Bolos Massal, 71 Pelajar SMK dari Bogor Ditahan di Polres Banyumas
Sebanyak 71 pelajar dari enam SMK di wilayah Bogor, Jawa Barat, membolos massal. Mereka sedianya hendak pergi bersama ke Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, dengan menumpang truk berganti-ganti.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Sebanyak 71 pelajar dari enam sekolah menengah kejuruan (SMK) di wilayah Bogor, Jawa Barat, membolos massal. Mereka sedianya hendak pergi bersama ke Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, dengan menumpang truk berganti-ganti. Namun, karena meresahkan sopir truk di jalan raya, para pelajar itu akhirnya digiring ke Kantor Kepolisian Resor Banyumas.
”Di Candi Borobudur saya ingin foto-foto,” kata AM (17), siswa kelas XII SMK, saat ditemui di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (12/9/2019).
AM mengatakan, dirinya bersama teman-teman antarsekolah berangkat dari Bogor pada Selasa (10/9/2019) sore sepulang sekolah. Mereka adalah teman nongkrong bersama dan saling berkomunikasi satu sama lain menggunakan grup Whatsapp. ”Saya bilangnya ke orangtua mau ke Yogyakarta sama teman-teman,” katanya.
Rombongan itu berangkat dari Bogor menggunakan bus hingga Cileunyi. Setelah itu, mereka berganti-ganti menumpang truk hingga turun di Simpang Empat Buntu, Kemranjen, Banyumas, Jawa Tengah. Sampai di Simpang Empat Buntu, mereka menunggu tumpangan berikutnya, tetapi tidak segera dapat. ”Tadi menunggu di simpang empat tidak dapat-dapat tumpangan, lalu terpaksa kami ke tengah menghadang truk,” tuturnya.
Namun, sopir truk ketakutan karena jumlah mereka banyak. Sopir truk pun kemudian melaporkan rombongan pelajar yang menghadang truk itu ke polisi.
Menurut AM, rombongan ini berencana membolos hingga Jumat mendatang untuk piknik ke Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Mereka berasal dari SMK Tridaya, SMK Wijayakusuma, SMK Mekanika, SMK YKTB, SMK IT Yapis, dan SMK Yayasan Teknologi Baru. ”Di sekolah ada acara piknik dan jalan-jalan, tapi hanya di dekat-dekat sana saja. Bosan,” ujarnya.
Semula ide atau rencana jalan-jalan ini berasal dari para siswa kelas XII, tetapi kemudian adik-adik kelas XI dan X tertarik untuk ikut. Setiap anak membawa uang saku Rp 100.000 hingga Rp 200.000.
Para pelajar ini juga tidak jujur pamit kepada orangtuanya masing-masing. ”Saya bilang ke orangtua pergi jalan sama teman. Mereka tidak tahu saya mau ke Magelang,” kata El, satu-satunya siswi di antara para siswa itu.
Kepala Kepolisian Resor Banyumas Ajun Komisaris Besar Bambang Yudhantara Salamun menyampaikan, anak-anak ini dibawa petugas ke Polsek Kemarenjen pada pukul 07.00 saat mereka berusaha menumpang ke beberapa truk. ”Sopir truk ini takut karena jumlahnya banyak dan sempat marah, bersitegang, lalu lapor ke polsek,” kata Bambang.
Selain membolos, para pelajar ini juga tidak jujur saat pamit kepada orangtua masing-masing.
Bambang mengatakan, pihak kepolisian masih berkoordinasi dengan pihak sekolah dan orangtua untuk menjemput mereka. ”Mereka ini bisa keluar jika pihak sekolah sudah hadir karena mereka masih anak-anak dan perlu pembinaan dari sekolah. Demikian juga jika ada orangtua yang menjemput, hanya bisa menjemput anaknya,” ujar Bambang.
Pengajar Sosiologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Tri Wuryaningsih, heran atas pengaruh pertemanan anak-anak ini sehingga bisa menggerakkan puluhan pelajar dari sekolah yang berbeda untuk membolos massal. ”Saya agak terperangah karena bisa beramai-ramai seperti ini dan ada satu perempuan di antara banyak laki-laki. Dia harus dipahamkan bahwa dia berpotensi mengalami kekerasan seksual. Ini memang kenakalan anak-anak,” tutur Tri.
Tri menyampaikan, para pelajar ini bisa jadi mengalami kejenuhan di sekolah dan kurangnya kontrol dari orangtua. ”Ciri khas anak di masa transisi, di masa remaja ini selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Apalagi ada dukungan dari teman-teman, dia merasa ada support, merasa ada teman, sehingga dia berani melakukan hal yang belum pernah dilakukan,” ujarnya.
Para pelajar ini bisa jadi mengalami kejenuhan di sekolah dan kurangnya kontrol dari orangtua.
Tri juga mengimbau orangtua untuk tetap mengontrol anak-anaknya dan memastikan mereka berangkat ke sekolah. ”Orangtua mestinya bertanya. Ini, kan, berhari-hari. Orangtua harus berkomunikasi dengan sekolah,” katanya.