Pascaerupsi Gunung Merapi, Selasa (3/3/2020) pagi, para penambang pasir dan batu di lereng gunung diimbau wasapada. Gunung api yang berada di perbatasan DI Yogyakarta dan Jawa Tengah itu masih berpotensi erupsi.
Oleh
HARIS FIRDAUS/NINO CITRA ANUGRAHANTO/REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS – Pascaerupsi Gunung Merapi, Selasa (3/3/2020) pagi, para penambang pasir dan batu di lereng gunung diimbau wasapada. Gunung api yang berada di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah itu masih berpotensi mengalami erupsi.
Pada Selasa pukul 05.22 WIB, Gunung Merapi erupsi dengan tinggi kolom mencapai 6.000 meter di atas puncak. Berdasarkan data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), erupsi itu memiliki amplitudo 75 milimeter dan durasi 450 detik.
Selain itu, dilaporkan juga adanya awan panas guguran yang meluncur sejauh 2 kilometer (km) ke arah hulu Sungai Gendol di Kabupaten Sleman, DIY. Meski mengalami erupsi, status Merapi masih sama, yakni Waspada (Level II). Status Waspada ditetapkan sejak 21 Mei 2018.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Biwara Yuswantana mengatakan, berdasarkan informasi dari BPPTKG, radius bahaya akibat erupsi Merapi masih sama dengan sebelumnya, yakni 3 km dari puncak Merapi. Oleh karena itu, penambangan pasir dan batu di lereng Merapi tetap bisa dilakukan asalkan berlokasi di luar radius 3 km.
"Selama penambangan di luar radius 3 km, ya tidak bisa dilarang," kata Biwara, Selasa siang, di Yogyakarta.
Meski begitu, Biwara meminta para penambang pasir dan batu di lereng Merapi untuk meningkatkan kewaspadaan. Selain itu, mereka diminta untuk terus memantau informasi mengenai aktivitas Gunung Merapi dari sumber resmi, misalnya BPPTKG dan BPBD.
"Kami imbau para penambang untuk meningkatkan kewaspadaan terkait kondisi Merapi," ujar Biwara.
Biwara menambahkan, para penambang juga diminta menyiapkan jalur evakuasi untuk keluar dari lokasi penambangan secara cepat ketika terjadi situasi darurat. Prosedur evakuasi juga harus disiapkan agar para penambang bisa menyelamatkan diri dengan baik.
Meski mengalami erupsi, status Merapi masih sama, yakni Waspada (Level II). Status Waspada ditetapkan sejak 21 Mei 2018.
Sebagian besar lokasi penambangan di lereng Merapi itu berlokasi di dekat aliran sungai yang berhulu di Merapi. Selain itu, sejumlah tempat penambangan tersebut juga berada jauh dari jalan raya.
Masih berlangsung
Berdasarkan pantauan Kompas, setelah Merapi erupsi, aktivitas penambangan pasir dan batu di lereng Merapi di Kabupaten Sleman, DIY, dan Kabupaten Magelang, Jateng, masih berlangsung.
Pada Selasa sekitar pukul 12.00, misalnya tampak aktivitas penambangan pasir di aliran Sungai Gendol di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, yang berjarak sekitar 5 km dari puncak Merapi. Di lokasi itu, terdapat dua unit alat berat yang digunakan untuk mengeruk pasir dari tebing Sungai Gendol. Pasir yang dikeruk itu lalu diangkut ke 5 unit truk yang sudah menunggu.
Pemerintah Desa Kepuharjo sebenarnya sudah mengimbau aktivitas penambangan itu dihentikan sementara. Namun, himbauan itu tak diindahkan. Bahkan, di jalanan Desa Kepuharjo masih tampak lalu lalang truk pengangkut pasir. Setidaknya ada dua sampai tiga truk yang melintas setiap 30 menit. Kebanyakan truk yang melintas itu bernomor polisi dari luar DIY.
"Kami tadi sudah berkoordinasi dengan pihak Kecamatan Cangkringan untuk menghentikan sementara (aktivitas penambangan). Tetapi, ternyata masih ada aktivitas. Kami sudah cek ke lokasi dan memberikan himbauan kepada mereka untuk tidak menambang terlebih dahulu,” kata Penjabat Kepala Desa Kepuharjo, Agung Dwi Maryoto.
Sementara itu, para penambang di lereng Merapi di Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, Magelang, sempat panik saat erupsi terjadi pada Selasa pagi. “Saat itu, truk-truk pasir di sini melaju sangat kencang dan membuat lalu lintas di desa berubah hiruk pikuk,” ujar salah seorang perangkat Desa Kemiren, Wiyono.
Menurut Wiyono, kepanikan itu terjadi sekitar pukul 05.30 hingga pukul 06.00. Namun, sekitar pukul 10.00, saat kondisi gunung terlihat sudah normal, truk-truk pasir kembali naik, melintasi jalan, menuju lokasi penambangan.
Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Magelang, Pranowo, mengatakan, pihaknya tidak pernah secara khusus melibatkan penambang dalam kegiatan sosialisasi penanganan bencana erupsi Gunung Merapi. Pasalnya, banyak penambang melakukan kegiatan penambangan secara ilegal dan menambang di luar kawasan yang diijinkan.
“Jika mereka diundang dalam sosialisasi, maka kami seolah-olah mengakui dan membenarkan aktivitas penambangan yang mereka lakukan,” ujar Pranowo .
Sementara itu, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, mengatakan, pihaknya sudah beberapa kali mengundang kelompok penambang untuk memberitahukan tentang potensi bencana seperti bencana erupsi dan banjir lahan dingin dari Gunung Merapi.
“Segala informasi terbaru terkait aktivitas vulkanik Gunung Merapi juga selalu kami sampaikan kepada penambang, melalui petugas-petugas dari kantor cabang dinas energi dan sumber daya mineral yang ada di Magelang,” kata Sujarwanto.
Tak ada prekursor
Kepala BPPTKG Hanik Humaida mengatakan, erupsi Merapi pada Selasa pagi tidak didahului oleh prekursor atau gejala awal yang jelas. Sebab, sebelum terjadinya erupsi, tidak ada deformasi atau perubahan bentuk tubuh gunung serta peningkatan kegempaan secara signifikan.
"Tidak ada deformasi dan tidak ada peningkatan seismisitas (kegempaan) yang signifikan," ujar Hanik.
Hanik menambahkan, erupsi Merapi itu didominasi oleh material gas vulkanik. Dia juga menyebut, erupsi itu antara lain disebabkan oleh tekanan gas vulkanik yang ada di dalam tubuh Gunung Merapi. Tekanan gas itu muncul karena proses intrusi atau naiknya magma menuju permukaan. "Gas yang ada itu berasal dari proses intrusi magma," katanya.
Berdasarkan data BPPTKG, sejak 22 September 2019, memang ada suplai magma baru dari dapur magma di Gunung Merapi. Setelah adanya suplai magma baru itu, terjadi intrusi magma menuju ke permukaan.
Sebelumnya, pada September-November 2019, Merapi mengalami empat kali letusan eksplosif yang disertai dengan munculnya awan panas. Setelah itu, pada 13 Februari 2020, Merapi mengalami erupsi eksplosif dengan tinggi kolom 2 km di atas puncak. Namun, erupsi pada 13 Februari itu tak diikuti keluarnya awan panas.
"Rangkaian letusan ini serta aktivitas kegempaan VTA (gempa vulkanik dalam) menjadi indikasi bahwa Gunung Merapi berada pada fase intrusi magma menuju ke permukaan," ungkap Hanik.
Dia menambahkan, ke depan, Merapi masih berpotensi mengalami erupsi. Meski begitu, ancaman bahaya dari erupsi Merapi masih sama dengan sebelumnya, yakni berupa awan panas dan lontaran material vulkanik dengan radius 3 km dari puncak.
"Ancaman pada saat ini masih ada di radius 3 kilometer. Silakan masyarakat beraktivitas seperti biasa di luar radius 3 kilometer," ungkap Hanik.