10 Karya Dokumenter Kategori Umum dan Pelajar Bertanding
Dewan Juri Denpasar Documentary Film Festival (Dedoff) 2019 memilih 10 unggulan karya film dokumenter dari umum dan pelajar yang berdatangan dari seluruh Nusantara.
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Dewan Juri Denpasar Documentary Film Festival (Dedoff) 2019 memilih 10 unggulan karya film dokumenter dari umum dan pelajar yang berdatangan dari seluruh Nusantara. Film dokumenter pilihan ini menyisihkan 59 film yang terdaftar dan terkirim.
Festival yang memasuki tahun ke-10 ini memiliki pasang surut peserta. Tahun ini, sebanyak 189 orang mendaftar dan hanya 59 pendaftar yang mengirimkan karyanya.
Direktur Dedoff Maria Ekaristi mengatakan ada penurunan jumlah karya yang masuk dibandingkan tahun lalu sebanyak 80 peserta. ”Tetapi, festival film dokumenter ini tidak bisa disimpulkan hanya karena peserta berkurang, minat umum dan pelajar berkurang pula,” katanya di Rumah Sanur, Kota Denapasar, Sabtu (28/9/2019).
Menurut dia, peserta festival itu mengalami pasang surut saja. Bisa saja, proses produksinya terkendala atau belum selesai sehingga tidak terkirim tahun ini. Mereka bisa mengirimkan karyanya untuk diikutsertakan tahun depan.
”Toh, festival ini tidak mengejar jumlah peserta. Akan tetapi, bagaimana film dokumenter itu dipahami khalayak dan tidak mudah karena bukan sekadar dokumentasi. Kualitas menjadi penting, bukan kuantitas semata,” kat Ekaristi.
Sepuluh karya itu terpilih masing-masing kategori (umum dan pelajar) terdapat lima karya unggulan. Lima karya unggulan pada kategori umum adalah As Long As (Lutfiyyah Sesarini, Tangerang), Ibu untuk Bumi (Diyah Verikandhi, Yogyakarta), Lewat Lagu Kami Bercerita (Dony Putro Herwanto, Bogor), Linggih Aksara (Ni Luh Putu Indra Dewi Anjani), dan Padi Gaga (Gede Seen, Buleleng). Putu Fajar Arcana, salah satu juri, menilai karya kategori umum lebih bagus daripada karya pelajar.
Lalu, kategori pelajar adalah Orang-orang Tionghoa (Icha Feby Nur Futhika, SMK Negeri 1 Purbalingga), Tukad Pakerisan (Anak Agung Ngurah Nata Prabhawangsa, SMA Negeri 1 Gianyar), Pasur (Sarah Salsabila Syafiyah, SMA Kadhijah Surabaya), Tirto Sari (Yunika Eka Putri, SMA Negeri Dlanggu), dan TPA Lontar ( I Nengah Arta Dana, SMK PGRI Amlapura). Pengumuman pemenang akan digelar di Tukad Badung, Kota Denpasar, Minggu (29/9/2019).
”Toh, festival ini tidak mengejar jumlah peserta. Akan tetapi, bagaimana film dokumenter itu dipahami khalayak dan tidak mudah karena bukan sekadar dokumentasi. Kualitas menjadi penting, bukan kuantitas semata,” kata Ekaristi.
Pada edisi ke-10 ini, festival yang dulu dikenal dengan nama Denpasar Film Festival mencoba untuk mengatur ulang formulasi festival. Bukan sekadar perubahan nama menjadi Denpasar Documentary Film Festival (Dedoff) hanya karena pilihan genre dokumenternya, tetapi juga cara pandang atas film dokumenter, baik di Indonesia maupun dunia.
Sesuai tema yang kali ini mengenai mendokumenterkan keseharian manusia, semua orang berkesempatan untuk merekam dan menceritakan ulang berbagai macam fenomena di keseharian kita. Dari urusan politik yang bikin kening berkerut, hingga galaksi mana yang teleskop Hubble temukan.
Youtuber ternama
Dari persoalan kemanusiaan, hingga perkara unboxing handphone terbaru oleh Youtuber ternama. Atau, soal anak muda sopir truk yang membuat vlog viral dan kemudian menjadi selebritas yang ditunggu-tunggu banyak orang untuk foto bersama. Semua boleh bicara. Dedoff ingin menangkap narasi-narasi kecil keseharian manusia. Peradaban dunia dilihat dari persoalan mikrobiotik.
Eka menjelaskan, masuk tahun ke-10 ini, Dedoff menjadi anak tangga baru membangun kerangka pasar film dokumenter di Indonesia, dari produk fim hingga sumber daya manusianya. Festival film dokumenter ini penyelenggaraannya mendapat sokongan dari Pemerintah Kota Denpasar melalui Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.
Tahun ini, Dedoff mengawali langkahnya dengan membuat acara ”road to” berupa kemah pelatihan film dokumenter dan pemutaran regular film dokumenter di Tukad Badung yang mereka namai Bioskop Tukad.
Program pelatihan, antara lain, mengenai skoring musik untuk film dokumenter dengan instruktur Robi Navicula (Ubud) dan Sosialisasi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia dengan pemateri Gunawan Paggaru dari Badan Perfilman Indonesia (Jakarta).
Gunawan Panggaru dari Badan Perfilman Indonesia menyinggung profesionalisme pegiat film. Para pegiat mulai dituntut memiliki sertifikasi profesional. Hal ini menjadi penting ke depannya agar sumber daya manusia perfilman semakin berkualitas dan berdaya saing di dunia internasional.
Karya berdatangan dari sejumlah provinsi di Indonesia, seperti Aceh, Riau, Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Bali
Untuk kategori umum, juri terdiri dari Rio Helmi (fotografer senior, Bali), Putu Fajar Arcana (wartawan Kompas, Jakarta), dan Agung Sentausa (Badan Perfilman Indonesia, Jakarta). Untuk kategori pelajar, juri terdiri dari Warih Wsatasana (budayawan, Denpasar), Ayu Diah Cempaka (pegiat Kajian Cinema, Denpasar), dan Puja Astawa (vlogger, Jimbaran).
Karya-karya terpilih tersebut diputar bersama film-film tamu selama dua hari berturut-turut pada 27 dan 28 September 2019. Pemutaran dilakukan di dua tempat, yakni Rumah Sanur Creative Hub dan Taman Kumbasari Tukad Badung.