Ribuan Kerbau Moa Mati Tiap Tahun, Peternak Rugi Miliaran Rupiah
Ribuan ekor kerbau moa di Pulau Moa, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, mati setiap tahun karena kekurangan air. Masyarakat setempat kecewa lantaran kondisi yang terjadi bertahun-tahun itu belum berhasil diatasi.
Oleh
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Ribuan ekor kerbau moa di Pulau Moa, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, mati setiap tahun karena kekurangan air. Masyarakat setempat kecewa lantaran kondisi yang terjadi selama bertahun-tahun itu belum berhasil diatasi pemerintah. Selain total kerugian yang dialami warga mencapai miliaran rupiah tiap tahunnya, populasi kerbau khas Maluku itu juga kian terancam.
Kepala Desa Tounwawan Lumosterd H Tetrapoik, saat dihubungi Kompas dari Ambon pada Selasa (28/1/2020), mengatakan, pada 2019, kerbau di desa tersebut yang mati sekitar 500 ekor. Desa berpenduduk 2.684 jiwa itu merupakan penghasil kerbau terbanyak di Moa. Di pulau itu terdapat tujuh desa. Total kerbau yang mati tiap tahun di Moa mencapai 1.500 ekor.
Menurut dia, kematian kerbau itu disebabkan kekurangan air pada saat musim kemarau melanda daerah itu mulai Juni hingga Desember. Saat itu, air di kubangan kering. Rumput-rumput juga mati.
”Kondisi puncaknya itu pada September sampai Desember. Kami hanya menunggu kapan kerbau kami mati. Setiap hari banyak yang mati. Capek kubur sehingga banyak uang dibuang begitu saja di tengah hutan atau pinggir jalan,” katanya.
Meski hal tersebut sudah berlangsung setiap tahun, pemerintah belum berhasil mencegah kondisi ini berulang. Harapan akan pembangunan kubangan serta jaringan air ke kubangan tidak dijawab secara optimal.
Kondisi puncaknya itu pada September sampai Desember. Kami hanya menunggu kapan kerbau kami mati. Setiap hari banyak yang mati. Capek kubur sehingga banyak uang dibuang begitu saja di tengah hutan atau pinggir jalan. ( Lumosterd H Tetrapoik)
”Kami sudah laporkan ulang-ulang, tapi dinas terkait juga tidak berbuat banyak. Hanya bangun beberapa kubangan. Air yang mengalir ke kubangan juga macet. Kami berharap ada keseriusan,” ujarnya. Lokasi peternakan kerbau berada di pinggiran Tiakur, ibu kota kabupaten tersebut.
Ia mengatakan, kematian kerbau memukul perekonomian warga setempat. Selama ini, kehidupan warga bergantung pada ternak kerbau. Kerbau dijual hingga ke Sulawesi, Jawa, dan Timor Leste. Satu ekor kerbau paling murah Rp 5 juta, sedangkan paling mahal Rp 20 juta. Jika rata-rata harga satu ekor Rp 10 juta, kematian 1.500 ekor kerbau membawa kerugian hingga Rp 15 miliar.
Menurut penelusuran Kompas di laman resmi Direktorat Pembibitan dan Produksi Ternak Kementerian Pertanian, tertulis bahwa kerbau moa merupakan salah satu rumpun kerbau lokal Indonesia yang sebarannya asli geografis di Pulau Moa, Kabupaten Maluku Barat Daya. Hal itu telah tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian nomor 2911/Kpts/OT.140/6/2011 pada tanggal 17 Juni 2011.
Kerbau moa memiliki ciri khas yang tidak dimiliki kerbau dari bangsa lainnya. Sumber daya genetik ternak Indonesia itu memiliki ciri warna tubuh abu-abu sekitar 28,74 persen hingga hitam 43,67 persen.
Warna kepala abu-abu sekitar 40,8 persen sampai hitam 44,25 persen. Pada lehernya terdapat garis kalung dengan warna lebih gelap. Selain itu, kesuburan induk mencapai 78,92 persen dengan daya tahan penyakit dianggap cukup baik.
Lumosterd telah menyurati pihak Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk menyampaikan keluhannya tersebut.
Selain untuk kebutuhan ternak, pembangunan sarana dan prasarana air baku juga untuk kebutuhan ternak yang lain. Ketersediaan air di pulau yang berada di perbatasan Australia dan Timor Leste itu masih sebatas untuk kebutuhan sehari-hari. Itu pun tidak cukup.
Pembangunan sarana
Ketua Komisi III DPRD Provinsi Maluku Anos Yeremias berjanji akan memperjuangkan pembangunan sarana air bersih di Moa untuk kebutuhan warga dan ternak. Anos menuturkan, dirinya menemukan kasus kematian kerbau itu dalam reses beberapa waktu lalu.
Ia yang mendorong kepala desa di sana untuk menyurati pihak kementerian. ”Kalau berharap pemerintah daerah sepertinya susah. Ini sudah berlangsung lama, tapi pemerintah daerah tidak peduli. Kami akan kawal usulan ini,” katanya.
Anos menilai pemerintah tidak serius menjaga kelestarian ternak ikonik itu. Selain kerugian material, kematian kerbau yang terjadi terus-menerus juga membuat populasi kerbau terus berkurang. Satu ekor kerbau betina sudah bisa beranak setelah umurnya empat hingga lima tahun.
Usia produktif kerbau hingga 35 tahun. Pulau Moa merupakan satu-satunya habitat kerbau di Maluku. Kerbau dan Gunung Kerbau di pulau itu menjadi ikon pariwisata di Maluku. Setiap tahun digelar festival di sana.
Wakil Gubernur Maluku Barnabas N Orno mengakui, kondisi tersebut sudah berlangsung lama. Dirinya mengetahui persis masalah tersebut lantaran pernah menjadi bupati di kabupaten itu selama dua periode. Kantor bupati dimaksud berada di Pulau Moa sangat dekat dengan areal peternakan kerbau. ”Masalahnya, daerah tidak punya anggaran untuk membuat kubangan yang optimal,” kata Barnabas memberikan alasan.