Sudah ada tujuh orang meninggal karena demam berdarah dengue. Pemerintah Kabupaten Sikka tetapkan kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN dan KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
MAUMERE, KOMPAS — Korban meninggal akibat demam berdarah dengue yang merebak di hampir seluruh wilayah Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, terus bertambah. Sepanjang tahun 2020, sebanyak tujuh orang meninggal. Sekitar 800 orang, termasuk empat dokter, yang terkena virus yang disebarkan oleh nyamuk itu kini dalam perawatan. Pemerintah daerah setempat menyatakan hal tersebut sebagai kejadian luar biasa.
Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr TC Hillers Maumere pada Jumat (28/2/2020) pagi, petugas kesehatan sibuk melayani pasien demam berdarah dengue (DBD) yang terus berdatangan dari sejumlah desa. Ada yang dirujuk dari puskesmas dan ada yang tanpa melalui rujukan. Banyak pasien dengan tingkat keparahan bervariasi terbaring lemah dengan infus di tangan. Informasi yang berhasil dihimpun, di semua puskesmas di kabupaten itu terdapat pasien DBD.
Di salah satu ruangan terdapat dua pasien kakak beradik, yakni Anjelina Herlin Sega (7) dan Markus Hiro Sega (11 bulan). Sejak empat hari sebelumnya, mereka dirawat di rumah sakit itu. Mereka dibawa ke rumah sakit tanpa melalui rujukan. Saat masuk rumah sakit, suhu tubuh Anjelina mencapai 38 derajat celsius dengan trombosit 25.000. Hingga Jumat pagi, trombositnya naik menjadi 60.000.
Sementara adiknya, Markus, saat pertama kali datang suhu tubuhnya mencapai 40 derajat celsius dengan trombosit 5.000. ”Beruntung perawat bekerja dengan cepat menangani anak kami. Kalau tidak, entahlah seperti apa nasib mereka. Kondisi mereka semakin membaik dari hari ke hari,” kata Yulius Herta, ayah kedua pasien tersebut. Trombosit ideal 100.000 hingga 150.000.
Menurut Yulius, kedua anaknya terserang DBD yang di daerah itu mulai merebak sejak Januari lalu. Telur dari nyamuk DBD mulai menetas saat musim hujan tiba. Berawal dari beberapa anak-anak kompleks tempat tinggal mereka di Kelurahan Wuring, Kecamatan Alok Barat, yang terkena virus DBD. Ia meyakini, virus tersebut dibawa angin dan rumah lain di kompleks itu. ”Di rumah kami tidak ada genangan air. Tempat penampungan air juga kami bersihkan,” ujarnya.
Beruntung perawat bekerja dengan cepat menangani anak kami. Kalau tidak, entahlah seperti apa nasib mereka.
Dokter Clara Francis, Direktur RSUD Maumere dr TC Hillers, saat ditemui menuturkan, sepanjang tahun 2020 hingga Jumat pagi, pasien positif DBD yang dirawat di rumah sakit itu sebanyak 83 orang. Jumlah itu terus bertambah dari hari ke hari. Pada Kamis, satu hari sebelumnya, total pasien 65 orang. Jumlah itu belum termasuk yang dirawat di tingkat puskesmas yang tersebar di 21 kecamatan.
Khusus pasien yang dirawat di rumah sakit itu, sebanyak tujuh orang tidak tertolong karena kondisi mereka sudah sangat parah saat dibawa ke rumah sakit. Pada Kamis malam, pasien remaja berumur 16 tahun meninggal. Pasien yang lain kebanyakan anak-anak. ”Ada yang kondisinya parah karena terdapat penyakit lain di dalam tubuh,” ujarnya.
Selain warga biasa, lanjut Clara, empat dokter di rumah sakit itu juga positif DBD. Diduga dokter yang kecapekan menangani pasien yang terus bertambah terkena gigitan nyamuk di area rumah sakit itu. Hal tersebut sangat mungkin terjadi mengingat nyamuk dapat terbang dalam radius 100 meter. ”Bisa juga nyamuk terbawa angin. Ada yang bisa bertahan hidup,” lanjutnya. Keempat dokter itu sudah ditangani dengan baik.
Pada Kamis petang, Bupati Sikka Fransiskus Roberto Diogo menyerukan kepada seluruh warga agar membersihkan lingkungan tempat tinggal yang berpotensi menjadi sarang nyamuk. Seruan itu disampaikan petugas lewat pengeras suara yang diputar di atas mobil yang bergerak keliling Maumere, ibu kota kabupaten itu. Kenaikan jumlah kasus secara signifikan membuat pemerintah setempat menyatakan DBD tergolong dalam kejadian luar biasa (KLB).
Aparat pemerintah diminta turun ke desa-desa untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai perilaku hidup sehat. Agustina Dua Luju, pegawai di Kecamatan Kangae, menuturkan, di sejumlah tempat yang didatangi, ditemukan potret lingkungan yang tidak sehat. ”Ada warga yang menggunakan air yang banyak jentik nyamuk. Saat kami minta dibuang, mereka bilang sulit dapat air bersih,” ujarnya.
Remigius Nong (40), aktivis sosial di Sikka, berpendapat, masalah utama adalah minimnya pengetahuan, kemiskinan, serta kurangnya akses pembangunan yang dirasakan masyarakat. Ia menyebutkan, banyak desa di Sikka kesulitan air bersih. Mereka terpaksa menggunakan air kendati terdapat jentik nyamuk.
”Sosialisasi saja tidak cukup. Akses pembangunan untuk menjawab kebutuhan dasar mereka harus dilakukan,” ujarnya.