Perusahaan Pengguna Sesalkan Penawaran Kenaikan Harga Gas
Perusahaan pemakai gas menyesalkan penawaran kenaikan harga gas di Sumatera Utara dari 9,95 dollar AS menjadi 11,08 dollar AS per MMBTU. Kenaikan terjadi di tengah permintaan Presiden Joko Widodo menurunkan harga gas.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Perusahaan pemakai gas menyesalkan penawaran kenaikan harga gas di Sumatera Utara dari 9,95 dollar AS menjadi 11,08 dollar AS per MMBTU. Kenaikan terjadi di tengah permintaan Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga gas. Perusahaan pengguna gas kini semakin terpuruk dan tidak kompetitif di pasar ekspor.
Presiden Joko Widodo sebelumnya meminta agar menteri dan pihak terkait lainnya mengalkulasi penurunan harga gas yang masih sangat tinggi. Presiden geram karena rencana penurunan harga gas sudah disusun sejak empat tahun lalu melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016, tetapi belum bisa diterapkan hingga saat ini.
Pemerintah pun menyiapkan tiga opsi penurunan harga gas, yakni penghapusan porsi pemerintah dari bagi hasil, kewajiban badan usaha pemegang kontrak kerja sama untuk menyerahkan sebagian gas kepada negara (domestic market obligation), dan pemberian keleluasaan impor gas bumi (Kompas, 8/1/2020).
”Kami sedang menunggu penurunan harga yang dijanjikan pemerintah, tetapi yang terjadi malah kenaikan harga,” kata Ketua Asosiasi Perusahaan Pemakai Gas (Apigas) Sumatera Utara Johan Brien, Kamis (6/2/2020).
Johan mengatakan, perusahaan pemakai gas mendapat side letter (aturan pendamping kontrak yang sudah ada sebelumnya) yang menawarkan kenaikan harga dari PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Area Medan. Beberapa perusahaan yang telah menandatangani side letter tersebut telah membayar dengan harga baru untuk tagihan Januari. Namun, perusahaan yang tidak menandatangani masih membayar dengan harga lama.
Menurut Johan, harga gas sebelum kenaikan yang mencapai 9,95 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) terbilang sangat tinggi. Pembandingnya, harga gas di negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, berkisar 4-5 dollar AS.
Akibatnya, industri unggulan Sumut, seperti pabrik oleokimia (produk turunan dari minyak kelapa sawit), keramik, gelas, alkohol lemak, dan sarung tangan karet, kalah bersaing dengan kedua negara tersebut. ”Dalam beberapa tahun belakangan, beberapa pabrik di Sumut menghentikan ekspor, mengurangi produksi, bahkan menutup perusahaan,” kata Johan.
Johan menambahkan, pernyataan Presiden pada Januari lalu yang meminta agar harga gas diturunkan sempat membawa angin segar bagi mereka. Rencana penurunan harga gas itu juga sebenarnya sudah disusun sejak tahun 2016 melalui Perpres Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Namun, realisasinya tidak kunjung terjadi.
”Jika penurunan harga gas bisa direalisasikan di harga 6 dollar AS per MMBTU saja, perusahaan dalam negeri bisa bersaing di pasar ekspor,” kata Johan.
Manajer Pabrik PT Kedaung Industrial Medan Sugianto mengatakan, pihaknya mendapat side letter yang menawarkan kenaikan harga gas. Namun, pabrik penghasil gelas itu tidak menandatangani surat tersebut sehingga harga gas yang mereka bayarkan hingga kini masih menggunakan harga lama.
Menurut Sugianto, dengan harga 9,95 dollar AS per MMBTU, perusahaannya sudah sangat terpuruk. Mereka pun kini hanya mengoperasikan satu dari empat mesin produksi. Perusahaan juga harus mengurangi karyawan akibat penurunan produksi itu.
”Pasar barang pecah belah kini dikuasai Singapura dan Malaysia karena harga gas di sana jauh lebih murah,” katanya.
Pasar barang pecah belah kini dikuasai Singapura dan Malaysia karena harga gas di sana jauh lebih murah.
Kepala Penjualan Area PT Perusahaan Gas Negara Medan Saiful Hadi mengatakan, saat ini pihaknya sedang menyesuaikan harga untuk beberapa perusahaan. Namun, penyesuaian harga itu dilakukan dengan menawarkan peningkatan layanan. Sifatnya pun hanya sukarela.
”Rencana penurunan harga saat ini sedang disiapkan semua pihak dari hulu hingga hilir dan akan diterapkan paling lama Maret,” katanya.