Perilaku ingin bunuh diri kerap ditandai oleh perilaku-perilaku menyakiti diri sendiri. Sekalipun tidak terlihat mencolok, perilaku ini menjadi penanda awal yang semestinya tidak disepelekan dan segera ditangani.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
MAGELANG, KOMPAS - Perilaku ingin bunuh diri kerap ditandai oleh perilaku-perilaku menyakiti diri sendiri. Sekalipun tidak terlihat mencolok, perilaku ini menjadi penanda awal yang semestinya tidak disepelekan dan segera ditangani sehingga tidak berlanjut menjadi tindakan bunuh diri.
Psikolog klinis anak di Rumah Sakit Jiwa Prof Dr Soeroyo, Magelang, Jawa Tengah, Arum Widinugraheni, mengatakan, perilaku ingin bunuh diri ini seringkali ditunjukkan oleh anak-anak.
“Perilaku ingin bunuh diri tersebut antara lain ditunjukkan dengan menggaruk-garuk tangan atau lengannya hingga lecet dan berdarah, membentur-benturkan kepala di tembok, atau menggigit-gigit bibir hingga berdarah,” ujarnya, saat ditemui di acara kampanye pencegahan bunuh diri di Lapangan Rindam IV/Diponegoro, Kota Magelang, Jawa Tengah, Minggu (13/10/2019).
Anak usia SMP dan SMA biasanya sudah bisa terpancing.
Upaya melukai diri sendiri tanpa menggunakan alat, menurut Arum, pernah dilakukan oleh seorang pasien yang ditanganinya di RSJ Prof Dr Soeroyo. Anak tersebut masih berusia 12 tahun.
Karena dianggap tidak membahayakan, menurut dia, perilaku semacam ini kerap diabaikan oleh pihak orangtua dan lingkungan di sekitarnya. Padahal, saat beranjak dewasa, tanpa ada pendampingan intensif sebelumnya, anak tersebut berisiko dapat melakukan tindakan bunuh diri.
“Anak usia SMP dan SMA biasanya sudah bisa terpancing. Bisa nekat melakukan bunuh diri menggunakan alat, apalagi jika sebelumnya melihat tayangan video di internet atau televisi,” ujar Arum.
Arum sehari-hari bertugas di Poliklinik Ayodya, instalasi yang khusus menangani anak dan remaja hingga umur 19 tahun. Jumlah pengunjung anak dan remaja yang datang ke klinik tersebut sebanyak 70-80 orang per hari. Selain untuk keperluan pemeriksaan dan konsultasi medis jiwa, sebagian pasien lainnya datang untuk kebutuhan pemeriksaan kesehatan fisik dan terapi.
Arum mengatakan, di masa sekarang, anak-anak dan remaja sangat rentan terganggu kesehatan jiwanya dan berpotensi melakukan bunuh diri. Selain karena tuntutan dan beban tugasnya yang berat sebagai pelajar, anak-anak dan remaja saat ini sangat labil karena mereka tidak terdidik untuk mampu menyelesaikan masalah dan mengambil solusi secara mandiri.
Hal ini, menurut dia, terjadi karena orangtua yang terlalu sibuk sehingga kerap memilih cara singkat melindungi anaknya, yakni dengan cara langsung terlibat untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Yang sering terjadi saat ini, setelah anak-anak berselisih di sekolah, biasanya pasangan orangtua dari dua kubu yang berlawanan tersebut akan ikut berseteru dan memperpanjang masalah hingga ke pihak sekolah,” ujarnya.
Koordinator promosi kesehatan jiwa masyarakat RSJ Prof Dr Soeroyo M Zaenal mengatakan, kondisi anak dan remaja yang rapuh dan rentan terganggu jiwanya ini, antara lain juga dipicu oleh tekanan hidup di era digital. Perilaku anak-anak yang saat ini lebih sering menghabiskan waktu dengan gawai dan mengurangi waktu berinteraksi sosial dengan lingkungan sekitar, pada akhirnya membuat individu anak tersebut sulit beradaptasi dengan realitas hidup.
“Anak yang kecanduan games setiap hari hanya terfokus untuk melakukan berbagai upaya agar menang. Dia tidak terlatih untuk menerima bahwa kalah dan menang adalah hal yang sangat biasa dan lumrah terjadi dalam kehidupan,” ujarnya.
Anak-anak yang kecanduan atau terbiasa melakukan aktivitas bersama gawai sebagai aktivitas harian akan terbiasa fokus pada dirinya sendiri sehingga tingkat kepekaan sosialnya berkurang. Oleh karena itu, ketika kemudian dirinya mengalami masalah dan mendapatkan perlakuan kurang baik dari lingkungan sekitarnya, maka dia pun cepat putus asa, depresi, dan bahkan berisiko mengambil keputusan bunuh diri.
Beban tugas tersebut terasa semakin berat karena sebagian dari mereka tidak diasuh orangtuanya langsung yang bekerja di luar kota atau di luar negeri.
Sandy (19), relawan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Kabupaten Magelang, mengatakan, selama ini, kebanyakan anak-anak yang ditemuinya mengalami gangguan kesehatan jiwa, mulai dari tingkat SMP dan SMA. Kebanyakan dari mereka, menurut dia, mengaku stres karena beban tugas dan kewajiban sebagai pelajar di sekolah.
“Beban tugas tersebut terasa semakin berat karena sebagian dari mereka tidak diasuh orangtuanya langsung yang bekerja di luar kota atau di luar negeri,” ujarnya. Stres tersebut biasanya ditandai oleh perilaku yang pendiam, murung, khawatir, dan cemas berlebihan.
Depresi dan keinginan bunuh diri tidak sekadar dipicu oleh masalah, kemajuan zaman, ataupun pengaruh lingkungan sekitar. Menurut Arum, kecemasan yang berpotensi pada depresi bahkan juga bisa diturunkan oleh orangtua kepada anak semenjak masih dalam kandungan.
“Ketika hamil, ibunya sering merasa cemas dan gelisah, maka secara otomatis perasaan itu nantinya juga akan terbawa oleh anaknya setelah lahir,” ujarnya.
Keinginan bunuh diri sebagai bawaan, menurut dia, akan semakin menguat ketika dalam keluarga, orangtua ataupun kerabat yang lain, ada yang melakukan tindakan itu. “Anak akan terbiasa melihat bahwa bunuh diri adalah upaya paling cepat yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah,” ujarnya.