Pesan dari Patroli Perairan Sejauh 2.408 Kilometer
Misi menjelajahi pulau-pulau terluar di Provinsi Maluku yang dilakukan Kepala Polda Maluku Irjen Royke Lumowa membawa pesan tersendiri.
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·5 menit baca
Pada Minggu (1/12/2019) sore, Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa menuntaskan misi menjelajahi pulau-pulau terluar di Provinsi Maluku. Misi itu dilakukan untuk menjaga keamanan perairan Maluku, melihat dari dekat kehidupan masyarakat di beranda negeri, sekaligus merayakan Hari Ulang Tahun Ke-69 Korps Kepolisian Perairan dan Udara yang diperingati 1 Desember 2019.
Istimewanya lagi, misi itu dijalani Royke bukan dengan sarana transportasi biasa, melainkan dengan jet ski. Pada Senin (25/11) petang, Royke meninggalkan Teluk Ambon. Jet ski yang ia kendarai mulai membelah perairan yang teduh itu. Melaju dengan kecepatan hingga 50 kilometer per jam, Royke bergerak menuju Kepulauan Banda yang berjarak sekitar 132 mil laut atau 244 kilometer dari Kota Ambon.
Royke melewatkan senja hingga malam bersama anggota Polairud yang mengawal perjalanannya. Mereka tiba di Pulau Naira, pusat Kepulauan Banda, tengah malam. Hari-hari berikutnya, rombongan melanjutkan perjalanan ke Kepulauan Kei kemudian ke Kepulauan Tanimbar, hingga Pulau-pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya.
Royke bahkan menyeberang ke Pulau Atauro, pulau milik Timor Leste. Ia diizinkan masuk ke sana lewat komunikasi yang dijembatani pemerintah desa di Pulau Lirang, wilayah Indonesia. Pulau-pulau yang dilewati itu berbatasan dengan Timor Leste dan Australia.
Selama satu pekan itu, total jarak tempuh yang dilaluinya lebih kurang 2.408 kilometer. Jarak itu hampir setara dengan jarak Ambon-Jakarta dalam tarikan garis lurus. Perjalanan patroli perbatasan yang tergolong ekstrem ini merupakan pertama kali terjadi di Maluku.
Beruntung, perjalanan kali ini didukung kondisi laut yang teduh. Ada mitos bahwa perairan yang teduh di Maluku itu hanya terjadi pada bulan yang berakhiran ”er”, yakni September, Oktober, November, dan Desember. Sejak lama, pelaut Maluku memercayai mitos itu. Kini, perubahan iklim yang menyebabkan musim tidak menentu dan perubahan cuaca cepat perlahan membuyarkan mitos itu.
Dengan ukuran jet ski ini, pukulan gelombang sangat terasa.
”Lebih sering dapat perairan yang tenang sehingga kadang membuat ngantuk. Beberapa kali dapat gelombang hingga 1,5 meter. Dengan ukuran jet ski ini, pukulan gelombang sangat terasa,” kata Royke.
Dalam perjalanan itu, rombongan juga sering kali diarak lumba-lumba, burung, dan ikan terbang. Belum lagi bonus menikmati sensasi matahari terbenam di tengah laut.
Kekayaan laut Maluku pun terhampar di depan mata. Di perairan yang dilewati itu terpendam hasil laut yang tak terkira. Maluku memiliki potensi sekitar 3 juta ton ikan per tahun atau setara dengan 30 persen potensi nasional. Kekayaan ikan itu tersebar merata.
Mereka melewati laut dangkal bening seperti kaca sehingga terlihat terumbu karang dan ikan dengan mata telanjang. Mereka juga melewati perairan Laut Banda yang di bawahnya terdapat palung sedalam 7 kilometer, di antara yang terdalam di dunia. Kedalaman palung itu setara 53 kali tinggi Monumen Nasional (Monas) di Jakarta.
Perairan Maluku tak hanya terdalam di Nusantara, tetapi juga terluas, yakni 712.480 kilometer persegi. Jumlah itu mencakup 92,4 persen dari total wilayah Maluku, dengan panjang garis pantai 10.662 kilometer.
Ikan banyak, tapi mereka mau jual ke mana? Tidak ada pembeli yang datang setiap waktu.
Sayangnya, potensi perikanan itu belum memberikan hasil yang maksimal bagi perekonomian masyarakat. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di pesisir hidup di bawah garis kemiskinan. Total penduduk miskin di Maluku 317.690 jiwa atau sekitar 17,69 persen. Garis kemiskinan untuk masyarakat perdesaan Maluku adalah Rp 499.701 per kapita per bulan.
”Ikan banyak, tapi mereka mau jual ke mana? Tidak ada pembeli yang datang setiap waktu. Akhirnya mereka makan dan jemur untuk persiapan musim cuaca buruk. Kalau ikan melimpah, mereka buang-buang saja,” tutur Royke.
Pembangunan di perbatasan juga sangat minim. Jalan, tambatan perahu, listrik, fasilitas kesehatan, dan sinyal telekomunikasi adalah barang langka. Kondisi ini tidak banyak berubah meski pemerintah pusat terus menggelorakan slogan ”membangun dari pinggiran”. Pinggiran itu termasuk wilayah perbatasan dan pulau-pulau terpencil.
Makanya, tak heran bila warga Pulau Lirang lebih memilih berobat ke Dili, Timor Leste. Mereka berobat secara gratis. Bahkan, pasien dari Lirang yang melewati Pulau Atauro diangkut dengan pesawat ke Dili. Semua biaya ditanggung Pemerintah Timor Leste. Kondisi ini sudah berlangsung dalam waktu lama. Masyarakat perbatasan hidup dari belas kasihan negara tetangga.
Perjalanan itu juga menguak pesan betapa rapuhnya pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan kita. Petugas keamanan bahkan bisa dihitung dengan jari. Padahal, sisi selatan Maluku itu kaya akan sumber daya alam berupa hasil laut hingga tambang di darat dan lepas pantai. Tambang itu antara lain kekayaan gas alam di Blok Masela di perairan Kepulauan Tanimabar hingga emas dan tembaga di Pulau Wetar.
Pada masa Perang Dunia II, sisi selatan Maluku menjadi salah satu basis pertahanan Jepang. Jejak yang ditinggalkan salah satunya berada di Pulau Selaru berupa lapangan terbang di Desa Lingat serta kendaraan berat yang kini sudah dipereteli. Jepang, yang saat itu menjajah Indonesia, barangkali menganggap sisi itu paling rawan disusupi musuh. Kini, titik itu sepertinya diabaikan.
Memang, tak banyak catatan kejahatan di perairan Maluku dalam lima tahun terakhir. Kejahatan sebelumnya didominasi penangkapan ikan ilegal, penyelundupan narkoba, hingga perbudakan nelayan. Kejahatan itu perlahan lenyap setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan memberlakukan moratorium sejak akhir 2014.
Gubernur Maluku Murad Ismail mengapresiasi patroli laut yang dilakukan Royke bersama tim dari Polda Maluku itu. Ia mengakui betapa sulitnya menjangkau semua wilayah Maluku yang terdiri dari 1.340 pulau itu. ”Butuh waktu lama untuk mengunjungi semua pulau di Maluku,” ujarnya.
Dengan segala tenaga dan kemampuan, Maluku terus dibangun. Dengan kondisi saat ini, masyarakat tak berharap banyak. Perubahan cepat mustahil terjadi tanpa didorong akselerasi kebijakan. Perlu perlakuan khusus dalam membangun wilayah kepulauan seperti Maluku. Perlu kesatuan visi dari pusat hingga ke daerah.
Ibarat pelaut yang selalu dihadang gelombang, aparat Polairud diharapkan tidak main-main dalam menjaga keamanan di laut. ”Tantangan itu harus dihadapi, bukan ditangisi,” pesan Royke. Dan, anggota Polairud pun serentak menjawab: ”Siap, Jenderal!”