Pembudidaya di Lombok Minta Ketegasan Pemerintah Terkait Lobster
Kementerian Kelautan dan Perikanan diharapkan segera merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 tahun 2016. Pembudidaya di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, memberi waktu satu bulan bagi pemerintah.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS - Para pembesar lobster di Lombok, Nusa Tenggara Barat, berharap pemerintah pusat segera merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 tahun 2016 termasuk kepastian larangan ekspor benih lobster atau benur. Mereka memberi waktu satu bulan sebelum kembali mengambil sikap.
Abdullah, salah satu pembesar lobster di Jerowaru, Lombok Timur, dihubungi dari Mataram, Selasa (7/1/2020) mengatakan, saat ini mereka memang masih dalam posisi menunggu setelah bertemu langsung dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo akhir Desember 2019. "Harapannya, tuntutan kami segera terlaksana," kata Abdullah.
Menurut Abdullah, dalam pertemuan dengan Menteri Kelautan dan Perikanan, mereka telah menyampaikan secara langsung tiga poin tuntutan. Poin itu yakni merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) dari Wilayah Negara RI. Ketentuan itu mencakup larangan penangkapan benih lobster untuk ekspor ataupun budidaya.
Tuntutan kedua yakni tidak mengekspor benih lobster. Adapun tuntutan ketiga membangun dan mengembangkan budidaya lobster di perairan Teluk Jukung dan Lombok Timur seperti yang dikembangkan di Vietnam. Mereka juga meminta optimalisasi mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Menurut Sapardi, pengusaha lobster lain asal Lombok Timur menuturkan, kehadiran Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 menjadi pukulan telak bagi mereka. Misalnya, terkait larangan penangkapan benur untuk pembesaran dan larangan memperjualbelikan lobster di bawah ukuran 200 gram.
"Tidak masuk akal karena kami dilarang menangkap benih lobster di tempat atau perairan kami sendiri. Padahal itu untuk kami besarkan sendiri. Selain itu, membesarkan lobster agar sampai 200 gram juga memberatkan kami," kata Sapardi.
Abdullah menambahkan, poin-poin itu disampaikan dalam diskusi antara pembesar lobster di Jerowaru dengan Edhy Prabowo pada Kamis (26/12/2019) lalu. Saat itu, Edhy mengatakan pihaknya masih mempelajari revisi dengan mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Sejauh ini, dia menemukan banyak permintaan masyarakat untuk merevisi Permen KP Nomor 56 Tahun 2016, termasuk soal ekspor benur.
"Harap bersabar. Jangan terburu-buru. Soal ekspor juga. waktu itu kami belum tahu ternyata ada pembesaran lobster seperti di sini (Jerowaru). Masyarakat yang protes ekspor karena mereka bisa membesarkan (lobster)," kata Edhy.
Meski demikian, Edhy mengatakan akan segera mengeluarkan revisi. Hanya saja dalam proses menuju kesana, akan ada masa transisi. Oleh karena itu, ia meminta bantuan berbagai pihak seperti polisi dan TNI untuk memastikan agar dalam masa transisi pembesar tetap membesarkan lobster, tetapi tidak mengekspor.
Satu bulan
Kajian ekspor benih lobster merupakan bagian dari rencana pemerintah merevisi Permen KP Nomor 56 Tahun 2016. Berdasarkan Pasal 2 aturan tersebut, penangkapan dan/atau pengeluaran lobster hanya dapat dilakukan jika lobster tidak dalam kondisi bertelur. Syarat lain, ukuran panjang karapas di atas 8 sentimeter (cm) atau berat di atas 200 gram per ekor. Dalam Pasal 7 Ayat 1, setiap orang dilarang menjual benih lobster untuk budidaya.
Sebelum regulasi itu terbit, puluhan juta ekor benih lobster mengalir deras setiap tahun ke luar negeri dengan tujuan utama Vietnam. Oleh Vietnam, benih asal Indonesia itu dibesarkan menjadi ukuran konsumsi, kemudian diekspor lagi dengan nilai tambah berkali lipat.
Sebaliknya, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Luky Adrianto berpendapat, Indonesia tidak serius memanfaatkan benih untuk nilai tambah. Budidaya lobster nyaris tak berkembang. Kini saatnya pemerintah mengembangkan kawasan budidaya lobster (lobster aquaculture estate/LAE) di wilayah pengelolaan perikanan terbaik termasuk mengundang investor luar negeri (Kompas.id, 14/12/2019).
Faktanya, regulasi larangan ekspor benih lobster yang diikuti pengawasan TNI, bea dan cukai, kepolisian, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak mampu membendung penyelundupan. Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merilis, penyelundupan ke luar negeri berlangsung marak lewat jalur darat, laut, dan udara dengan modus yang terus berubah.
Berdasarkan data KKP, Indonesia mampu menghasilkan tangkapan 50 juta-60 juta benih lobster per tahun, tetapi sebagian besar diselundupkan. Di alam, tingkat hidup (SR) benih lobster hanya 1 persen. Sementara Vietnam yang memproduksi 2 juta-3 juta benih lobster per tahun mampu membesarkan benih dengan SR 70-80 persen (Kompas, 18/12/2019).
Abdullah berharap, dalam satu bulan ke depan sudah ada kepastian tentang revisi aturan tersebut. "Jadi, kami beri waktu Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menerbitkan revisi Permen KP Nomor 56 Tahun 2016. Jika dalam satu bulan tidak ada, kami akan menemui pak menteri lagi," kata dia.
Menurut Abdullah, semua pembesar lobster di Lombok Timur yang saat ini mencapai 1.500 orang dengan jumlah kolam sebanyak 6.000 unit memiliki sikap sama. Mereka juga mengerti saat ini pemerintah tengah dihadapkan pada banyak hal. Salah satunya menyelesaikan persoalan Natuna. "Pemerintah mungkin fokus ke sana dulu. Kami siap menunggu. Kalau itu sudah selesai, mungkin baru merespons soal lobster ini," tutur Abdullah