Meski potensinya besar, belum ada program yang dilakukan pemerintah untuk pengembangan budidaya lobster di Sulawesi Tenggara, bahkan pada 2020 mendatang.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Meski potensinya besar, belum ada program yang dilakukan pemerintah untuk pengembangan budidaya lobster di Sulawesi Tenggara, bahkan pada 2020. Padahal, nelayan berharap sentuhan pemerintah untuk memberikan jalan keluar terhadap sejumlah permasalahan yang mereka hadapi.
Kepala Seksi Pelayanan Usaha Budidaya Ikan Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tenggara Faried Syahrani menyebutkan, sejauh ini memang belum ada program untuk pengembangan budidaya lobster. Bahkan, pada 2020, pengembangan lobster juga belum masuk dalam program pemerintah.
”Kami selama ini memang belum punya program pengembangan lobster. Untuk bantuan juga belum ada. Sebab, teknologi untuk budidaya lobster dari yang kecil hingga berukuran siap dikembangkan memang belum ada. Jadi, agak sulit untuk programnya ke depan,” kata Faried, di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (18/12/2019).
Makanya, kami agak bingung kalau untuk pendampingan nelayan budidaya lobster karena perihal perkembangan, makanan, hingga perlakuan bayi lobster juga belum kami ketahui.
Untuk membuat sebuah program yang holistik, Faried melanjutkan, harus dimulai dari pembenihan hingga produksi akhir. Akan tetapi, sejauh ini belum ada teknologi yang bisa menjamin upaya pembenihan bayi lobster bisa bertahan hingga berukuran cukup besar untuk dibudidayakan nelayan.
Menurut Faried, informasi dari sejumlah balai pembenihan yang tersebar di beberapa wilayah, daya tahan benih lobster saat ditangkarkan hanya 1 persen. Sebanyak 99 persen lainnya mati karena belum adanya teknologi yang cukup.
”Makanya, kami agak bingung kalau untuk pendampingan nelayan budidaya lobster karena perihal perkembangan, makanan, hingga perlakuan bayi lobster juga belum kami ketahui. Jadi, sampai sekarang kami juga tidak tahu ada berapa kelompok nelayan budidaya lobster yang ada di Sulawesi Tenggara karena memang tidak pernah mendata,” katanya.
Sejumlah warga juga pernah datang terkait larangan penjualan benih lobster, beberapa waktu lalu. Faried menjelaskan bahwa melakukan penjualan benih lobster di bawah ukuran yang ditentukan merupakan pelanggaran. Hal itu berbeda jika benih ditangkarkan khusus, lalu dijual ketika berukuran cukup besar.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016, lobster yang dapat dijual untuk ekspor berukuran 8 sentimeter atau seberat 200 gram, dan tidak dalam kondisi bertelur.
Potensi lobster untuk berkembang di wilayah ”Bumi Anoa” ini sangat tinggi. Sejumlah wilayah diketahui memiliki potensi tempat pemijahan dan tumbuh kembang lobster. Dari wilayah Moramo di Konawe Selatan, Labengki di Konawe Utara, hingga sepanjang Selat Tiworo di daerah Kepulauan Buton hingga Pulau Kabaena. Selat Tiworo dikenal menjadi tempat berkembangnya lobster karena memiliki potensi arus, karang, dan suhu yang baik.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra, produksi lobster pada 2018 hanya sekitar 27 ton. Produksi paling banyak berasal dari wilayah Buton Tengah, Buton, Baubau, Konawe, dan Konawe Utara. Jumlah ini diyakini masih bisa terus dikembangkan jika program pembenihan bisa dilakukan.
Belum adanya program pemerintah terkait pendampingan nelayan dan teknologi pembenihan membuat nelayan berjuang sendiri. Terlebih lagi, adanya wacana pembukaan keran ekspor benih yang sebelumnya telah dilarang. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyampaikan, hal itu baru wacana yang akan dikaji lebih lanjut.
Bahar (47), nelayan budidaya lobster di Soropia, Konawe, semakin cemas dengan kondisi saat ini. Sebab, dibukanya keran ekspor membuat bibit lobster akan semakin sulit dan harganya dipastikan bertambah tinggi.
”Sekarang saja kami sudah mengambil uang di bank untuk modal membeli bibit. Tahun depan, saya ajukan Rp 40 juta lagi untuk beli bibit yang seharga Rp 600.000 per kilogram. Bagaimana ini kalau ekspor benih kembali dibuka?” ucap Bahar yang juga Ketua Kelompok Bintang Fajar. Kelompok ini terdiri atas 11 nelayan budidaya lobster di Soropia.
Selama ini, tambah Bahar, tidak ada perhatian pemerintah untuk pengembangan budidaya lobster di wilayahnya. Padahal, nelayan budidaya berharap banyak agar pemerintah mengambil langkah untuk membantu nelayan.
Bantuan bibit, modal, atau teknologi pengembangan, menurut Bahar, sangat dibutuhkan bagi para nelayan budidaya. Sebab, potensi lobster sangat tinggi untuk dikembangkan dan menjadi ladang penghidupan masyarakat.