Enam peladang divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Senin (9/3/2020). Seluruh dakwaan yang dijatuhkan kepada mereka tidak terbukti.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
SINTANG, KOMPAS — Enam peladang divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Senin (9/3/2020). Seluruh dakwaan yang dijatuhkan kepada mereka tidak terbukti.
Sebelumnya, enam peladang ditangkap aparat saat membuka lahan untuk berladang tahun lalu. Mereka berasal dari sejumlah daerah di Kabupaten Sintang, sekitar 300 kilometer dari Pontianak. Sejak ditangkap hingga vonis bebas, mereka telah menjalani 15 kali sidang di Pengadilan Negeri Sintang.
Terdakwa merupakan petani dan tidak berkebun. Varietas yang ditanam jenis lokal. Berladang sudah dilakukan turun-temurun sejak nenek moyang mereka sehingga ada riwayat sejarahnya. Baik kuasa hukum para terdakwa maupun jaksa penuntut umum menerima putusan hakim.
Di luar ruangan sidang terdapat massa yang berdemonstrasi damai menuntut agar peladang dibebaskan. Mereka menggunakan atribut ikat kepala serta alat musik gong. Massa memenuhi ruas jalan di depan Pengadilan Negeri Sintang. Aparat gabungan yang mengamankan sidang sekitar 2.793 personel. Sekolah-sekolah di kota Sintang diliburkan demi keamanan.
Seusai sidang, keenam peladang dibawa ke halaman Pengadilan Negeri Sintang oleh kuasa hukumnya. Mereka disambut massa. Salah satu kuasa hukum peladang meminta massa membubarkan diri karena para peladang sudah divonis bebas.
Massa menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” sembari mengibarkan bendera Merah Putih menyambut putusan sidang. Setelah itu, mereka membubarkan diri dengan tertib. Selama persidangan, situasi berlangsung aman dan kondusif.
Putusan bebas kepada para peladang tersebut membuat suasana haru. Mata para peladang berkaca-kaca mendengar putusan bebas. Salah seorang peladang, Dedi Kurniawan, sangat terharu dan senang bisa bebas murni.
”Kami merasa tidak ada kesalahan dalam berladang. Selama sidang, saya selalu hadir. Dari kampung menuju ke lokasi sidang sekitar empat jam. Biaya perjalanan dari kampung ke lokasi sidang Rp 250.000 sekali perjalanan. Sidang sudah 15 kali. Biaya ditanggung pribadi. Ke depan saya tetap akan berladang,” ujarnya.
Sebelumnya, Antonius Sujianto (40) dan Magan (66) didakwa dengan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau Pasal 108 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan atau Pasal 187 KUHP atau Pasal 188 KUHP.
Agustinus (49), Dugles (36), Boanergis (61), dan Dedi Kurniawan (31) didakwa dengan Pasal 108 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau Pasal 108 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan atau Pasal 188 KUHP. Mereka diancam enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.
Dalam amar putusan yang dibacakan hakim ketua Hendro Wicaksono beserta hakim anggota Edy Alex Serayox dan Abdul Rasyid, para terdakwa tidak terbukti melakukan kejahatan. Para terdakwa sudah melapor kepada kepala desa dan membuat sekat bakar serta menyiapkan air sebelum membuka ladang. Selain itu, tidak ada orang yang dirugikan dan aktivitas yang mereka lakukan tidak menimbulkan korban jiwa.
Salah seorang kuasa hukum peladang, Andel, mengatakan, keenam terdakwa bebas murni. Keenam peladang terbukti tidak melakukan kejahatan kebakaran hutan dan lahan. Perbuatan mereka adalah kearifan lokal yang dilakukan turun-temurun dan tidak bisa dipidana.
Kuasa hukum lainnya, Glorio Sanen, menambahkan, putusan perkara ini menjadi kabar gembira bagi seluruh peladang se-Kalimantan. Pascaputusan ini diharapkan tidak ada lagi kriminalisasi terhadap peladang.
”Majelis hakim dalam putusannya juga jelas mengatakan berladang adalah kearifan lokal. Berladang bentuk dukungan rakyat kepada pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Kalau bicara berladang, ada produksi padi. Padi adalah pangan,” tutur Sanen.
Majelis hakim dalam putusannya juga jelas mengatakan berladang adalah kearifan lokal. Berladang bentuk dukungan rakyat kepada pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Kalau bicara berladang, ada produksi padi. Padi adalah pangan.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Kalbar Komisaris Besar Donny Charles Go menyampaikan, selama masa kebakaran lahan 2019, Polda Kalbar menangani 70 kasus. Dari 70 kasus itu, yang melibatkan korporasi sebanyak 7 kasus, sementara yang melibatkan perorangan 63 kasus. ”Satu kasus korporasi sudah dilimpahkan ke tahap dua. Enam lainnya sudah tahap satu,” ujar Donny.
Berdasarkan catatan Kompas, luas lahan yang terbakar di Kalbar semasa kebakaran lahan 2019 mencapai 125.000 hektar. Bahkan, banyak perusahaan yang lahannya disegel oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena diduga membakar lahan.