Puluhan Hotel di Sumbar Tutup karena Covid-19, Ribuan Pegawai Tanpa Pekerjaan
Jumlah karyawan hotel yang terancam dirumahkan semakin banyak. Bahkan, hampir semua pramuwisata di Sumbar tidak ada pekerjaan lagi.
Oleh
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Puluhan hotel di Sumatera Barat berhenti operasi akibat lesunya kunjungan karena pandemi Covid-19. Ratusan karyawan hotel pun terpaksa dirumahkan. Sementara itu, ratusan pramuwisata profesional di Sumbar juga kehilangan mata pencarian karena penutupan obyek wisata.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumbar Maulana Yusran, Selasa (7/4/2020), mengatakan, dari total 110 hotel anggota PHRI Sumbar, setidaknya ada 26 hotel yang berhenti beroperasi di Sumbar sejak pekan terakhir Maret-pekan pertama April 2020. Hotel-hotel itu tersebar di beberapa kabupaten/kota, yaitu sebagian besar di Padang, kemudian Bukittinggi, Tanah Datar, Padang Panjang, dan Kepulauan Mentawai.
”Mereka tutup karena kondisinya tidak lagi memungkinkan. Setiap hari kan harus menyubsidi terus. Sementara, okupansi sangat rendah, sekitar 9-10 persen. Hotel, kalau okupansi di bawah 40 persen, sebenarnya tidak bisa lagi jalan, tidak ideal,” kata Maulana.
Secara keseluruhan, ada sekitar 2.500 pegawai hotel di Sumbar yang dirumahkan. (Maulana)
Maulana melanjutkan, karena hotel berhenti beroperasi, para karyawan terpaksa dirumahkan untuk sementara. Ada yang dirumahkan tanpa digaji, ada pula yang dirumahkan dengan gaji separuh untuk beberapa bulan ke depan. Semuanya, tergantung kesepakatan hotel dan pegawai.
Meskipun ada hotel yang tetap buka, kondisinya tidak ideal. Hotel tidak buka penuh seperti biasanya. Akibatnya, pegawai harian juga terpaksa dirumahkan.
Sementara itu, pegawai tetap atau pegawai kontrak jam kerjanya dikurangi. Jika biasanya waktu kerja mereka 28 hari sebulan per orang, sekarang 14 hari. Gajinya berdasarkan berapa hari pegawai masuk kerja. ”Secara keseluruhan, ada sekitar 2.500 pegawai hotel di Sumbar yang dirumahkan,” ujar Maulana.
Kata Maulana, merosotnya kondisi industri perhotelan di Sumbar mulai terasa sejak ditemukan kasus positif awal Maret lalu. Seiring semakin banyaknya kasus positif dan pembatasan ruang gerak masyarakat, industri perhotelan semakin terpuruk. Apalagi para tamu hotel di Sumbar sepanjang tahun didominasi oleh orang yang melakukan perjalan bisnis, terutama pemerintah.
Ia pun berharap, ada relaksasi dan insentif dari pemerintah terhadap pegawai yang dirumahkan. Sebagian pegawai kemungkinan punya kredit kendaraan ataupun rumah. Karena penghasilan pegawai tersendat, PHRI Sumbar mengusulkan agar angsuran kredit itu ditunda dulu.
Selain itu, kata Maulana, relaksasi pajak dan insentif untuk hotel juga semestinya diberi pemerintah. Bentuknya bisa berupa pembebasan/penundaan pembayaran pajak bumi dan bangunan dan pajak penerangan. Sebab, kondisi hotel saat ini sangat sulit.
Sejauh ini belum ada relaksasi dan insentif dari pemerintah. Di daerah, memang ada wacana untuk membebaskan pajak retribusi hotel dan restoran beberapa bulan. Namun, hal itu tidak akan banyak berdampak ke pengusaha.
”Kalau pembebasan pajak retribusi, sih, tidak diberi pun tidak ada pengaruhnya karena sifatnya wajib pungut. Saat ini, hampir tidak ada tamu yang datang. Kami berharap PBB-nya dibebaskan atau diutangi dulu. Pajak penerangan jalannya juga. Selama ini kan pemerintah sudah menikmati pajak hotel dan restoran. Masa tidak bisa memberikan insentif dalam sektor pariwisatanya lagi sedang ada masalah seperti sekarang,” kata Maulana.
Dari 110 hotel anggota PHRI Sumbar, jumlah total kamarnya berkisar 4.000-5.000 kamar. Adapun jumlah pegawai tidak ada angka resmi. Namun, dengan penghitungan satu kamar satu pegawai, jumlah keseluruhan pegawai 4.000-5.000 orang.
Nasib pramuwisata
Tidak hanya pegawai hotel, kondisi serupa dialami pula oleh para pramuwisata di Sumbar. Sebanyak 326 pramuwisata anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Sumbar yang bersertifikasi muda dan madya terpaksa berhenti bekerja karena nyaris tidak ada kunjungan wisata. Angka itu belum termasuk pramuwisata yang tidak terdaftar sebagai anggota HPI Sumbar.
”Semua anggota dewan pengurus cabang HPI di Sumbar, yang jumlahnya 16 DPC, tidak ada kegiatan. Kami kehilangan pekerjaan sejak ada rekomendasi dari pemerintah agar masyarakat di rumah saja,” kata Ketua Dewan Pengurus Daerah HPI Sumbar Budiman, Selasa (7/4).
Menurut Budiman, pramuwisata merupakan garda terdapat dalam sektor pariwisata. Dengan adanya penutupan obyek wisata, pramuwisata merupakan pihak yang pertama kali terdampak. Pendapatan mereka bersumber dari paket wisata yang mereka dampingi. Budiman saja, misalnya, sejak Februari hingga pekan ketiga April 2020, kehilangan 17 paket tur karena dibatalkan.
Jika kondisi berlangsung lama, kondisi perekonomian pramuwisata bisa semakin terpuruk.
Pendapatan para pramuwisata terhenti sama sekali karena mereka tidak punya pekerjaan lain. Sebagai profesional, umumnya pramuwisata hanya menekuni satu pekerjaan.
Hampir dua bulan terakhir, pramuwisata hanya menggantungkan biaya hidup sehari-hari dari tabungan selama ini. Namun, jika kondisi berlangsung lama, kondisi perekonomian pramuwisata bisa semakin terpuruk.
”Karena tidak ada pemasukan, apalagi sebentar lagi masuk Ramadhan sehingga kebutuhan tinggi, kami berharap ada bantuan tunjangan sosial langsung yang bisa digunakan untuk keluarga di rumah. Misal, kalau ada bantuan sembako untuk kami, lumayan juga, ada manfaatnya langsung,” kata Budiman.
Meskipun Sumbar akan memberikan bantuan sembako bagi warga terdampak Covid-19, Budiman belum mendapat informasi apakah pramuwisata masuk dalam daftar penerima bantuan. Sejauh ini, belum ada pendataan terhadap anggota HPI Sumbar sebagai penerima bantuan.
Budiman melanjutkan, sebelum memang ada pendataan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Kementerian Ketenagakerjaan. Namun, Budiman kecewa karena yang diberikan adalah pelatihan daring bukan bantuan langsung. Menurut Budiman, pelatihan memang perlu untuk meningkatkan keterampilan pramuwisata. Akan tetapi, untuk saat ini, bantuan itu tidak tepat sasaran.
”Setelah dapat lamannya, ternyata pelatihan kerja daring. Kami berkesimpulan apa yang dilakukan pemerintah tidak tepat guna dalam kondisi saat ini. Saat ini yang dibutuhkan adalah adanya tunjangan sosial karena kami punya tanggung jawab terhadap keluarga,” ujarnya.