Pemutilasi di Malang Dituntut Penjara Seumur Hidup
Terdakwa kasus mutilasi di Pasar Besar Kota Malang, Jawa Timur, Sugeng Santoso (50), dituntut pidana penjara seumur hidup oleh jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Malang.
MALANG, KOMPAS — Terdakwa kasus mutilasi di Pasar Besar Kota Malang, Jawa Timur, Sugeng Santoso (50), dituntut pidana penjara seumur hidup oleh jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Malang. Sugeng diyakini melakukan pembunuhan berencana terhadap seorang perempuan, yang hingga kini belum diketahui identitasnya, pada Mei 2019.
Setelah tertunda tiga kali, pembacaan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap Sugeng akhirnya digelar di Pengadilan Negeri Malang pada Rabu (12/2/2020). Dipimpin ketua majelis hakim Dina Pelita Asmara, JPU membacakan berkas tuntutan setebal 86 halaman.
Unsur-unsur pembunuhan berencana, menurut JPU, semuanya terpenuhi.
”Kami menuntut terdakwa bersalah melakukan pembunuhan berencana sesuai dakwaan pertama Pasal 340 KUHP, dengan ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup. Unsur-unsur pembunuhan berencana, menurut JPU, semuanya terpenuhi,” kata Wanto Hariyono, JPU kasus tersebut dalam sidang. Inti Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu tindakan menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja dan terencana.
Tuntutan JPU tersebut, menurut Wanto, didasarkan pada adanya niat terdakwa untuk membunuh korban. Niat, menurut JPU, merupakan bagian dari perencanaan. Niat buruk terhadap korban itu dimulai saat terdakwa bertemu korban di depan kelenteng di Jalan RE Martadinata.
Saat itu, korban mengaku sakit dengan tubuh bengkak dan minta diajak ke dokter. Oleh karena terdakwa tidak memiliki uang, korban diajak pergi ke lokasi terdakwa selama ini menginap, yaitu di lantai atas Pasar Besar. Pelaku, dengan kesakitan, diajak berjalan kaki hingga ke lokasi.
Wanto menambahkan, semula korban hendak diajak berhubungan badan, tetapi karena korban sakit, terdakwa gagal memenuhi hasratnya. Kegagalan itu, menurut JPU, memicu kemarahan. Menurut para ahli, Sugeng dinilai merupakan individu psikopat agresif dengan indikasi skizofrenia dan ada masalah orientasi seksual.
Baca juga: Terduga Pelaku Mutilasi di Pasar Besar Malang Tertangkap
”Terdakwa kemudian melampiaskan kemarahannya dengan melakukan kekerasan pada kelamin dan anus korban. Oleh karena setelah itu terjadi pendarahan, terdakwa menyumpal dan memplakban anus dan kelamin korban,” kata Wanto. Selanjutnya, setelah itu, korban dan terdakwa tidur (sekitar pukul 17.00 WIB).
Berikutnya, pada pukul 01.30 WB, Sugeng bangun karena merasa haus dan kemudian menyayat leher korban dengan senjata tajam. Jaksa menyoroti adanya cukup waktu bagi terdakwa untuk merencanakan pembunuhan terhadap korban. ”Oleh karena leher adalah organ vital, maka kemudian korban pun akhirnya terbunuh,” kata Wanto.
Aksi berikutnya, Sugeng berusaha menutupi tindakannya dengan memutilasi jasad korban dan membersihkan percikan darah dengan air seninya. ”Bahwa dari rangkaian itu, ada pola kerja sistematis yang tidak mungkin bisa dilakukan dengan tenang jika tidak dipikirkan terlebih dahulu,” kata Wanto.
Meski begitu, hasil visum tidak bisa membuktikan penyebab kematian korban. Hingga kini, penyebab kematian korban pun masih buram. ”Hasil visum dan pernyataan ahli tidak bisa menentukan dengan pasti penyebab kematian korban. Ini karena telah terjadi pembusukan lebih lanjut pada jasad korban. Meski begitu, dapat diyakini bahwa korban meninggal ketika pelaku menggorok. Mengingat leher adalah organ vital,” tutur Wanto.
Dia paham apa yang dilakukan. Makanya, unsur sengaja menurut kami terpenuhi.
Selain berpijak pada keyakinan itu, JPU pun memiliki beberapa pertimbangan hingga menuntut Sugeng dengan pidana penjara seumur hidup. ”Ada manipulasi-manipulasi dan kebohongan tertentu. Ada desain cerita oleh terdakwa. Tidak logis jika ada temannya meninggal, tetapi ia tidak memberi tahu kepada orang sekitar, justru memotong-motongnya dan membiarkan mayatnya berhari-hari hingga membusuk,” tutur Wanto.
Dengan fakta itu, Wanto melanjutkan, membuktikan ada kehendak dan niat terdakwa. ”Dia paham apa yang dilakukan. Makanya, unsur sengaja menurut kami terpenuhi,” katanya.
Tuntutan JPU tersebut, menurut Wanto, juga mempertimbangan beberapa perbuatan terdakwa yang memberatkan. Di antaranya, terdakwa memberikan keterangan dengan berbelit-belit serta terdakwa pernah dihukum selama tiga tahun atas kasus kekerasan pada 1992 (memotong lidah pacarnya).
Setelah mendengar tuntutan tersebut, tim kuasa hukum Sugeng dari Peradi Malang Raya mengaku akan melakukan pembelaan terhadap kliennya. ”Setelah ini, tentu kami akan merumuskan pembelaan. Rumusan pembelaan akan disampaikan pada sidang berikutnya,” kata Osi Haryoto, kuasa hukum Sugeng.
Sebelum Maret, putusan sudah harus ada.
Sidang pembacaan pleidoi atau pembelaan oleh terdakwa akan digelar pada Senin (17/2/2020). Ketua Majelis Hakim Dina Pelita Asmara berharap pada Senin depan tim kuasa hukum terdakwa sudah menyiapkan pleidoi. ”Kuasa hukum, seperti sudah diberitahukan sebelumnya, harus sudah siap dengan pembelaan pada minggu depan. Ini karena kita terbatas waktunya. Sebelum Maret, putusan sudah harus ada,” tuturnya.
Kasus Sugeng menarik perhatian banyak pihak sejak awal. Sebab, korban ditemukan termutilasi menjadi beberapa bagian. Selain itu, kasus seperti ini tidak pernah terjadi di Kota Malang.
Baca juga: Pelaku Mutilasi di Malang Diduga Psikopat
Berikutnya, penyidik kesulitan menentukan penyebab kematian korban. Hingga saat ini, visum dan analisis ahli tidak bisa menentukan penyebab kematian korban karena jasad telah mengalami pembusukan lebih lanjut. Artinya, dari bukti fisik yang ada, penyidik belum bisa mengaitkan secara langsung Sugeng dengan terbunuhnya korban.
Padahal, pada sidang sebelumnya, JPU telah mendakwa Sugeng melanggar pasal 338 (dengan sengaja membunuh) dan 340 (pembunuhan berencana). Sugeng ditangkap karena diduga membunuh dan memutilasi korban pada minggu pertama Mei 2019. Setelah lima hingga enam hari, potongan tubuh korban ditemukan oleh warga yang mencium bau busuk dari lantai atas Pasar Besar Malang.
Secara terpisah, kriminolog Universitas Brawijaya Malang, Prija Jatmika, mengatakan, kasus Sugeng tersebut patut menjadi pembelajaran semua pihak, khususnya yang bergerak di bidang hukum. ”Fakta persidangan itu lebih penting ketimbang saat penyidikan. Jadi, apa yang ditemukan di persidangan itu sangat menentukan,” ujarnya.
Menurut Prija, jika dakwaan Pasal 338 dan Pasal 340 tidak terbukti, JPU harus berani menuntut bebas. ”Hakim pun harus berani memutus bebas. Tidak bisa pula tuntutan itu berbeda dari dakwaan. Jika dia didakwa membunuh, sementara fakta persidangan mengatakan dia memutilasi, tidak bisa tuntutan itu berubah menjadi memutilasi. Tuntutan itu harus berdasarkan dakwaan,” kata Prija.
Baca juga:Sugeng Terdakwa Mutilasi Malang Bisa Bebas
Oleh karena itu, Prija menduga, dalam kasus Sugeng, JPU tidak cermat dan ceroboh dalam menentukan dakwaan. ”Bisa jadi JPU mendapat tekanan publik sehingga mereka jadi tidak cermat. Ini yang harus menjadi bahan pembelajaran bahwa kebenaran yang ada di masyarakat itu belum tentu kebenaran hukum,” katanya.
Meski begitu, Prija mengatakan, ada peluang hakim tetap menjatuhkan vonis hukuman kepada Sugeng. ”Bisa jadi hakim menggunakan kuasanya berdasarkan asas ’tidak ada perbuatan pidana yang tidak bisa dipidana’. Itu kalau hakimnya berani. Sebab, putusannya nanti juga bisa digugat karena hakim memutuskan tidak berdasarkan surat dakwaan,” tutur Prija.