Krisis air bersih di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dua bulan terakhir telah berdampak pada 55.915 jiwa. Jumlah itu bisa bertambah karena kemarau diprediksi masih melanda hingga Oktober. Untuk mambantu warga, pemerintah Kabupaten Cirebon terus menyalurkan bantuan air bersih.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS – Krisis air bersih di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dua bulan terakhir telah berdampak pada 55.915 jiwa. Jumlah itu bisa bertambah karena kemarau diprediksi masih melanda hingga Oktober. Untuk mambantu warga, pemerintah Kabupaten Cirebon terus menyalurkan bantuan air bersih.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cirebon, hingga pertengahan Agustus, krisis air bersih akibat dampak kekeringan terjadi di 16 desa pada 11 kecamatan. Daerah itu merata di bagian timur (Kecamatan Gebang), tengah (Talun), selatan (Greged), barat (Klangenan), dan utara (Suranenggala).
Sebanyak 15.893 keluarga atau 55.915 jiwa di daerah tersebut terdampak krisis air bersih.
Sebanyak 15.893 keluarga atau 55.915 jiwa di daerah tersebut terdampak krisis air bersih. Desa Sampiran, Talun menjadi daerah dengan dampak terparah, yakni 11.032 orang. “Jika di desa terdapat lebih dari 400 warga yang kesulitan air baku untuk diminum, maka daerah itu krisis air bersih,” kata Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik BPBD Cirebon Eman Sulaeman, Senin (26/8/2019).
Menurut Eman, krisis air bersih kali ini lebih parah dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2018, kekeringan terjadi Agustus hingga September dengan daerah terdampak 29 desa dari 15 kecamatan. Bantuan air bersih yang disalurkan saat itu sekitar 1,5 juta liter air dengan biaya Rp 93 juta.
Sementara tahun ini, sejak Juli hingga pertengahan Agustus, BPBD Cirebon telah memasok lebih dari 817.000 liter air. “Diperkirakan jumlahnya mencapai 2 juta liter air tahun ini dan biayanya lebih Rp 100 juta. Beberapa desa juga telah mengirimkan permintaan air,” kata Eman.
Prediksi meluasnya daerah krisis air tersebut berdasarkan status siaga darurat kekeringan oleh Pemkab Cirebon yang berlangsung sejak 1 Juli hingga 31 Oktober. Dengan status itu, menurut Eman, pihaknya akan berupaya mengantisipasi dampak kekeringan dengan bantuan air bersih.
“Dalam seminggu, kami mengirimkan dua kali air bersih ke desa terdampak. Jika kekeringan masih terjadi setelah Oktober, kami tetap akan membantu air bersih,” katanya.
Setiap pengiriman satu tangki air berkapasitas minimal 4.000 liter. Pada Senin siang, misalnya, BPBD Kabupaten Cirebon bersama PDAM Tirtajati mendistribusikan 6.300 liter air kepada warga Desa Sambeng, Gunung Jati.
Meskipun terus berulang, langkah antisipasi dampak kekeringan belum optimal. Eman mengatakan, baru Desa Cilukrak, Kecamatan Palimanan, yang punya solusi jangka panjang terhadap kekeringan dengan membuat sumur artesis. Selebihnya, upaya penanganan kekeringan masih mengandalkan penyaluran air bersih.
“Kami tengah berkoordinasi dengan dinas terkait, seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, untuk membuat embung sebagai solusi permanen kekeringan,” katanya. Ia juga meminta masyarakat membuat sumur yang dapat menabung air hujan dan dimanfaatkan saat kemarau.
Namun, menurut Saingkem (50), warga Desa Slangit, sumur tidak cukup untuk mengatasi kekeringan. Saat kemarau, warga mengambil air dari saluran irigasi tersier yang berisi lumut dan sampah plastik. Air tersebut disedot menggunakan mesin pompa dengan pipa ke sumur warga.
Untuk mengisi penuh sumur dengan kedalaman sekitar 10 meter, warga mengeluarkan uang Rp 25.000. Adapun untuk kebutuhan air minum, warga membeli air isi ulang, Rp 4.000 per galon atau 19 liter. “Kami enggak punya pilihan lain, kecuali bantuan air bersih dari pemerintah,” ujarnya.
Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Meteorologi Kertajati Ahmad Faa Izyn mengatakan, Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Sumedang terpantau berpotensi dilanda kekeringan ekstrem. Artinya, lebih dari 60 hari ke depan tidak hujan. “Kemarau berlangsung hingga Oktober,” ucapnya.