Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjanjikan pengawasan berlapis pada izin usaha agar dunia usaha patuh pada prinsip lingkungan yang sudah ditetapkan pemerintah. Demikian nantinya penerapan RUU Cipta Kerja.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjanjikan adanya pengawasan berlapis izin usaha agar dunia usaha patuh pada prinsip lingkungan yang sudah ditetapkan pemerintah. Hal ini berkaitan dengan kekhawatiran publik akan adanya dugaan pengabaian aspek lingkungan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
”Pelanggaran terhadap standar (pengendalian lingkungan) harus dilakukan. Di kementerian, kami membangun sistem. Sistem pengawasan yang berlapis,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, di Yogyakarta, Sabtu (29/2/2020).
Standar pengendalian lingkungan merupakan bentuk penyederhanaan dari surat keputusan kelayakan lingkungan (SKKL) dan izin lingkungan yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam RUU Cipta Kerja, nantinya, kedua hal tersebut tidak ada lagi karena disatukan menjadi izin usaha.
Adapun standar pengendalian lingkungan telah termuat dalam izin usaha tersebut. Pelaku usaha wajib memenuhi standar itu atau tidak diperbolehkan menjalankan usaha.
Siti menyampaikan, lapisan pengawasan pertama berupa pemantauan atau monitoring. Pemantauan ini dilakukan secara menyeluruh pada pelaku usaha. Pelaku usaha diawasi sungguh-sungguh apakah menjalankan standar pengendalian lingkungan yang sudah ditentukan atau tidak.
Kemudian, lapisan kedua berupa pengawasan reguler. Pihaknya akan membangun sistem dari pemerintah pusat ke daerah agar sistem pengawasan itu dapat diberlakukan. Evaluasi terhadap penerapan standar pengendalian lingkungan oleh pelaku usaha dilakukan secara berkala.
”Ini nanti kami beri pedomannya. Kami akan buat rencana operasional dan pedomannya,” katanya.
”Ketiga, pengawasan impromptu. Artinya, pengawasan yang akan sampai pada penegakan hukum dan sanksi hukum. Misalnya, ada pengaduan masyarakat yang sangat serius karena terjadi sesuatu. Harus ada investigasi,” ujar Siti.
Siti menambahkan, pihaknya juga akan mengerahkan petugas dari balai penelitian dan pengembangan di kementeriannya untuk terlibat dalam pengawasan. Laboratorium yang ada dapat dikembangkan menjadi badan pengendalian standar.
Kalau tidak membangun lingkungan yang lestari, cipta kerja tidak pernah ada.
Menurut data Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK, catatan ketidakpatuhan pelaku usaha terhadap prinsip lingkungan masih tinggi. Sepanjang 2015-2019, tercatat ada 4.116 pengaduan terkait pelanggaran lingkungan yang ditangani direktorat tersebut. Selain itu, ada 5.091 pengawasan atas izin yang telah dikeluarkan.
Adapun sanksi administratif yang dikeluarkan sebanyak 1.221 sanksi. Sanksi terbanyak muncul tahun 2019, yakni 659 sanksi.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menyatakan, upaya penegakan hukum senantiasa dilakukan. Namun, masih ada pelaku usaha yang belum dapat diawasinya.
Persoalan itu bisa diatasi dengan cara meningkatkan kapasitas pemerintah daerah untuk melakukan penindakan terhadap perusahaan yang tidak patuh ataupun perusak lingkungan. Pemerintah daerah dianggap masih rendah komitmennya terhadap upaya penanganan ketidakpatuhan atas peraturan lingkungan.
”Kami perlu mendorong agar langkah-langkah pengawasan atau pemberian sanksi terhadap pihak-pihak yang tidak patuh ini jauh lebih optimal lagi. Dengan begitu, kita akan menimbulkan budaya kepatuhan dan efek jera bagi pelaku perusakan lingkungan hidup, juga membangun budaya kepatuhan bagi korporasi,” tutur Rasio.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodiharjo berpendapat, kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat harus menjadi napas RUU Cipta Kerja. Dalam konteks kehutanan, pengelolaan sumber daya alam yang tidak bijaksana justru menihilkan lapangan pekerjaan. Sebab, kesan yang muncul dari RUU Cipta Kerja sekadar memudahkan investasi.
”Omnibus law itu seharusnya adalah turunan dari kelestarian dan keadilan lingkungan hidup. Kalau tidak membangun lingkungan yang lestari, cipta kerja tidak pernah ada. Yang menjadi perhatian kita bukan pasal-pasal dalam omnibus law, tetapi, bagaimana pasal-pasal itu ditinggalkan, apakah UU Kehutanan memadai untuk membangun sustainability?” ujar Hariadi.