaku tambang ilegal kepada oknum aparat. Total biaya koordinasi yang dikeluarkan mulai dari puluhan juta hingga lebih dari Rp 100 juta. “Mereka kan yang punya wilayah,” ujar bekas pemain tambang ilegal tersebut.
Tahura kritis
Tidak diketahui secara persis berapa jumlah tambang ilegal yang beroperasi di dalam Tahura Bukit Soeharto. Setelah tambang ilegal marak, bentang alam Tahura Bukit Soeharto yang tadinya hijau dipenuhi pohon pun berganti dengan lubang-lubang bekas tambang dan jalanan berlumpur yang dilintasi truk pengangkut batubara.
Dari penuturan warga, dua tahun berselang setelah penambangan ilegal marak di Tahura Bukit Soeharto, permukiman mereka di Desa Sungai Seluang mulai dilanda banjir.
Menurut Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang, munculnya bencana banjir yang kini tiap tahun melanda Samboja tak terlepas dari pembukaan lahan tambang secara masif di Tahura Bukit Seoharto. "Praktik tambang ilegal menjadi pemicu kondisi kritis di Tahura Bukit Soeharto dan kawasan di sekitarnya," ujarnya.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Tahura Bukit Soeharto Rusmadi mengungkapkan, dari total luas Tahura Bukit Soeharto yang mencapai 67 ribu hektar, sebanyak 48 ribu hektar atau 71 persen di antaranya dalam keadaan kritis dan harus direhabilitasi. Selain praktik tambang batubara ilegal, juga ada pembukaan lahan untuk permukiman dan usaha.
Rusmadi mengakui, minimnya sumber daya manusia dan anggaran membuat pengawasan di Tahura tidak maksimal. Saat ini, hanya terdapat 40 orang untuk menjaga area seluas 64 ribu hektar. Adapun setahun mereka hanya memperoleh anggaran sebesar Rp 300 juta.“Uang segitu hanya habis buat makan, bensin, dan listrik saja. Dengan areal seluas itu, harusnya kita perlu tambah tenaga dan teknologi untuk tingkatkan pengawasan,” ujar Rusmadi, saat ditemui di Samarinda, Senin (26/11/2018).
Dari total luas Tahura Bukit Soeharto yang mencapai 67 ribu hektar, sebanyak 48 ribu hektar atau 71 persen di antaranya dalam keadaan kritis dan harus direhabilitasi
Terdapat tiga Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang ada di Tahura Bukit Soeharto yaitu kawasan Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA), kawasan Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman (Unmul), dan kawasan Balai Diklat Lingkungan Hidup Kehutanan (BDLHK).“Tambang ilegal itu ada di kawasan Unmul dan Balitek KSDA,” ucap Rusmadi.
Menurut Rusmadi, kondisi Tahura sudah lama rusak parah, bahkan sebelum UPTD Tahura dibentuk dan menerima limpahan tugas menjaga Tahura pada 2016. Sebelum UPTD terbentuk, tugas menjaga Tahura dibawah Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) dibawah pengawasan pemerintah pusat.“Sejak UPTD terbentuk, kondisi Tahura Bukit Soeharto memang sudah rusak. Kami menerima limpahan itu dari pusat juga,” tutur Rusmadi.
Ia mengaku tidak tahu siapa saja pemilik usaha pertambangan itu. Pihaknya sudah beberapa kali melakukan inspeksi mendadak ke lokasi tambang batubara di Tahura Bukit Soeharto. Namun, saat mereka datang, para pekerja tambang terlebih dahulu pergi meninggalkan lokasi.
Baca juga : Bencana Emas Hitam di Kalimantan
Kendati demikian, Rusmadi mengklaim berupaya memperbaiki Tahura Bukit Soeharto dengan membuat rencana program pembenahan. Nantinya, Tahura akan dipetakan menjadi beberapa zona sesuai fungsinya yaitu zona lindung, zona koleksi, dan zona rehabilitasi.
Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan Subhan mengakui kesulitan memberantas tambang ilegal di Tahura Bukit Soeharto. Subhan mengungkapkan selain dilindungi oknum aparat, operasional tambang ilegal di kawasan Tahura Bukit Soeharto dijaga preman. "Balai Gakkum kesulitan. Dukungan para pihak minim, termasuk di lapangan waktu penindakan, sampai kasus dibawa ke pengadilan," ujarnya.
Kepala Dinas Kehutanan Kaltim Amrullah malah mengaku tidak tahu secara pasti situasi terbaru terkait dengan tambang di Tahura Bukit Soeharto. Jika ada tambang batubara yang beroperasi di dalam tahura maka dipastikan ilegal. Apabila tertangkap, maka ada penegakan hukum dan menjadi kewenangan dari pihak kepolisian.
Namun, penegakan hukum terhadap tambang ilegal juga belum berjalan optimal. Ketika dikonfirmasi, Kepala Polda Kaltim Inspektur Jenderal Priyo Widyanto menyebutkan, penindakan tambang di Tahura Bukit Soeharto ada di Dinas ESDM atau Dinas Kehutanan Kaltim. Terkait adanya dugaan oknum kepolisian yang menerima biaya koordinasi, Priyo bertanya balik siapa oknum tersebut. “Laporkan saja ke (Bagian) Propam,” kata Priyo.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim Baharuddin Demmu mengaku heran dengan praktik penambangan ilegal di Tahura Bukit Soeharto yang tidak ditertibkan karena sebenarnya mudah sekali untuk melacaknya. Dia menilai, pemerintah daerah tidak serius untuk menjaga areal konservasi tersebut karena penambangan ilegal seolah dibiarkan beroperasi. “Mungkin (Tahura) memang dibiarkan untuk dirusak karena tidak ada upaya untuk menindak. Jangan-jangan ada pemain besar,” kata Baharuddin Demmu.
Penegakan hukum terkendala
Penambangan di kawasan konservasi melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Perambahan Kerusakan Hutan serta UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya. Pelanggaran UU tersebut dapat dikenai ancaman hukuman penjara minimal 3 tahun dan paling lama 15 tahun.
Selama tahun 2018, ada tiga kasus tambang ilegal di Tahura Bukit Soeharto ditangani Balai Gakkum KLHK. “Kita melihat Tahura Bukit Soeharto ini banyak laporan pelanggaran dari warga tetapi kok dulu tidak ditindaklanjuti jadi ya kita proses kesana,” ujar Kepala Seksi II Samarinda Balai Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan Annur Rahim.
Annur mengungkapkan, tidak mudah menjerat penambang ilegal di Tahura Bukit Soeharto karena informasi penangkapan sering bocor saat petugas bergerak ke lokasi. Untuk itu, menurut Annur, pihaknya memiliki strategi lain dengan tidak menerjunkan kendaraan dinas. Selain itu, kerap ada intervensi agar kasus yang ditangani Balai Gakkum tidak dilanjutkan.
Dari tiga kasus yang ditangani Balai Gakkum, satu kasus telah disidangkan pada pertengahan Agustus silam dan berujung pada vonis bebas terhadap dua pelaku. Adapun dua kasus lain dengan enam tersangka, termasuk tiga pemodal, masih dalam proses penyidikan.
Annur mengakui, upaya penegakan hukum terhadap perusak lingkungan seperti penambang ilegal perlu sinergisitas dari penegak hukum lain, termasuk kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan. Namun, belum semua aparat memiliki pemahaman sama mengenai kejahatan lingkungan.