Vonis 20 Tahun Penjara untuk Pelaku Pembunuhan dan Mutilasi di Pasar Besar Malang
Sugeng Santoso (50), terdakwa dalam kasus pembunuhan dan mutilasi perempuan di Pasar Besar Malang pada Mei 2019, dianggap bersalah dan divonis 20 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Malang, Jawa Timur.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Sugeng Santoso (50), terdakwa dalam kasus pembunuhan dan mutilasi perempuan di Pasar Besar Malang pada Mei 2019, dianggap bersalah dan divonis 20 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Malang, Jawa Timur. Sebelum memutilasi, Sugeng dinilai membunuh korban terlebih dahulu.
Vonis dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Malang yang diketuai Dina Pelita Asmara, Rabu (26/2/2020).
Dalam sidang putusan, hakim menyatakan Sugeng bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap korban Mrs X pada Mei 2019. Hakim menyatakan seluruh unsur dalam Pasal 340 tentang pembunuhan berencana telah terpenuhi.
”Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana tuntutan, dan menjatuhkan pidana penjara selama 20 tahun,” kata Dina.
Hakim menilai putusan yang lebih rendah dari tuntutan jaksa tersebut adil dan sepadan dengan perbuatan yang dilakukan Sugeng. Sebelumnya, Sugeng dituntut melanggar Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana) dengan ancaman hukuman seumur hidup.
Satu poin penting dalam putusan itu, hakim mempertimbangkan keterangan ahli forensik bahwa jika korban dimutilasi saat jantungnya masih bekerja (masih hidup), maka akan ada percikan darah. ”Berdasarkan keterangan ahli forensik, ditemukan cipratan darah korban yang mengenai kaus terdakwa. Membuktikan saat terdakwa beraksi, korban masih hidup,” kata Dina dalam putusannya.
Berdasarkan fakta persidangan, hakim menilai Sugeng membunuh korban pada 11 Mei 2019 sekitar pukul 01.30 dengan memotong leher korban menggunakan cutter. Selanjutnya, Sugeng memutilasi jasad korban di kamar mandi tak jauh dari lokasi pembunuhan. Tubuh korban yang termutilasi akhirnya ditemukan masyarakat pada 14 Mei 2019 pukul 13.30.
”Hukuman bukan semata-mata represif, tetapi juga preventif, edukatif, konstruktif, dan motivatif ke terdakwa. Agar terdakwa tidak mengulangi dan menjadi shock terapi bagi masyarakat. Bukan semata-mata pembalasan dendam,” ujar Dina.
Dina menjelaskan, putusan juga mempertimbangkan sebab-sebab yuridis teoretis, filosofis, psikologis, dan lainnya. Yuridis teoretis adalah bahwa perbuatan hukum harus ada pertanggungjawabannya (setiap tindakan hukum ada akibat hukumnya).
”Sebab filosofisnya adalah adanya upaya menanamkan pandangan dan sikap baru ke terdakwa bahwa prinsip melakukan perbuatan baik dan jangan berbuat tercela adalah nilai yang harus dijaga sejak dini,” katanya.
Berdasarkan keterangan ahli forensik, ditemukan cipratan darah korban yang mengenai kaus terdakwa. Membuktikan saat terdakwa beraksi, korban masih hidup.
Adapun aspek psikologisnya adalah hukuman tersebut sebagai upaya menanamkan rasa malu untuk melakukan tindakan melawan hukum.
”Keamanan dan ketertiban dalam hidup agar lebih tertata dan mencegah terjadinya kejahatan. Tindakan sadis terdakwa meresahkan masyarakat, membuat tidak aman dan takut. Itu pertimbangan dari putusan. Harapannya, setelah pidana, terdakwa mau dan menyadari serta menjadi pribadi utuh dan mampu memperbaiki dirinya lagi,” kata hakim.
Sebelum menjatuhkan vonis, hakim memperhitungkan hal-hal yang memberatkan, yaitu Sugeng sudah pernah dihukum, sering memberikan keterangan berbelit, serta perbuatannya memotong-motong tubuh korban sangat meresahkan masyarakat, menimbulkan rasa tidak aman dan takut. Adapun hal meringankan adalah harapan agar Sugeng memperbaiki dirinya.
Menanggapi putusan tersebut, tim kuasa hukum Sugeng menyatakan akan melakukan banding. ”Kami akan melakukan upaya hukum banding. Dalam 1-2 hari ini teknisnya akan kami bahas,” kata Osi Haryoto, salah seorang kuasa hukum Sugeng.
Salah satu hal yang disorot tim kuasa hukum pada putusan vonis Sugeng adalah tidak dipertimbangkannya hasil otopsi ahli forensik, yang menyatakan penyebab kematian korban tidak bisa ditentukan. Forensik tidak bisa menentukan penyebab kematian korban karena jasad korban sudah mengalami pembusukan tingkat lanjut.
Meski begitu, tim kuasa hukum mengaku tetap akan mengomunikasikan hal itu kepada Sugeng. Sugeng mengerti bahwa dirinya divonis oleh majelis hakim selama 20 tahun penjara. ”Saya mengerti dan menerima,” katanya.
Sehari sebelumnya, Sugeng berharap kasusnya selesai sehingga ia bisa pulang ke tempat istrinya di Kebalen. Adapun jaksa penuntut umum masih berpikir-pikir mengenai vonis tersebut.