Warga Terdampak Tol Yogyakarta-Solo Dapat Jaminan Ganti Untung
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menjamin ganti untung bagi warga terdampak pembangunan jalan tol Yogyakarta-Solo. Pengadaan tanah diproyeksikan dimulai April 2020 dan pembayaran dilakukan Juni hingga Juli 2020.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menjamin ganti untung bagi warga terdampak pembangunan jalan tol Yogyakarta-Solo. Pengadaan tanah diproyeksikan dimulai April 2020 dan pembayaran dilakukan Juni hingga Juli 2020.
Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Krido Suprayitno, seusai sosialisasi pembangunan Jalan Tol Yogyakarta-Solo, di Balai Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DIY, Rabu (4/12/2019), menjamin, warga mendapat ganti untung dari proyek ini.
“Pasti warga sangat diuntungkan. Appraisal profesional di bidangnya. Sehingga, diwajibkan, ketika survei lapangan para pemilik tanah dan bangunan harus mendampingi petugas,” kata dia.
Krido mengungkapkan, warga wajib mendampingi petugas penaksir harga untuk memberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai tanah yang akan dibebaskan. Tidak terkecuali kegiatan ekonomis dan non ekonomis yang dilakukan. Informasi itu yang nantinya bisa menghasilkan penaksiran biaya ganti untung yang sesuai keinginan warga dan pemerintah.
Daerah terdampak pembangunan Tol Yogyakarta-Solo itu berada di sebagian wilayah Kabupaten Sleman. Pembangunan jalan tersebut diperkirakan membutuhkan lahan seluas 174,4 hektar. Jalan tol akan melewati 14 desa di enam kecamatan. Adapun panjang jalan bebas hambatan itu sekitar 22,36 kilometer.
Desa Bokoharjo di Kecamatan Prambanan, termasuk salah satu daerah yang terdampak pembangunan jalan tol tersebut. Lokasi pembangunannya berada di dua dusun, yakni Jobohan dan Pelemsari. Bagian yang dibangun berupa pintu keluar tol dengan lahan terdampak sekitar 8 hektar.
“Di Dusun Pelemsari ada 80 pemilik tanah, sedangkan di Dusun Jobohan ada 85 pemilik tanah. Kemudian, rumah utuh yang terkena (pembangunan tol) itu ada 93 rumah. Sebagian besar lahan yang terdampak ini merupakan lahan pertanian dan pekarangan,” kata Krido.
Krido menyampaikan, Desa Bokoharjo menjadi yang pertama mendapat sosialisasi pembangunan Tol Yogyakarta-Solo. Setelah sosialisasi, bakal dilakukan validasi data pemilik tanah dan bangunan. Data yang dimiliki pemerintah dan kondisi lapangannya bakal diselaraskan dalam waktu sekitar dua minggu.
Validasi data bakal dilakukan tim satgas lapangan yang terdiri dari kepala desa dan kepala dusun. Berkaitan dengan teknis pencatatan nilai tanah dan bangunan, akan ada tim penaksir yang dibawa tim Satuan Kerja (Satker) Pelaksanaan Jalan Bebas Hambatan Yogyakarta-Solo dan Yogyakarta-Bawen. "Kami melakukan sosialisasi dengan pendekatan humanis," terang Krido.
Krido menjelaskan, setelah validasi data rampung, hasilnya akan dikonsultasikan dan dimusyawarahkan dengan warga. Masyarakat dapat menanyakan hal-hal yang masih belum dipahami tentang rencana pembebasan lahan. Sosialisasi yang dilanjutkan dengan validasi data itu dilakukan secara paralel di kecamatan-kecamatan lain.
Sementara itu, Pejabat Pembuat Komitmen Satker Pelaksanaan Jalan Bebas Hambatan Yogyakarta-Solo dan Yogyakarta-Bawen Totok Wijayanto mengharapkan, izin penetapan lokasi pembangunan itu bisa dikeluarkan pada Maret 2020. Jika surat itu dikeluarkan pada bulan tersebut, ia bisa memulai proses pengadaan tanah pada April 2020.
“Tahapan pengadaan tanah itu nanti mulai dari pematokan bidang untuk mengetahui berapa luasan lahan yang terkena. Jadi kepastian luas yang terkena atau terdampak bisa diketahui. Baru setelah itu diinventarisasi,” kata Totok.
Ia menambahkan, apabila semuanya berjalan tepat waktu, pembayaran kepada warga bisa dilakukan sekitar Juni atau Juli 2020. Tanpa penolakan dari warga, proses pematokan dan inventarisasi akan lebih cepat.
Rakiman (66), warga Dusun Jobohan, mengatakan, rumahnya seluas 170 meter persegi turut terdampak pembangunan jalan tol. Pada dasarnya, ia tidak menolak pembangunan tersebut. Dia hanya berharap biaya pembebasan dijalankan dengan prinsip ganti untung.
“Rumah yang terdampak ini tidak hanya tanahnya saja. Tetapi, juga rumah yang sudah kami huni bertahun-tahun. Jadi, kami maunya ganti untung. Karena, pasti membangun atau membeli rumah di tempat lain harganya biasanya lebih tinggi lagi,” kata Rakiman.