LHOKSEUMAWE, KOMPAS - Kepolisian Resor Kota Lhokseumawe menetapkan MI (39) dan UG (38) warga Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, sebagai tersangka dalam kasus kekerasan terhadap anak. Kedua orangtua tersebut, memaksa MS (9), sang anak untuk mencari uang dengan cara menjadi pengemis.
Kepala Kepolisian Resor Kota Lhokseumawe Ajun Komisaris Besar Ari Lasta Irawan, Jumat (20/9/2019) mengatakan, MI dan UG diduga memaksa anaknya MS untuk mencari uang. Jika pulang tidak membawa uang, kaki MS diikat menggunakan rantai. MS juga diduga mendapat kekerasan fisik.
MS merupakan anak kandung UG dari suami sebelumnya. Beberapa tahun lalu, setelah bercerai dengan suami sebelumnya, UG menikah dengan MI. Selama ini, korban tinggal bersama ibu kandung dan ayah tirinya itu di sebuah rumah kayu di Banda Sakti.
Saat ini, kedua orangtua korban telah ditahan di Polres Lhokseumawe. Pelaku melanggar undang-undang tentang kekerasan terhadap anak. “Kami sedang mendalami kasusnya, termasuk kekerasan apa saja yang dialami korban,” kata Ari.
Terungkapnya kasus ekploitasi anak ini bermula dari laporan warga kepada anggota TNI Bintara Pembina Desa atau Babinsa pada Rabu (18/9). Setelah dicek ke lokasi, Babinsa bersama warga menemukan MS dirantai di rumahnya. Kasus itu kemudian dilaporkan kepada polisi.
Informasi yang dihimpun Kompas, MS telah dua tahun menjadi pengemis di seputaran Kota Lhokseumawe. Orangtua korban tidak memiliki pekerjaan tetap. Untuk memenuhi kebutuhan, mereka kerap memulung dan menyuruh anaknya menjadi pengemis. Namun, kasus ini baru terungkap setelah ada warga yang melaporkan kepala Babinsa.
Setelah dicek ke lokasi, Babinsa bersama warga menemukan MS dirantai di rumahnya. Kasus itu kemudian dilaporkan kepada polisi.
Kepala Seksi Rehabilitasi Anak dan Lansia Dinas Sosial Aceh Rita Mayasari mengatakan, saat ini MS dan adiknya berusia 18 bulan diasuh oleh bibinya sebab orangtua mereka ditahan di Polres Lhokseumawe.
Rita mengatakan pihaknya menyediakan psikolog untuk mendampingi MS. “Kami memulihkan psikologisnya. Walaupun saat ini diasuh oleh keluarga besar, kami tetap mendampingi,” kata Rita.
Rita mengungkapkan, pihaknya baru mengetahui praktik eksploitasi anak oleh orangtua ketika telah ditangani oleh polisi. Menurut dia, jenis penanganan yang akan dilakukan terhadap MS dan adiknya masih belum diputuskan.
Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh Muhammad mengatakan, kasus ini menunjukkan lingkungan dan pemerintah kurang respon terhadap persoalan sosial di tingkat akar rumput.
“Harusnya, aparatur desa lebih peka terhadap persoalan sosial di desanya sebab mereka adalah pihak pertama yang mendapatkan informasi,” kata Muhammad.
Kasus ekploitasi terhadap anak di Aceh masih tinggi. Sejak 2006 hingga 2018, terjadi sebanyak 3.515 kasus kekerasan terhadap anak. Kasus paling dominan adalah kekerasan psikis, kekerasan fisik, dan pelecehan seksual.