Berenang, Menyelam, Angkat Sampah di Pantai Senggigi
Gerakan untuk menyelamatkan laut dari sampah plastik terus bermunculan. Mereka yang ambil bagian, sepakat bahwa laut harus di jaga tanpa ada pengecualian, apalagi dari sampah plastik. Tak cukup di daratan, mereka secara sukarela turun ke laut dengan berenang hingga menyelam. Hal itu yang dilakukan oleh Komunitas Lombok Ocean Care di Pantai Senggigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA/KHAERUL ANWAR
·6 menit baca
Gerakan menyelamatkan laut dari sampah plastik terus bermunculan. Mereka yang ambil bagian sepakat laut harus dijaga tanpa ada pengecualian, apalagi dari sampah plastik. Tak cukup di daratan, mereka secara sukarela turun ke laut dengan berenang hingga menyelam. Di Nusa Tenggara Barat, hal itu juga dilakukan.
Siang itu, Dewi Irawati (62) begitu antusias. Ombak pasang yang cukup besar di kawasan Pantai Senggigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Minggu (30/6/2019) sekitar pukul 09.00, tak membuat perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai pengelola pendidikan anak usia dini (PAUD) itu terlihat ragu.
Selama belasan menit, ia berenang. Sesekali, warga Jempong, Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram, itu berhenti. Dengan tangan, ia kemudian meraih setiap sampah plastik yang mengapung di dekatnya. Termasuk yang ada di dalam laut atau di bawah kakinya. Setelah itu, ia memasukkan sampah itu ke dalam karung waring atau karung jala yang turut dibawanya.
Saat karung di tangannya penuh, Dewi berenang ke darat. Di sana, beberapa orang sudah menunggu. Begitu tiba, Dewi langsung mengeluarkan semua sampah plastik yang ia peroleh. Sampah itu kemudian dipilah sesuai kelompoknya, dibersihkan, dikeringkan, dan dimasukkan ke dalam karung besar.
Setelah itu, Dewi tak langsung istirahat. Ia dengan penuh semangat kembali berenang. Melakukan hal serupa berkali-kali. Selama beberapa jam. ”Saya sangat menikmati kegiatan ini. Selain bentuk kepedulian pada laut, saya juga olahraga. Sudah lama tidak berenang... ha-ha,” kata Dewi.
Bukan hanya Dewi yang memungut sampah plastik di kawasan Pantai Senggigi hari itu. Ada puluhan orang yang juga berpartisipasi dalam acara bersih pantai yang diselenggarakan Lombok Ocean Care (LOC).
LOC adalah sebuah komunitas yang beranggotakan para pencinta selam permukaan atau snorkeling di Lombok dan rutin menginisiasi kegiatan bersih-bersih pantai. Bisa dikatakan, mereka lebih fokus membersihkan sampah yang tidak terlihat atau berada di dalam laut. Seperti yang dilakukan hari ini.
Oleh karena itu, seperti Dewi, peserta lain baik dari komunitas-komunitas peduli lingkungan maupun perseorangan di Lombok juga ikut berenang, bahkan ada yang memakai snorkel. Termasuk pula membawa perlengkapan seperti tangguk atau serokan dan tongkat.
Ada juga yang berkeliling dengan perahu dan kano. Dari atas, mereka mengambil sampah yang berada di permukaan laut atau sudah agak dalam. Begitu karung yang dibawa penuh, mereka menepi dan diserahkan ke bagian pemilah.
Personel kantor Pencarian dan Pertolongan Mataram yang turut ambil bagian bahkan menyelam. Mereka menyelam di sisi tengah, beberapa puluh meter dari bibir pantai. Saat kembali, mereka juga membawa begitu banyak sampah plastik.
Bagi yang tidak berenang atau menyelam, mereka ikut menyusuri kawasan pantai sambil membawa karung. Bukan hanya di area pantai, beberapa orang bahkan ke area batu karang. Seperti halnya di dalam laut, di sana mereka bisa menemukan berbagai jenis sampah plastik, misalnya botol, kemasan makanan, dan sedotan, termasuk bekas popok bayi dan pembalut wanita.
”Akhir-akhir ini, kami paling banyak menemukan bekas popok bayi dan pembalut wanita... ha-ha,” kata pendiri Lombok Ocean Care, Sakinah.
Menurut Sakinah, sampah yang mereka kumpulkan dari kawasan Pantai Senggigi, tepatnya di depan Hotel Sheraton Senggigi, hanya sebagian kecil dari sampah di perairan laut Lombok. ”Sekarang kita sudah darurat sampah plastik di laut,” kata Sakinah, warga Jerman, yang sudah 30 tahun menetap di Indonesia.
Menurut Sakinah, setiap kali LOC mengadakan acara bersih-bersih, yakni pada Jumat dan Minggu, mereka bisa mengumpulkan banyak sampah plastik. ”Selalu banyak sampah plastik. Hari ini dibersihkan, besok muncul lagi. Seperti tidak habis-habis,” kata Sakinah.
Meski demikian, menurut Sakinah, mereka akan terus bekerja mengeluarkan sampah dari laut. Jika tidak ada inisiatif seperti itu, ia khawatir akan berdampak buruk terhadap ekosistem laut. ”Lihat saja, hari ini kami juga menemukan banyak plastik bening. Itu sangat berbahaya bagi ikan karena tidak terlihat. Kalau ikan terjebak, bisa mati di sana,” kata Sakinah.
Sakinah sangat mengapresiasi banyak pihak yang berpartisipasi dalam kegiatan mereka secara sukarela, termasuk membantu menyediakan peralatan yang dibutuhkan. ”Hari ini juga banyak wisatawan mancanegara yang datang. Jadi, selain ikut, mereka juga bisa melihat bahwa orang Lombok memiliki kepedulian terhadap lingkungan, tidak cuek sama sekali,” kata Sakinah.
Jennifer Janski, wisatawan asal Jerman, mengatakan, kegiatan bersih pantai yang dilakukan LOC sangat ia apresiasi. ”Ini luar biasa. Harus semakin sering dilakukan dan saya akan sangat senang untuk ambil bagian,” kata Jennifer.
Ini luar biasa. Harus semakin sering dilakukan dan saya akan sangat senang untuk ambil bagian. (Jennifer Janski)
Ida Bagus Suryana Jaya (21) dari Komunitas Malu Dong Buang Sampah Lombok mengatakan, keterlibatan mereka adalah cara untuk merawat alam. ”Tidak cukup jika kita hanya menikmati saja. Tetapi, juga harus merawat dan melindunginya agar tetap indah,” kata Surya.
Menurut Surya, kesadaran itu harus ditumbuhkan. ”Saat ini, masih banyak orang yang buang sampah plastik di obyek wisata. Mereka menganggap itu hal biasa. Bayangkan kalau ada sejuta orang berpikir sama, maka ada sejuta sampah plastik yang dibuang,” kata Surya.
Lila Aprilia Kartika (25) dari Khiri Travel Senggigi mengatakan, kondisi pantai atau laut yang kotor dan banyak sampah kerap menjadi keluhan tamu-tamunya, terutama dari mancanegara. ”Jadi, kalau dibiarkan, saya khawatir wisatawan akan malas untuk datang ke Lombok,” kata Lila, yang mulai mendorong gerakan tanpa plastik di kantornya.
Pendiri Bank Sampah NTB Mandiri dan Lombok Eco International Connection, yayasan yang fokus pada lingkungan dan pendidikan, Aisyah Odist, mengatakan, kegiatan yang dilakukan LOC tidak untuk memindahkan tempat sampah berada. ”Kami tidak mau kalau hanya mengambil sampah, masukkan dalam karung, kemudian taruh di pinggir jalan atau dibakar. Kalau seperti itu, sampah bisa saja kembali lagi (ke laut),” kata Aisyah.
Menurut Aisyah, kegiatan penanganan sampah plastik yang mereka lakukan harus selesai. Oleh karena itu, begitu sampah diangkat, mereka langsung memilahnya. Sebagian besar akan digunakan untuk membuat ecobrick (bata ramah lingkungan), sisanya ke tempat pembuangan sampah akhir. ”Jadi tidak harus (mengumpulkan) banyak sampah. Sedikit, tetapi benar-benar selesai,” kata Aisyah.
Malu buang sampah
Aisyah menilai, banyaknya pihak yang terlibat dalam kegiatan LOC merupakan contoh yang baik. ”Dulu, kegiatan ini hanya dilakukan satu-dua orang. Sekarang, makin lama makin banyak yang bergabung. Bahkan, yang menarik, wisatawan juga ikut,” kata Aisyah.
Menurut Aisyah, mengubah pola pikir masyarakat tentang sampah memang sulit. ”Tradisi malu buang sampah belum banyak dilakukan. Pikiran sebagian besar masyarakat adalah sampah bukan tanggung jawab dia, melainkan ada petugas kebersihan yang akan menangani,” kata Aisyah.
Selain itu, kata Aisyah, sampah belum dilihat sebagai berkah oleh semua orang. Jikapun ada, pandangan itu hanya ada pada orang-orang menengah ke bawah yang mengolah kembali sampah. Sementara kalangan menengah ke atas, alih-alih mengelola sampah, justru menjadi penyumbang sampah baru.
Menumbuhkan rasa bertanggung jawab pada sampah sendiri, menurut Aisyah, adalah bagian penting dalam gerakan zero waste atau bebas sampah yang tengah didorong pemerintah, termasuk di NTB.
”Tetapi, zero waste tidak akan selesai hanya dengan membangun bank sampah. Bank sampah hanya sebagian kecil. Zero waste baru akan terjadi ketika semua orang bertanggung jawab atas sampahnya sendiri,” kata Aisyah.
Menurut Aisyah, tanggung jawab itu hanya bisa dibangun lewat pendidikan. ”Saya berharap, siapa pun bisa memulainya dari diri sendiri, kemudian mengajarkan kepada orang lain. Lama-lama akan seperti efek bola salju, menjadi gerakan yang besar untuk zero waste,” kata Aisyah.