Vonis yang dijatuhkan pada pelaku perburuan satwa liar masih terlalu ringan. Hukuman itu tidak sebanding dengan kerugian lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas perburuan tersebut.
Oleh
VINA OKTAVIA
·2 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Vonis yang dijatuhkan terhadap pelaku perburuan satwa liar masih terlalu ringan. Hukuman itu tidak sebanding dengan kerugian lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas perburuan tersebut.
”Sebagian besar pelaku divonis hukuman kurang dari satu tahun atau satu tahun penjara,” ujar Kepala Seksi III Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera M Hariyanto saat dihubungi dari Bandar Lampung, Senin (22/8/2020).
Berdasarkan data, sepanjang 2019, dari empat kasus yang sudah divonis, dua kasus perburuan satwa liar divonis kurang dari satu tahun. Adapun dua kasus lainnya divonis hukuman satu tahun penjara.
Adapun pada 2018, Balai Gakkum KLHK memproses empat kasus perburuan satwa liar di Lampung. Dari empat kasus itu, para pelaku divonis hukuman satu tahun penjara, lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta hakim menjatuhkan hukuman 1 tahun dan 6 bulan penjara.
Sebagian besar pelaku divonis hukuman kurang dari satu tahun atau satu tahun penjara.
Menurut dia, hukuman penjara di bawah satu tahun sangatlah ringan. Padahal, upaya pengungkapan kasus perburuan dan perdangan satwa liar membutuhkan waktu lama. Tak jarang, aparat harus menggunakan strategi penjebakan agar sindikat itu dapat terbongkar.
Selama ini, aparat juga sulit melacak jaringan peredaran perdagangan satwa liar. Kerap kali penindakan dan pelacakan jaringan peredaran terputus hanya pada kurir atau pedagang.
Lemahnya hukuman bagi pelaku perburuan disebabkan tidak adanya aturan hukum minimal bagi pelaku dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 90 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya UU itu hanya mengatur ancaman hukuman pelaku pidana satwa liar maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Hariyanto mengatakan, selama ini pihaknya telah berupaya menghadirkan saksi ahli yang mampu meyakinkan hakim terkait kerugian lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas perburuan itu. Selain ancaman terhadap ekosistem, pemulihan atas dampak lingkungan yang ditimbulkan juga membebani negara.
Kepala Seksi III Konservasi Wilayah Lampung Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu Hifzon Zawahiri mengatakan, modus perdagangan satwa, terutama jenis burung liar dan burung dilindungi, kini berubah. Semula, sindikat perdagangan memanfaatkan bus untuk membawa burung dari Sumatera ke Jakarta dan sekitarnya. Namun, kini pemodal memanfaatkan minibus untuk mengangkut satwa liar itu.
Sepanjang 2019, pihaknya telah menyita 26.040 ekor burung liar dari 30 kasus yang berhasil diungkap. Sebagian burung langsung dilepasliarkan ke alam. Namun, banyak burung yang harus menjalani karantina karena mengalami malnutrisi.
Dia meyakini, kasus perburuan burung liar dari Sumatera ke Jawa terjadi setiap pekan. Masih tingginya minat pembeli terhadap burung liar memicu maraknya perburuan burung dari hutan di Jambi, Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan.