Pencairan Terhambat, Program Desa di Malang Terancam Menumpuk
Ratusan desa di Kabupaten Malang, Jawa Timur, belum bisa mencairkan dana desa tahap pertama tahun 2020. Akibatnya, pembangunan desa tersendat dan sejumlah kegiatan terancam menumpuk di semester kedua.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Ratusan desa di Kabupaten Malang, Jawa Timur, belum bisa mencairkan dana desa tahap pertama tahun 2020. Akibatnya, pembangunan desa tersendat dan sejumlah kegiatan terancam menumpuk di semester kedua.
Dari 378 desa di Kabupaten Malang, hingga Kamis (27/2/2020) belum ada satu pun yang mencairkan dana desa tahun 2020. Padahal, Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan sejak jauh-jauh hari agar dana desa tahun 2020 bisa cair Januari 2020 dengan mekanisme transfer langsung dari rekening kas umum negara ke rekening kas desa. Instruksi presiden tersebut ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Desa.
Persoalan di Malang tak sebatas belum cairnya dana. Sebagian besar desa di Kabupaten Malang saat ini masih berjuang menyelesaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) tahun 2020.
”Dalam penyaluran itu ada persyaratan yang harus dipenuhi. Dari desa, harus ada peraturan tentang APBDes dan tingkat kabupaten harus sudah ada peraturan bupati tentang penetapan tata cara dan besaran dana desa setiap desa,” jelas Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Malang Suwadji, Kamis (27/2/2020).
Menurut Suwadji, saat ini peraturan bupati tersebut baru selesai. Adapun sebanyak 17 desa sudah menyelesaikan perdes APBDes. ”Semoga minggu depan bisa cair,” tambahnya.
Desa cenderung menunggu ketetapan pagu anggaran dan enggan melakukan perubahan anggaran.
Hal yang menghambat penyelesaian perdes APBDes, menurut Suwadji, karena desa masih sering menunggu ketetapan besaran pagu dana desa, termasuk besaran alokasi dana desa untuk tahun berikutnya. Desa cenderung menunggu ketetapan pagu anggaran dan enggan melakukan perubahan anggaran.
”Problemnya adalah mereka menunggu pagu, tidak mau berisiko melakukan perubahan APBDes. Padahal, perubahan APBDes itu boleh,” kata Suwadji.
Sekretaris Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Achmad Bagus Sadewa mengaku, pemerintah desa sebenarnya paham bahwa mereka bisa menggunakan pagu tahun lalu untuk merencanakan APBDes tahun berikutnya. Hanya saja, jika ada perubahan APBDes akibat perbedaan pagu, desa harus melakukan perubahan APBDes.
”Perubahan APBDes akan berdampak pada mundurnya kegiatan, bisa satu atau dua bulan,” ucapnya.
Menurut Bagus, jika perubahan pagu APBDes tidak signifikan, tidak masalah karena cukup mengubah peraturan kepala desa yang dibahas dengan Badan Permusyawaratan Desa. Namun, jika perubahannya signifikan, harus ada musyawarah desa ulang, dengan mengubah rencana kerja pemerintah desa (RKPDes) hingga APBDes.
Proses itu butuh waktu lebih lama dan kegiatan akan semakin mundur. Mundurnya eksekusi kegiatan akan berpotensi memunculkan masalah, misalnya perubahan cuaca yang berdampak pada kegiatan.
Oleh karena itu, Bagus berharap pemerintah kabupaten mengeluarkan pagu dana desa lebih cepat sehingga pemerintah desa bisa menetapkan APBDes sesegera mungkin.
Pegiat Sinau Desa di Kabupaten Malang, Syaiful Arief, mengatakan, regulasi tentang siklus pembangunan desa sebenarnya sudah jelas. Dimulai dengan perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan pembangunan, hingga pelaporan atau pertanggungjawaban.
Menurut Syaiful, pemerintah desa seharusnya menyusun rencana kerja pemerintahan desa tahun berikutnya, mulai Juni-September tahun berjalan. Adapun penyusunan dan penyepakatan APBDes pada Oktober dan disepakati paling lambat akhir Desember.
”Ketepatan siklus itu diharapkan mendorong pelaksanaan pembangunan desa. Masalahnya, semua siklus itu sering tidak tepat alias mundur,” kata Syaiful.
Keterlambatan itu, menurut Syaiful, salah satunya karena lemahnya komitmen pemerintah kabupaten dalam membina desa maupun menyukseskan siklus pembangunan desa. Selain itu, pendampingan para pendamping desa juga tak efektif.
”Keterlambatan munculnya peraturan bupati soal pencairan dana desa akan berimbas pada lambatnya pembangunan di desa. Pembinaan terhadap desa, melalui kecamatan, juga tidak berjalan sehingga desa tidak tahu, atau tidak berani, menggunakan pagu anggaran tahun lalu. Harusnya di sinilah peran pembinaan dan pendampingan desa,” tuturnya.
Keterlambatan itu salah satunya karena lemahnya komitmen pemerintah kabupaten dalam membina desa maupun menyukseskan siklus pembangunan desa.
Selama ini, menurut Syaiful, dana desa baru cair sekitar bulan April. Adapun desa rata-rata melaksanakan pembangunan hanya selama tujuh sampai delapan bulan. Bahkan ada yang lima sampai enam bulan.
”Dampaknya, kualitas pelaksanaan pembangunan desa kurang memadai karena kegiatan menumpuk di semester kedua. Itu semua menunjukkan pekerjaan rumah pembangunan desa masih sangat banyak. Jangankan memikirkan pemberdayaan, soal rutin siklus penganggaran saja tak tuntas,” kata Syaiful.
Adapun Kepala Seksi Bank Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Malang Teguh Setiawan mengatakan, secara umum, KPPN Malang sudah siap melaksanakan transfer dana desa langsung dari rekening kas umum negara ke rekening kas desa. Namun, mereka masih menunggu pengajuan pencairan dana desa dari pemerintah kabupaten dan kota. Wilayah kerja KPPN Malang adalah Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, dan Kota Batu.
”Kami sejak bulan Desember 2019 sudah berkoordinasi dengan pemerintah. Bahkan, kami juga sudah memverifikasi rekening setiap desa untuk mempercepat proses transfer. Namun, desa dan kabupaten belum siap sehingga sampai kini belum ada pengajuan pencairan dana desa,” katanya.