Harimau Mangsa Ternak, Warga Subulussalam Diminta Waspada
Harimau sumatera sejak beberapa hari terakhir dideteksi berkeliaran di kawasan permukiman di Desa Darul Makmur, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh. Harimau itu sudah memangsa dua ekor sapi warga.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
SUBULUSSALAM, KOMPAS — Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) sejak beberapa hari terakhir dideteksi berkeliaran di kawasan permukiman di Desa Darul Makmur, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh. Dua ekor sapi telah dimangsa harimau sehingga warga diminta waspada.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, Minggu (16/2/2020), mengatakan, dua ekor sapi ditemukan mati pada Sabtu (15/2/2020) di dekat anak sungai. Pada bagian panggul sapi itu terdapat luka menganga yang diduga bekas gigitan harimau.
Tim BKSDA Aceh melakukan patroli di sekitar kawasan penemuan bangkai sapi. Di tanah basah di lokasi itu ditemukan jejak tapak harimau. Jejak tapak mengarah ke permukiman warga. Agus meminta warga waspada karena khawatir harimau muncul di kawasan permukiman. ”Masyarakat agar lebih hati-hati beraktivitas di luar dan untuk sementara tidak melepasliarkan ternaknya,” kata Agus.
BKSDA menurunkan pawang harimau ke Sultan Daulat untuk mengusir satwa pemakan daging itu kembali ke hutan. Agus meminta warga tidak merusak habitat satwa.
Dihubungi secara terpisah, Camat Sultan Daulat Fadli mengatakan kemunculan harimau membuat warga resah. Warga tidak berani ke kebun karena takut berhadapan dengan harimau. ”Karena sudah ada ternak yang dimangsa, konfliknya parah,” kata Fadli.
Menurut Fadli, konflik harimau dengan manusia terjadi sejak lima tahun terakhir. Namun, sebelumnya tidak pernah ada ternak yang dimangsa. ”Saya minta kepada warga untuk menunda ke kebun sampai ada pemberitahuan dari BKSDA,” ujarnya.
Konflik bertambah
Harimau merupakan satwa lindung. Harimau kini dikategorikan sebagai satwa yang terancam punah. Harimau sumatera banyak hidup di kawasan ekosistem Leuser. Konflik satwa lindung di Aceh seperti harimau, gajah, dan orangutan dipicu oleh kerusakan hutan yang merupakan rumah besar bagi satwa.
Konflik satwa lindung di Aceh seperti harimau, gajah, dan orangutan dipicu oleh kerusakan hutan yang merupakan rumah besar bagi satwa.
Data dari BKSDA Aceh, sejak 2007 hingga 2019 konflik harimau dengan manusia terjadi sebanyak 98 kali. Kawasan yang paling sering terjadi konflik harimau adalah Kabupaten Aceh Selatan. Sembilan warga tewas dan puluhan ternak mati diterkam harimau. Sementara enam harimau mati karena terkena jerat.
Kerusakan hutan dan perdagangan gelap satwa lindung membuat konflik semakin sering terjadi. Pada 2 Januari 2020, Kepolisian Daerah Aceh menangkap satu orang karena diduga menjual kulit harimau. Polisi menyita satu lembar kulit harimau dan tulang belulangnya.
Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh mencatat, sejak 2015 hingga 2019, hutan Aceh yang rusak mencapai 90.147 hektar. Kerusakan paling besar terjadi pada tahun 2016 mencapai 21.060 hektar. Kini tutupan hutan Aceh yang tersisa seluas 2.980.212 hektar.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 103/MenLHK/2015, luas total kawasan hutan Aceh 3.557.928 hektar. Kawasan hutan Aceh terbagi dalam kawasan hutan lindung, hutan produksi, taman nasional, hutan produksi terbatas, hutan konservasi, dan area penggunaan lain.
Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Muhammad Daud mengatakan, degradasi hutan memicu konflik satwa. Tutupan hutan berkurang karena ada aktivitas pembalakan liar dan perambahan dalam kawasan.
”Kami mengakui masih ada kegiatan merusak hutan. Namun, kami berupaya mencegah dengan melakukan patroli dan menindak secara hukum,” kata Daud.
Menurut Daud, saat ini sebagian besar satwa lindung berada di luar kawasan hutan. Dampaknya, intensitas konflik dengan manusia semakin tinggi. Pemerintah sedang menggodok kawasan ekosistem esensial untuk habitat satwa.