Pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja Dinilai Tidak Transparan
Sejumlah organisasi buruh di Lampung menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja tidak transparan. Sebagai pihak yang akan terdampak, pekerja justru tidak dilibatkan dalam pembuatan produk hukum itu.
Oleh
VINA OKTAVIA
·2 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS - Sejumlah organisasi buruh di Lampung menilai proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja tidak transparan. Sebagai pihak yang akan terdampak aturan, pekerja justru tidak dilibatkan dalam pembuatan produk hukum tersebut.
Wakil Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Lampung Hasan, menyayangkan sikap pemerintah karena tidak melibatkan seluruh kelompok buruh dalam penyusunan rancangan RUU tersebut. Hingga kini, pihaknya juga belum menerima draf resmi RUU itu.
Namun, pokok-pokok perihal dalam RUU terkait upah minimum dan pemutusan hubungan kerja yang beredar menimbulkan kekhawatiran para pekerja. hasan berpendapat, hak-hak buruh akan semakin terabaikan.
Padahal, ungkap Hasan, saat ini masih banyak perusahaan yang memberikan upah di bawah standar minimal yang ditetapkan pemerintah. Skema pengupahan bulanan atau per jam yang akan diusulkan semakin tidak adil karena memperlebar diskriminasi bagi pekerja.
Selain itu, masih banyak buruh yang harus berjuang mendapatkan pesangon hingga ke pengadilan. Bahkan, meski buruh dinyatakan menang di meja hijau, masih ada perusahaan yang tidak mau membayar pesangon. Untuk itu, buruh khawatir jika RUU yang disusun justru kian mereduksi hak-hak buruh.
“Ini kejadian berulang dalam penyusunan aturan terkait tenaga kerja. Kami tidak pernah tahu konsep RUU yang mau diserahkan ke DPR,” ujarnya saat diskusi publik bertajuk “Ujug-ujug Omnibus Law” di Bandar Lampung, Jumat (31/1/2020).
Acara yang digelar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung ini dihadiri sekitar 50 orang dari kalangan mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum. Selain diskusi, sejumlah pihak juga menandatangani pernyataan sikap menolak RUU Cipta Lapangan Kerja yang dinilai tidak transparan dan mengabaikan hak-hak kaum buruh.
Direktur LBH Bandar Lampung Chandra Muliawan menilai, sebagai pihak yang akan terdampak aturan ini, kelompok buruh semestinya dilibatkan secara aktif dalam perumusan RUU sehingga tak menuai polemik. Jangan sampai RUU yang dibuat untuk memperluas lapangan kerja, justru tidak berpihak pada para pekerja.
Pasalnya, dalam draf yang beredar di masyarakat, pembahasan terkait kemudahan izin usaha menjadi pasal yang paling banyak dibahas. Hal ini menjadi indikasi bahwa aturan itu hanya untuk mempermudah investasi. Padahal, pemerintah juga harus menjamin kesejahteraan buruh.
Pengamat hukum dari Universitas Malahayati Tubagus M. Nazaruddin menilai, secara normatif, konsep omnibus law baik karena bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, substansi dalam RUU itu dinilai tidak berpihak pada kemanusiaan karena semakin mereduksi hak-hak buruh.