Semburan air dan lumpur akibat dorongan gas rawa yang terjadi di Desa Karanganyar, Kecamatan Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, Sabtu (29/2/2020), menunjukkan masih tersimpannya gas berbahan baku fosil.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
GROBOGAN, KOMPAS — Semburan air dan lumpur akibat dorongan gas rawa yang terjadi di Desa Karanganyar, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Sabtu (29/2/2020), menunjukkan masih tersimpannya gas berbahan baku fosil di daerah itu. Ini perlu menjadi perhatian masyarakat apabila hendak mengebor ke dalam tanah.
Pembuatan sumur air lahan milik Yayasan Yatama itu dimulai pada Rabu (26/2) oleh pelaksana pengeboran dari pihak donatur. Sebelumnya, yayasan yang bergerak di bidang kesejahteraan sosial anak tersebut mengajukan proposal bantuan pengadaan air bersih hingga ada donatur asal Solo. Adapun pengeboran hingga kedalaman 60 meter.
Pengeboran sebenarnya sudah tuntas pada Jumat (28/2). Pada hari itu juga terjadi semburan pertama dengan ketinggian berkisar 3-5 meter. Pada Pada Sabtu, sekitar pukul 06.00, air bercampur lumpur serta meterial batu menyembur hingga ketinggian 15 meter. Pada pukul 16.00, semburan tinggal berupa air dengan rasa asin.
Hingga Sabtu pukul 21.00, air masih menyembur dengan ketinggian sekitar 6 meter. Namun, kemudian perlahan ketinggiannya menurun. Pada Minggu (1/3) pagi, semburan dilaporkan sudah berhenti.
Ini bukan pertama kali terjadi semburan air, lumpur, dan gas di Grobogan. Dalam catatan Kompas, semburan gas pernah terjadi di sekitar kompleks Yayasan Yatama, Karanganyar, pada 2012. Ketika itu juga sedang ada pengeboran sumur air. Gas rawa tersebut keluar saat bagian patahan tersentuh bor sumur di kedalaman 32 meter.
Kemunculan gas rawa, yang merupakan gas berbahan baku fosil yang tersimpan dalam bumi, juga kerap terjadi di sejumlah titik lain di Grobogan. Bahkan, sudah sampai tahap pemanfaatan. Seperti di Desa Rajek, Kecamatan Godong. Pada 2017, sejumlah keluarga mengganti elpiji dengan gas rawa untuk memasak.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujarwanto mengatakan, secara geologis, Grobogan berada dalam fisiografi zona Randublatung, yang membelah zona Pegunungan Kendeng dan zona Rembang. Zona Randublatung berupa lembah yang dulunya merupakan perairan laut.
Hal itu dicirikan oleh endapan lempung abu-abu hingga hitam. ”Formasi batuan di bawahnya bertekanan tinggi dan terlipat serta terpatahkan sehingga di beberapa tempat muncul mud vulcano, yakni Bleduk Kuwu yang aktif. Juga, ada fenomena kemunculan air asin atau brine di Desa Jono (Kecamatan Tawangharjo),” ujarnya.
Ia menambahkan, pada zona Randublatung, dari Purwodadi sampai Blora, tidak mudah ditemukan air tanah, kecuali di beberapa lokasi endapan sungai sekitar Kali Lusi. Karena itu, pengeboran air tanah tidak bisa di sembarang tempat. Di samping belum tentu mendapat lapisan bawah tanah yang mengandung air, ada risiko tekanan formasi yang memuntahkan lumpur dan air dengan gas.
”Gas yang ikut serta harus dilihat dan diuji kandungannya, bisa berupa biogenik dari endapan rawa/pantai/laut dangkal. Bisa juga gas metan dari sistem jebakan minyak dan gas bumi seperti yang terdapat di Api Abadi Mrapen (Kecamatan Godong),” lanjutnya.
Kejadian semburan air dan lumpur seperti di Karanganyar juga pernah terjadi pada pengeboran air tanah di dekat Wirosari, dua bulan lalu. Karena itu, kata Sujarwanto, masyarakat sebaiknya mengajukan izin ke Dinas ESDM Jateng apabila hendak mengebor ke dalam tanah, termasuk mencari air, untuk selanjutnya diarahkan dan diawasi.
Tak menyulut api
Kepala Cabang ESDM Jateng Wilayah Kendeng Selatan Teguh Yudi Pristiyanto mengatakan, pelaksana pengeboran belum memiliki surat izin pengeboran air tanah (SIPAT). Adapun kondisi air asin, tetapi tidak tercium adanya gas sulfur (H2S).
”Sosialisasi dilakukan kepada warga agar tidak panik karena kasus seperti ini pernah terjadi di Grobogan. Kami mengimbau agar warga tidak membawa atau menyulut sumber api di sekitar semburan. Kami juga berkoordinasi dengan BPBD dan pemilik sumur agar perkembangan terus dipantau,” katanya.
Sosialisasi dilakukan kepada warga agar tidak panik karena kasus seperti ini pernah terjadi di Grobogan.
Kepala Desa Karanganyar Teguh Wijanarko mengatakan, peristiwa semburan air dan lumpur setinggi 15 meter baru pertama kali terjadi. Selama ini, kebanyakan warga yang hendak mengebor untuk mencari air tanah menggunakan alat bor manual, bukan mesin, dengan kedalaman berkisar 14 m-18 m.
Ia mengakui, selama ini warga mengebor tanpa mengantongi izin. ”Warga umumnya membuat sumur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terutama, warga yang daerahnya tak terjangkau PDAM, terlebih saat musim kemarau. Dengan adanya kejadian ini, akan kami imbau agar melapor dan izin,” katanya.