Maju Kena Mundur Kena, Simalakama Hadapi Korona
Ancaman korona di Indonesia semakin nyata. Terdapat lebih dari 170 kasus positif Covid-19 hingga Kamis. Lima pasien meninggal dan sembilan pasien sembuh. Aktivitas manusia di luar rumah dibatasi guna mencegahnya.
Ancaman virus korona di Indonesia semakin nyata. Terdapat lebih dari 170 kasus positif Covid-19 dengan lima pasien meninggal dan sembilan pasien sembuh hingga Selasa (17/3/2020) malam. Aktivitas manusia di luar rumah dibatasi guna mencegah penularannya.
Akan tetapi, bagi sebagian orang yang mengais rupiah dari mobilitas massa, ancaman virus dan pembatasan aktivitas sama-sama menakutkan. Mereka ibarat makan buah simalakama. Sama-sama diselimuti ”racun”.
Jalan Sumatera di depan SMP Negeri 2 Kota Bandung, Jawa Barat, sepi, Selasa (17/3/2020) pukul 14.00. Hanya terlihat sebuah mobil terparkir di bahu jalan. Di tengah suasana lengang itu, Komar (39) berjalan mendorong gerobaknya. Pedagang es krim itu menepis rasa takut tertular Covid-19. Demi mencari uang untuk menghidupi keluarganya, ia kembali ke jalanan.
”Semua orang tidak mau sakit. Tetapi, jika saya tetap di rumah dan enggak bekerja, anak dan istri mau makan apa? Bisa sakit juga,” ujarnya.
Cuaca terik siang itu seharusnya menjadi pelaris dagangannya. Namun, sudah empat jam berkeliling, es krimnya baru laku 15 cup. Padahal, sebelumnya, dia bisa menjual hingga 50 cup ketika sudah memasuki pukul 14.00. Satu cup es krim dijual Rp 5.000. Keuntungannya sekitar 50 persen dari omzet. Biasanya dia menjual sekitar 80 cup per hari dengan omzet Rp 400.000.
”Hari ini pembeli sepi. Anak-anak (siswa) enggak ke sekolah karena korona. Bisa menjual 40 cup es krim per hari saja, syukur,” ujarnya.
Baca juga: Mereka Bergantung Hidup dari Dompet Buruh
Sejak Senin (16/3/2020) hingga Minggu (29/3/2020), aktivitas belajar mengajar di sekolah ditiadakan. Siswa diminta belajar di rumah. Ini merupakan kebijakan Pemerintah Kota Bandung mengantisipasi penyebaran Covid-19 yang dipicu korona jenis baru (SARS-CoV-2).
Komar tidak mengutuk keadaan. Dia tahu ancamannya tidak main-main. Sudah ada korban jiwa. Namun, ketakutan itu terpinggirkan kewajibannya menafkahi istri dan dua anaknya.
Tak ingin menyerah karena sepinya pembeli di Jalan Sumatera, laki-laki lulusan SMA itu mendorong gerobaknya menuju Jalan Braga. ”Di sana kan banyak tempat nongkrong. Semoga dagangan saya laku,” ujarnya. Sekali lagi, dia menantang maut, mendatangi kerumunan.
Berjarak sekitar 500 meter dari SMP Negeri 2 Kota Bandung, Jalan Kalimantan, di samping SMA Negeri 3 Kota Bandung juga sepi. Padahal, biasanya jalan ini macet saat siang hari karena keramaian siswa pulang sekolah.
Sebagian besar pedagang yang biasanya berjualan di sekitar jalan itu juga tutup. Hanya tersisa penjual ayam goreng serta pedagang makanan dan minuman ringan. ”Sepi sejak Senin (16/3/2020). Informasinya siswa diliburkan sampai dua minggu. Mudah-mudahan enggak diperpanjang,” ujar Yeni (38), pekerja di warung ayam goreng.
Sepi sejak Senin (16/3/2020). Informasinya siswa diliburkan sampai dua minggu. Mudah-mudahan enggak diperpanjang.
Siang itu, setelah enam jam berjualan, Yeni baru menjual 10 paket nasi ayam goreng seharga Rp 15.000 per porsi. Padahal, biasanya dia bisa menjual sekitar 50 paket pada waktu yang sama. Yeni sudah tujuh tahun berjualan di lokasi ini. Penjualan hari itu menjadi yang paling sepi, bahkan dibandingkan saat Ramadhan. Padahal, kali ini mudik tak sedang berlangsung.
Dia menyadari ancaman tertular Covid-19 dengan tetap berjualan di pinggir jalan. Ia juga mengetahui sudah ada warga Babakan Ciparay, Kota Bandung, yang positif terinfeksi penyakit tersebut. ”Saya mau tetap berusaha mencari rezeki. Semoga saja virus korona ini segera teratasi sehingga pembeli bisa ramai lagi,” ujarnya.
Di tengah sebagian masyarakat yang panik berbelanja makanan, Yeni justru tidak mau ambil pusing. Ia hanya berbelanja seperlunya, seperti hari biasanya. ”Saya belanjanya di pasar tradisional. Di sana enggak ada kepanikan. Lagi pula, kalau mau belanja banyak, uangnya dari mana?” ujarnya.
Baim (42), pedagang kebutuhan pokok di Pasar Kosambi, Bandung, mengatakan, situasi perdagangan di pasar itu masih normal pascamerebaknya Covid-19 di Indonesia. ”Situasi masih normal. Enggak ada kepanikan. Kalaupun ada yang belanja dalam jumlah besar, itu langganan dari rumah makan,” ucapnya.
Baca juga: Apindo Tangsel Ingatkan Industri Kecil dan Menengah Paling Terdampak Covid-19
Buntung tak berujung
Berjarak 130 kilometer dari Bandung, virus korona juga memukul perekonomian pekerja informal di Kota Cirebon, Jabar. Ketika sebagian orang memilih mengisolasi diri di rumah, mereka justru ke luar rumah demi sesuap nasi. Namun, bukan untung yang diraup, melainkan buntung yang rentan tak berujung.
Abdul Rohim (58), sopir angkot D2, terpaksa duduk di bawah pohon rimbun di sekitar Jalan Kesambi, Kota Cirebon, Jawa Barat, saat jam pulang sekolah, Selasa siang. Rohim bukan tidak mau mencari penumpang. Keadaan membuatnya tidak berdaya.
Penyebaran penyakit Covid-19 telah membuat Pemprov Jabar dan Pemkot Cirebon meliburkan kegiatan belajar mengajar di sekolah dan sejumlah universitas hingga dua pekan ke depan. Kepadatan siswa dan mahasiswa di jalan protokol pun tak lagi tampak. ”Perang” klakson tak terdengar. Halte sekolah sepi.
Dari pukul 06.00 hingga 14.00, bapak tiga anak ini baru mengantongi Rp 80.000. Sebanyak Rp 50.000 bahkan sudah dipakai mengisi bensin. Jangankan menyetor Rp 100.000 kepada pemilik angkot, uang makan saja ia tidak punya. Siang itu, ia berteman perutnya yang keroncongan.
”Padahal, biasanya sampai siang, saya dapat Rp 125.000. Itu sudah dipotong bensin,” katanya. Uang tersebut sebagian besar berasal dari siswa di sepanjang daerah Kesambi-Kedawung dan mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Baca juga: Mudah Menjaga Jarak di Tengah Merebaknya Wabah
Rohim bahkan berkelakar kepada si juragan, ”Enggak ada anak sekolah. Kalau bapak enggak percaya. Silakan bawa angkot sendiri. Saya enggak bohong.”
Mengapa tidak tinggal di rumah saja sekaligus menghindari penyebaran Covid-19? ”Kalau enggak narik, ya enggak ada uang. Emang Bapak mau ngasih uang?” kata Rohim yang berharap mendapatkan subsidi dari pemerintah ketika kondisi sulit seperti saat ini.
Akan tetapi, seperti rakyat kecil lainnya, Rohim tidak bisa apa-apa. Ia maklum dengan wabah Covid-19 yang menjadi pandemi dunia. Kalau enggak ada virus korona, Senin sampai Sabtu ada saja yang memintanya mengantar rombongan berwisata atau acara pengajian. ”Tetapi, semuanya batal,” ucapnya.
Kondisi tukang ojek dalam jaringan tidak jauh berbeda. Kecerdasan buatan aplikasi ojek daring belum mampu menolong. ”Saya cuma dapat satu penumpang. Padahal, biasanya kalau sudah pukul 12.00, ada lima penumpang. Paling banyak anak sekolah,” kata Hapip (23), pengojek daring, yang hari itu telah berkeliling lebih dari 10 km untuk cari penumpang.
Pria yang menjadikan ojek sebagai mata pencarian satu-satunya itu baru memperoleh Rp 10.000 setelah enam jam berkeliling. Dalam kondisi normal, ia bisa meraup sekitar Rp 100.000 sehari.
Kalau enggak narik, ya enggak ada uang. Emang Bapak mau ngasih uang?
Ahmad Muhidin (24), pengojek lainnya, juga hanya memandangi layar telepon pintarnya dan berharap ada penumpang. Hingga pukul 13.00, ia cuma menerima satu penumpang. Padahal, biasanya ia mampu melayani permintaan mengantar jemput hingga tujuh penumpang.
”Kalau PNS (pegawai negeri sipil) kerja dari rumah masih dapat gaji. Kalau saya, enggak keluar rumah mau makan dari mana?” kata Ahmad yang memilih keluar dari pekerjaan lamanya sebagai kurir untuk fokus menjadi pengemudi ojek daring sejak 2019.
Sebenarnya, Ahmad dan pengemudi ojek daring lainnya masih punya sumber pendapatan lain untuk mengantar makanan. Namun, katanya, menjelang akhir bulan, konsumen mulai mengurangi porsi belanja makanan dan minuman secara daring. Ahmad, misalnya, baru mendapatkan dua pesanan makanan setelah enam jam beroperasi.
Ia mengaku khawatir dan takut tertular penyakit Covid-19. Namun, Ahmad tak punya pilihan lain. ”Sejauh ini, kami diimbau menggunakan amplop saat menerima pembayaran tunai dari penumpang. Ini untuk mencegah virus korona,” ungkapnya.
Baca juga: Nasib Buruh di antara Korona dan ”Omnibus Law”
Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis mengatakan, keputusan meliburkan sekolah, sejumlah universitas, dan meminta warga bekerja di rumah merupakan yang terbaik saat ini. Apalagi, seorang pasien yang dirawat di RSD Gunung Jati, Kota Cirebon, terkonfirmasi positif Covid-19.
Pasien tersebut diketahui memiliki riwayat perjalanan di Kota Cirebon. Empat pasien lainnya dalam pengawasan terkait Covid-19. Sebagai kota transit dan strategis, Cirebon rentan menjadi jalur pertemuan banyak orang.
Pihaknya meminta jajarannya mengantisipasi dampak kebijakan itu. Namun, belum ada detail langkah antisipasi. ”Kalau ada persoalan, demo sopir angkot, saya akan berdiri paling depan. Setiap kebijakan pasti ada risiko. Kami ambil risiko paling kecil,” ungkapnya.