Jadi Kota Termacet, Bandung Didorong Optimalkan Angkutan Umum
Kota Bandung menjadi kota paling macet di Indonesia dalam rilis Asian Development Bank atau ADB edisi September 2019. Pemerintah mengupayakan penguraian kepadatan kendaraan dengan rekayasa lalu lintas dan infrastruktur.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Kota Bandung menjadi kota paling macet di Indonesia dalam rilis Asian Development Bank atau ADB edisi September 2019. Menghadapi kemacetan tersebut, pemerintah mengupayakan penguraian kepadatan kendaraan dengan rekayasa lalu lintas dan pembangunan sejumlah infrastruktur. Namun, angkutan umum juga mesti dioptimalkan.
Berdasarkan rilis ADB Asian Development Outlook 2019Update Fostering Growth And Inclusion In Asia’s Cities, Kota Bandung menempati peringkat 14 kota termacet dari 278 kota di Asia. Ibu kota Jawa Barat ini mendapatkan skor hampir 1,2, atau tertinggi di Indonesia. Artinya, perpindahan masyarakat di jam sibuk membutuhkan waktu 20 persen lebih lama dibandingkan waktu normal. Pengambilan sampel dilakukan pada jam sibuk yakni pukul 08.00 pagi dan pukul 18.00 waktu setempat.
Posisi ini berada di atas Jakarta yang menempati peringkat 17 dan Surabaya yang menempati peringkat 20. Peringkat kota termacet di Asia versi ADB jatuh kepada Metro Manila (Filipina) dengan skor mencapai 1,5. Adapun peringkat kedua ditempati Kuala Lumpur (Malaysia) dan Yangon City (Myanmar).
Kapasitas Kota Bandung yang tak sebanding dengan jumlah penduduk dan pergerakan aktivitas warga di Bandung menjadi penyebab kemacetan.
Saat dikonfirmasi di Balai Kota, Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana, Senin (7/10/2019) menuturkan, penilaian tersebut menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah. Menurut Yana, kapasitas Kota Bandung yang tak sebanding dengan jumlah penduduk dan pergerakan aktivitas warga di Bandung menjadi penyebab kemacetan.
“Bandung dirancang hanya untuk 500.000 penduduk. Namun, kota ini memiliki penduduk lebih dari 3,7 juta jiwa di siang hari dan 2,5 juta di malam hari. Artinya, ada kurang lebih 1,2 juta penduduk Bandung Raya yang melintasi jalan-jalan utama dari dan ke arah Bandung. Belum lagi jarak persimpangan di jalan-jalan utama kota tergolong pendek. Makanya, beberapa titik bisa menimbulkan simpul macet,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah Kota Bandung membangun beberapa jalan layang sebagai perlintasan tak sebidang. Pada 2020, lanjut Yana, pemerintah menargetkan pembangunan dua jembatan layang, yaitu di Ruas Jalan Jakarta-Jalan Supratman yang melayang di Jalan Ahmad Yani dan Jalan Soekarno Hatta dari Jalan Cibaduyut menuju Kopo dan Leuwi Panjang.
Jalan layang Jakarta-Supratman ditargetkan rampung 2020, sedangkan Leuwipanjang masih dalam tahap pembebasan lahan. “Sekarang pembebasan sudah mencapai 95 persen. Pembebasan selesai, kami siap bangun,” ujarnya.
Selain itu, Yana menyatakan, pihak Kota Bandung mendorong pemerintah pusat untuk menambah akses pintu tol di KM 149 ruas Purwakarta-Bandung-Cileunyi (Purbaleunyi) Kilometer 149 dan menembus hingga Gedebage. Pembukaan akses ini diharapkan bisa memecah penumpukan kendaraan yang masuk dari jalan Tol menuju Kota Bandung di akses Gerbang Tol Kopo, Moh Toha dan Buah Batu.
Berdasarkan pemantauan, Senin (7/10) sore, kepadatan kendaraan mulai terlihat dari pukul 17.00. Pada jalur utama seperti Jalan Asia Afrika, Jalan Sukajadi dan Jalan Pasteur. Laju kendaraan roda empat tidak lebih dari 20 kilometer, sedangkan kendaraan roda dua hanya bisa melaju kurang dari 40 kilometer per jam.
Menurut pengamat transportasi dari Institut Teknologi Bandung, Sony Sulaksono Wibowo, predikat kota termacet di Indonesia ini menunjukkan kurangnya kinerja pemerintah dalam menangani permasalahan transportasi di Kota Bandung. Peringkat ini diukur dari perpindahan masyarakat dari satu titik ke titik lainnya. Oleh karena itu, penggunaan transportasi umum menjadi salah satu patokan dalam penilaian tersebut.
Sony menuturkan, Pemkot Bandung perlu memperbaiki manajemen angkutan umum yang terstruktur dan konsisten. Sinergi antar instansi dengan menambah jaringan angkutan umum, bus sekolah, Trans Metro Bandung dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan kemacetan dalam jangka pendek.
“Jangan hanya mengandalkan proyek infrastruktur saja, karena itu butuh waktu lama. Jakarta saja butuh waktu lebih dari 30 tahun untuk mengkaji proyek MRT dan LRT. Karena itu, lebih baik Bandung memaksimalkan angkutan umum yang ada,” paparnya.
Terkait kepastian ketepatan waktu dan cakupan wilayah angkutan umum, Sony menganjurkan pemerintah melakukan penataan ulang rute trayek angkutan umum (rerouting). “Jika ada ketepatan waktu dan perluasan cakupan pelayanan, masyarakat pasti mau berpindah ke angkutan umum. Mereka akan meninggalkan angkutan pribadi di rumah,” ujarnya.