Kesadaran Konservasi di Tingkat Komunitas Meningkat
Kesadaran warga dalam upaya konservasi satwa liar endemik di kawasan Wallacea meningkat. Pelibatan mereka secara aktif di jalan pemberdayaan ampuh untuk menekan ancaman terhadap keanekaragaman hayati.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Kesadaran masyarakat untuk konservasi satwa liar endemik di kawasan Wallacea terus meningkat. Pelibatan mereka secara aktif dalam konservasi dengan jalan pemberdayaan cukup ampuh untuk menekan ancaman terhadap keanekaragaman hayati setempat.
”Konservasi sumber keanekaragaman hayati tanpa keterlibatan masyarakat setempat tidak akan berhasil. Di tingkat tapak, banyak masyarakat yang peduli (terhadap konservasi),” kata Direktur Eksekutif Burung Indonesia Dian Agista di sela-sela lokakarya ”Merayakan Capaian Konservasi di Wallacea” di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (2/10/2019).
Konservasi sumber keanekaragaman hayati tanpa keterlibatan masyarakat setempat tidak akan berhasil. Di tingkat tapak, banyak masyarakat yang peduli.
Burung Indonesia, organisasi pelestarian burung liar dan habitatnya, bekerja sama dengan mitra lokal di kawasan Wallacea sejak 2015. Kerja sama itu untuk perlindungan areal konservasi, jenis atau spesies flora dan fauna, serta komunitas setempat. Program kemitraan berakhir pada 2020. Program itu mencakup 202 desa dan komunitas di enam provinsi, yakni Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Maluku Utara.
Kawasan Wallacea merujuk pada pembagian flora dan fauna yang dilakukan naturalis Inggris, Alfred R Wallace, untuk membedakan flora dan fauna khas di barat dan timur Indonesia. Kawasan Wallacea meliputi Pulau Sulawesi, Pulau Maluku dan Kepulauan Halmahera, serta Nusa Tenggara.
Dian menyebutkan, kesadaran tersebut muncul dalam lima tahun terakhir di wilayah program kemitraan Burung Indonesia. Di Talaud, Sulawesi Utara, misalnya, banyak pemburu satwa berubah jadi penggerak konservasi. Di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, populasi burung endemik sikatan lompobattang (Ficedula bonthaina) terjaga karena masyarakat menyadari keberadaan burung itu.
Warga mengonservasi burung itu dengan menjaga habitatnya melalui peraturan desa. Sebagai kompensasi, komoditas kopi masyarakat dikelola dengan baik hingga mendatangkan nilai ekonomis yang tinggi.
Direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat Lembata (Barakat), Nusa Tenggara Timur, Benediktus Bedil memanfaatkan kearifan lokal setempat untuk konservasi biota laut di Teluk Hadakewa. Masyarakat setempat selama ini memburu satwa laut, seperti penyu, dugong dan kima, dan ikan secara destruktif dengan bahan peledak. Dengan berbagai usaha, masyarakat sadar dan menetapkan muro (kearifan lokal untuk melarang sementara penangkapan ikan di kawasan tertentu) seluas 358,32 hektar.
”Berkat muro, ikan melimpah. Warga tak lagi perlu melaut jauh untuk menangkap ikan,” ujar Benediktus.
Dian menyampaikan, sampai saat ini ancaman terhadap satwa liar, termasuk satwa liar endemis di kawasan Wallacea, adalah perubahan tata guna lahan dan perburuan. Perubahan tata guna lahan mencakup untuk perkebunan dan pertambangan.
Untuk perburuan, ia menyebutkan, sampai saat ini baik pemerintah maupun lembaga atau pegiat konservasi belum bisa menghentikan aktivitas ilegal itu. Banyaknya jenis satwa endemik di kawasan Wallacea yang diminati pasar membuat praktik itu terus terjadi.
Sasaran utama perburuan, kata Dian, adalah burung-burung endemis Maluku dan Maluku Utara, terutama jenis paruh bengkok. ”Ini jadi tantangan utama untuk dipikirkan para pihak,” ujarnya.
Burung-burung paruh bengkok adalah sebutan untuk jenis nuri dan kakaktua endemik, seperti nuri bayan (Eclectus roratus) dan kakaktua putih (Cacatua alba).
Kepala Subbagian Pengawetan Jenis Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sri Mulyani menyatakan, pemerintah memiliki anggaran terbatas untuk konservasi.
Dia mencontohkan, anggaran konservasi saat ini hanya 3-4 dollar AS per hektar daerah konservasi per tahun. Nilai itu terhitung kecil dibandingkan dengan Malaysia, misalnya, yang jumlahnya hampir dua kali lipat. Pola kemitraan dengan berbagai pihak jadi salah satu strategi seperti yang telah berjalan selama ini.
Asisten Bidang Ekonomi, Pembangunan, dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Provinsi Sulsel Moh Firda menyatakan, kebanyakan wisata di Sulsel bercorak ekowisata. Dengan corak itu, konservasi jadi hal utama. Pemerintah saat ini telah mendorong pengelola wisata untuk tak menggunakan bahan-bahan plastik.