Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil percaya diri masa depan daerah yang kini dipimpinnya ada di Majalengka, Cirebon, dan Subang. Bukan tantangan yang mudah di tengah derasnya pembangunan di daerah-daerah itu kini.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·6 menit baca
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil percaya diri masa depan daerah yang kini dipimpinnya ada di Majalengka, Cirebon, dan Subang. Kawasan yang disebut ”Segitiga Rebana” itu bakal didesain lebih humanis dan lebih dari sekedar tempat kumpulan pabrik-pabrik. Bukan tantangan yang mudah di tengah derasnya pembangunan di daerah-daerah itu kini.
”Desain kawasan ini futuristik, bukan kumpulan pabrik-pabrik. Kami tidak ingin segitiga rebana kurang humanis, berisi dari tembok besar pabrik yang dijaga satpam,” ujar Kamil. Segitiga Rebana merupakan kawasan yang mengintegrasikan Bandara Internasional Jabar Kertajati di Majalengka, Pelabuhan Patimban (Subang), dan Cirebon.
Kamil menyampaikan itu dalam acara peletakan batu pertama pembangunan Hotel Horison Ultima Kertajati di Jalan Kadipaten-Jatibarang, Kabupaten Majalengka, Rabu (11/9/2019). Ini kali pertama ia menghadiri peletakan batu pertama sebuah hotel komersial.
Hotel milik PT Metropolitan Land (Metland) Tbk itu dibangun di atas lahan seluas 10.890 meter persegi. Hotel yang diklaim bintang empat itu terdiri dari delapan lantai, satu lantai basemen, serta 110 kamar untuk tahap pertama. Hotel yang pembangunannya menelan biaya Rp 110 miliar itu hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari pintu masuk BIJB Kertajati.
Bagi Kamil, kehadiran hotel berbintang pertama di sekitar bandara menjadi kickoff masuknya industri pariwisata di Kertajati. Saat ini, sekitar 2.500 penumpang terbang dan mendarat di Bandara Kertajati setiap hari. Namun, belum ada tempat menginap yang memadai bagi penumpang atau awak pesawat.
Industri pariwisata bakal mendukung visinya membangun kawasan rebana yang humanis. Dengan pariwisata, Majalengka yang dianugerahi keindahan alam seperti pegunungan dan air terjun bakal tetap lestari. Alasannya, pesona itu yang membawa wisatawan berkunjung.
Kamil bahkan lebih memilih pepohonan tumbuh di sepanjang jalan yang meneduhkan hati dan pikiran warga dibandingkan menjamurnya hutan beton dengan pagar tingginya. ”Daya hapal seseorang meningkat kalau lihat pohon,” ungkap Kamil yang merasa kegerahan karena minimnya pohon di sekitar lokasi pembangunan hotel.
Pariwisata juga dinilai mampu memberdayakan berbagai lapisan masyarakat. ”Dari kelas tukang parkir hingga konglomerat. Ini ekonomi Pancasila, yang kaya boleh semakin kaya tetapi yang miskin juga ikut. Ini bukan kapitalisme, yang kaya kian kaya dan miskin tambah melarat,” papar Kamil.
Oleh karena itu, dia meminta pihak hotel memprioritaskan warga setempat untuk mengisi 120 karyawan yang dibutuhkan. Kalaupun belum memenuhi kompetensi yang diinginkan, pihak hotel diminta melatih calon tenaga kerja setempat. Begitulah cara kerja industri pariwisata, katanya.
Jaka Sembung
Ia tidak ingin Majalengka seperti daerah tetangga. Kamil enggan menyebutkan nama daerah itu. Namun, katanya, di sana industri bertumbuh pesat. Pabrik-pabrik, yang juga tidak disebut jenisnya, menjamur. Sayangnya, pengangguran juga menanjak.
”Artinya, yang kerja di sana bukan orang lokal. Ini sama saja dengan Jaka Sembung bawa golok, enggak nyambung,” ucapnya.
Hal serupa sempat disampaikan di hadapan 27 pemerintah kabupaten/kota di Jabar dalam Kopdar (Koordinasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah) di Kuningan, pertengahan Juli lalu. Dalam paparannya, tampak sejumlah daerah yang masuk dalam kategori laju pertumbuhan ekonomi (LPE) tinggi, tetapi tingkat pengangguran terbukanya (TPT) juga besar pada 2018.
Daerah itu ialah Kota Bandung, Cimahi, Karawang, Bekasi, Cianjur, Kota Bogor, dan Bogor. Cianjur, misalnya, dengan LPE di atas 6 persen, TPT-nya mencapai 10 persen. Angka ini di atas TPT Jabar, 8,17 persen.
Kondisi ini tidak jauh beda dengan para siswa SMK jurusan otomotif di Jabar yang masih bergelut dengan sepeda motor lama dengan karburatornya, padahal kebanyakan motor sudah menggunakan injeksi. Kamil pun mengaku tidak heran jika 16,9 persen dari 1,85 juta penganggur di Jabar pada Agustus 2018 merupakan lulusan SMK.
”Bisa jadi nanti anak SMK tidak belajar di sekolah, tetapi di perusahaan. Kami masih mengkajinya dalam tiga bulan ke depan,” ujar mantan wali kota Bandung tersebut.
Ia juga bakal mengkaji pengurangan pajak pada perusahaan yang menyiapkan kelas dan pelatihan keterampilan bagi warga lokal. Sistem inilah yang diharapkan berjalan di Segitiga Rebana.
Katanya, kawasan itu akan fokus pada industri pariwisata dan manufaktur berteknologi tinggi. Tahun lalu, 17 persen dari total ekspor nasional atau 30,4 miliar dollar AS berasal dari kontribusi Jabar. Adapun produk ekspor unggulannya ialah ban, mesin pencetak (printer), dan sepatu olahraga.
Berapa porsi lahan untuk industri dengan aneka pabriknya dan pariwisata, dia masih mengkajinya. Hasilnya akan ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang dan wilayah Jabar juga bakal mempertimbangkan lokasi ibu kota provinsi yang baru. Salah satu kandidatnya adalah kawasan Segitiga Rebana.
Akan tetapi, ketika Kamil masih menahan masuknya investor karena masih merancang desain kawasan Segitiga Rebana yang humanis, pemerintah daerah sudah lebih dulu menyiapkan lahan untuk kumpulan pabrik-pabrik.
Pemkab Majalengka, misalnya, menyiapkan sekitar 12.500 hektar untuk kawasan industri. Kawasan itu tersebar di Kertajati, Jatitujuh, Ligung, Dawuan, Kadipaten, Kasokandel, Jatiwangi, Palasah, Sumberjaya, dan Leuwimunding.
Industri tekstil produk tekstil merupakan salah satu yang menyasar lahan itu. Saat ini saja sudah ada 10 TPT di ”Kota Angin”. Pabrik dengan tembok tinggi pun berjejer, antara lain, di daerah Sumberjaya, Kasokandel, dan Jatiwangi.
Lahan untuk pabrik
Bupati Majalengka Karna Sobahi berjanji tidak mempersulit investor yang bakal masuk ke daerahnya. Hingga Agustus 2019, nilai investasi ke Majalengka menyentuh Rp 1,37 triliun. Padahal, tahun 2017 nilainya masih Rp 551,9 miliar.
”Sekitar 60 persen merupakan penanaman modal asing dan sisanya dalam negeri. Ini kebanggaan bagi kami,” ujarnya.
Karna juga berkomitmen pabrik-pabrik yang masuk tidak mengganggu lahan produktif. Saat ini, sawah tercatat seluas sekitar 50.000 hektar. ”Lahan ini tidak boleh kurang dari 39.000 hektar. Ini sudah sesuai kebutuhan beras masyarakat, bahkan surplus,” kata pemimpin dari sekitar 1,1 juta warga Majalengka tersebut.
Pemkab Cirebon juga berjanji menjaga lahan pertanian pangan berkelajutan (LP2B) sebesar 40.000 hektar. Namun, di sisi lain, lahan seluas 10.000 hektar telah disiapkan untuk industri.
Sama dengan Majalengka dan Subang, upah minimum kabupaten yang kompetitif, dari Rp 1,79 juta hingga Rp 2,73 juta, menjadi daya tarik mendatangkan investor. Angka itu lebih rendah dibandingkan upah di kawasan industri Bekasi atau Karawang yang sudah menyentuh Rp 4 juta lebih per bulan.
Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Cirebon Uus Sudrajat mengatakan, kehadiran kawasan industri mampu menurunkan tingkat pengangguran. ”Pabrik sepatu di Pabedilan yang luasnya kurang dari 5 hektar saja bisa menyerap 20.000 tenaga kerja. Kalau kawasan industri terwujud di Cirebon, bisa jutaan tenaga kerja yang terserap,” ungkap Uus.
Bukan tidak mungkin, keinginan pemda di kawasan segitiga rebana menarik investor hanya melahirkan kumpulan pabrik-pabrik. Padahal, Kamil mendambakan kawasan yang futuristik, sawah di desa tetap asri tanpa tembok-tembok pabrik.
Jangan sampai rencana itu hanya berakhir dalam kajian yang terselip dalam tumpukan dokumen para pejabat. Nanti, jadinya Jaka Sembung bawa golok. Enggak nyambung, lalu diolok-olok.