Kesepakatan Terjalin, Nelayan Lokal Natuna Butuh Pelatihan
Untuk meramaikan kawasan zona ekonomi eksklusif di Laut Natuna Utara, 900 nelayan didatangkan dari pantura. Disepakati, nelayan tersebut hanya akan mencari ikan di wilayah minimal 50 mil (92 kilometer) dari Pulau Laut.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistiyo
·4 menit baca
NATUNA, KOMPAS — Kesepakatan antara pemerintah dan nelayan lokal untuk meramaikan zona ekonomi eksklusif atau ZEE di Laut Natuna Utara pun tercapai. Meskipun demikian, nelayan lokal perlu mendapatkan pembinaan dan penjagaan keamanan yang harus terus dilakukan secara konsisten.
Pemerintah yang diwakili Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagai ujung tombak siap mengamankan wilayah Laut Natuna Utara. Sementara nelayan lokal akan menerima para nelayan dari Pantai Utara (Pantura) Kota Tegal, Jawa Tengah, asalkan tidak mengganggu wilayah mereka dalam mencari ikan.
Kesepakatan tersebut dicapai dalam pertemuan antara Kepala Bakamla Laksamana Madya Aan Kurnia dengan pemerintah daerah Natuna dan sejumlah tokoh masyarakat serta nelayan di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Pelabuhan Perikanan, Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau, Sabtu (7/3/2020).
”Saya mewakili pemerintah merealisasikan apa yang sudah kita laksanakan, yakni kerja sama di antara 13 kementerian dan lembaga untuk sama-sama mengawal, mengamankan, dan memanfaatkan sumber daya ikan yang ada di Laut Natuna Utara,” kata Aan.
Ia menuturkan, pemerintah juga telah mengirim 30 kapal ikan dari pantura yang diisi oleh 900 nelayan untuk memanfaatkan kekayaan alam di Laut Natuna Utara. Pada awalnya, program tersebut sempat mendapat tentangan dari nelayan lokal, tetapi akhirnya mereka mendukung setelah mendapatkan pemahaman.
Aan menjelaskan, nelayan pantura hanya boleh mencari ikan di wilayah minimal 50 mil (92 kilometer) dari Pulau Laut yang menjadi pulau terluar di Natuna. Hal tersebut menjadi kesepakatan karena nelayan pantura menggunakan kapal berukuran 100 gros ton (GT). Mereka juga menggunakan cantrang yang dapat mengambil ikan dengan jarak 20-30 meter di atas dasar laut.
Nelayan pantura hanya boleh mencari ikan di wilayah minimal 50 mil (92 kilometer) dari Pulau Laut yang menjadi pulau terluar di Natuna.
Jarak tersebut dipilih karena wilayah pesisir dan area di bawah 50 mil dari Pulau Laut digunakan oleh nelayan tradisional yang mencari ikan dengan menggunakan alat tradisional, seperti pancing, jala, dan alat perangkap ikan atau bubu. Mereka juga hanya menggunakan kapal berukuran paling besar 10 GT.
Ikan hasil tangkapan nelayan pantura tersebut harus dibawa ke SKPT untuk menghidupkan ekonomi di Natuna. Mereka tidak boleh membawa ikan hasil tangkapan ke pantura.
Adapun Bakamla akan mencegah kapal asing yang datang ke wilayah ZEE Indonesia. Mereka juga akan mencegah nelayan Indonesia agar tidak mencari ikan di wilayah ZEE negara lain. Selain itu, nelayan Indonesia juga dilarang memasuki wilayah abu-abu atau area yang belum ada keputusan antara Indonesia dan Vietnam.
Permasalahan pun muncul karena tidak semua nelayan tradisional dapat membaca peta dengan baik. Mereka melaut dengan hanya mengandalkan petunjuk alam sehingga para nelayan tradisional tersebut mencari ikan ke wilayah ZEE dengan kapal ukuran kecil. Hal tersebut dapat membahayakan keselamatan mereka.
Sempat pesimistis
Salah satu nelayan dari Pulau Tiga Barat, Aurif (53), sempat memandang pesimis kesepakatan tersebut karena nelayan lokal tidak tahu pembagian wilayah di Laut Natuna Utara. Selain itu, menurut pengakuan Aurif, ikan di wilayah ZEE juga sudah dihabiskan oleh nelayan asing.
Alhasil, ia takut nelayan pantura akan mencari ikan di sekitar pesisir atau di bawah 50 mil dari Pulau Laut. Aurif juga pesimistis nelayan mau menjual ke SKPT karena harga belinya jauh lebih murah dibandingkan dengan ketika mereka menjual keluar SKPT.
Sebagai solusi dari permasalahan tersebut, Bakamla akan membantu para nelayan untuk pelatihan membaca peta dan menghadapi cuaca buruk secara gratis. Aan juga meminta SKPT yang dikelola Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) dapat menaikkan harga beli agar para nelayan tidak menjual keluar.
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Natuna Zakimin mengatakan, pemerintah kabupaten tidak memiliki wewenang terkait aturan di laut karena hal itu menjadi kewenangan dari pemerintah provinsi dan pusat.
Adapun SKPT dibangun untuk mempercepat proses dalam usaha menyejahterakan masyarakat yang memiliki potensi perikanan yang cukup besar. ”Natuna memiliki potensi ikan sebesar 700.000 ton per tahun,” kata Zakimin.
Dengan kedatangan nelayan dari pantura, pemerintah kabupaten akan menerapkan peraturan daerah tentang pelelangan ikan. Berdasarkan kesepatakan dengan bupati, mereka akan mencabut kontribusi kepada pemerintah daerah sebesar 5 persen.
Sebagai perwakilan dari akademisi, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Natuna Kartubi mengatakan, program pengawalan kepada nelayan harus terus dilakukan secara konsisten. Sebab, selama ini mereka mengalami masalah keamanan.
Ia berharap pemerintah tidak meninggalkan Natuna karena mereka tidak memiliki peralatan yang memadai untuk menjaga keamanan. Selain itu, hasil ikan tangkapan tidak boleh dibawa keluar sehingga industri perikanan di Natuna dapat berkembang.
Sekretaris Daerah Kabupaten Natuna Wan Siswandi mengatakan, kesepatakan ini akan dijalankan dalam tiga bulan ke depan. Setelah itu, mereka akan mengevaluasi. Ia berharap SKPT yang telah dibangun oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat berfungsi dengan baik.