Penolakan pemakaman jenazah korban Covid-19 juga terjadi di Kota Pasuruan, Jawa Timur. Untuk meyakinkan, Pelaksana Tugas Wali Kota Pasuruan Raharto Teno Prasetyo bahkan mencium kening petugas penggali makam.
Oleh
DAHLIA IRAWATI/ YOLA SASTRA/ Abdullah Fikri Ashri
·3 menit baca
PASURUAN, KOMPAS — Penolakan pemakaman jenazah korban Covid-19 juga terjadi di Kota Pasuruan, Jawa Timur. Untuk meyakinkan warga bahwa pemakaman dilakukan dengan prosedur yang aman, Pelaksana Tugas Wali Kota Pasuruan Raharto Teno Prasetyo bahkan mencium kening petugas penggali makam di Tempat Pemakaman Umum Gadingrejo.
”Warga yang takut dan tidak paham diprovokasi oleh provokator. Namun, setelah diberi penjelasan dan saya yakinkan, mereka akhirnya mengerti dan menerima pemakaman jenazah tersebut,” kata Teno, Senin (13/4/2020).
Peristiwa penolakan warga terjadi pada Jumat (10/4/2020) malam. Warga berunjuk rasa menolak jenazah agar tidak dimakamkan di lokasi dekat mereka. Jenazah laki-laki berusia 62 tahun yang meninggal akibat Covid-19 itu berasal dari Jakarta dan memiliki istri di Pasuruan.
Proses pemakaman rampung pada Sabtu dini hari. Teno berharap, meski dalam situasi pandemi, masyarakat tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. ”Tetap junjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Agama kita mengajarkan kita harus memuliakan jenazah. Kita harus memakamkan jenazah dengan baik. Mari kita tempatkan kalau posisi jenazah itu adalah seperti kita atau keluarga kita,” ujarnya.
Di Padang, Sumatera Barat, penanganan Covid-19 oleh petugas paramedis terkendala keterbatasan alat pelindung diri (APD). Petugas kesehatan di sejumlah puskesmas terpaksa menggunakan jas hujan dalam pelayanan harian. Padahal, penggunaan APD lengkap sangat penting karena puskesmas merupakan tempat penapisan awal pasien Covid-19.
Di Puskesmas Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, misalnya, petugas pelayanan harian menggunakan jas hujan plastik sebagai baju pelindung. Mereka juga menggunakan masker dan sarung tangan ketika melayani masyarakat. Kepala Puskesmas Pasar Ambacang Weni Fitria Nazulis mengatakan, saat ini puskesmas memiliki stok APD dari bantuan Dinas Kesehatan Padang, swasta, dan masyarakat.
Namun, stok itu lebih diprioritaskan untuk merujuk pasien dalam pengawasan (PDP), menelusuri kontak dekat, memantau orang dalam pemantauan (ODP), mengawasi perbatasan, dan kebutuhan darurat lainnya. Jika digunakan untuk pelayanan harian, stok APD bisa habis dalam sehari.
Jas hujan sebenarnya tak sesuai standar pelayanan kesehatan. Namun, bagaimana lagi, cuma itu yang ada.
Menurut Weni, semakin meningkatnya kasus positif di Padang membuat puskesmas kian waspada dalam memberikan pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu, penggunaan baju pelindung harus diterapkan. Apalagi saat ini sudah banyak kasus penularan lokal dan beberapa di antaranya tanpa gejala. Bisa saja petugas tertular Covid-19 dari pasien yang berobat untuk penyakit lain.
Weni tidak dapat mengatakan bahwa penggunaan jas hujan sesuai dengan standar pelayanan kesehatan. Namun, penggunaan jas hujan setidaknya mengurangi risiko penularan Covid-19 melalui kontak fisik. Penggunaan jas hujan sebagai baju pelindung juga terjadi di Puskesmas Seberang Padang, Padang Selatan.
Kepala Puskesmas Seberang Padang Desy Susanty mengatakan, petugas pelayanan harian di bagian depan, seperti di loket pendaftaran, menggunakan jas hujan sebagai baju pelindung. Jas hujan digunakan karena stok APD terbatas. ”Jas hujan sebenarnya tak sesuai standar pelayanan kesehatan. Namun, bagaimana lagi, cuma itu yang ada,” kata Desy.