Penolakan masyarakat membuat perawat dari RS Siloam Sriwijaya Palembang Trauma. Hal ini sangat disayangkan mengingat petugas kesehatan adalah garda terdepan dalam penanganan Covid-19.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Penolakan terhadap enam perawat RS Siloam Sriwijaya Palembang menimbulkan trauma. Mereka tidak mau pulang ke rumahnya lagi dan memilih tetap tinggal di rumah sakit. Penolakan ini sangat disayangkan semua pihak karena bisa menimbulkan stigma negatif bagi tenaga medis.
Direktur RS Siloam Sriwijaya Palembang Bona Fernando menyayangkan sikap masyarakat yang menolak keenam perawatnya yang sebenarnya tidak bersentuhan langsung dengan pasien Covid-19. ”Ada tim khusus yang menangani pasien Covid-19 dengan bangsal yang khusus. Untuk mereka memang tidak diperbolehkan pulang,” ujar Bona.
Adapun keenam perawat yang ditolak oleh warga itu adalah perawat umum yang tidak bersentuhan langsung dengan pasien Covid-19. RS Siloam Sriwijaya sendiri tidak akan mengizinkan tenaga medis yang bersentuhan langsung dengan pasien Covid-19 atau yang positif untuk pulang. ”Itu sudah menjadi standar operasional prosedur dari rumah sakit,” kata Bona menegaskan.
Penolakan terjadi pada Sabtu (18/4/2020). Saat itu, enam perawat RS Siloam Sriwijaya pulang ke kosnya yang berada di Kelurahan Sungai Pangeran, Kecamatan Ilir Timur I. Sejumlah warga mendesak agar para perawat tidak keluar kos. Kalaupun tetap memaksa untuk keluar dari rumah kos itu, jangan pernah kembali ke tempat kos. Hal itu dilakukan warga karena mereka menduga ada perawat yang positif Covid-19.
Padahal, ujar Bona, tidak ada satupun dari mereka yang positif Covid-19. ”Jangankan positif Covid-19, mereka juga tidak bersentuhan dengan pasien Covid-19,” kata Bona. Pihaknya sangat menyayangkan sikap oknum warga yang berlaku demikian.
Penolakan itu telah berdampak pada munculnya rasa trauma petugas medis.
Penolakan itu telah berdampak pada munculnya rasa trauma petugas medis. Namun, lanjut Bona, perwakilan pemerintah dari pihak kecamatan dan kelurahan sudah datang ke RS dan meminta maaf atas peristiwa tersebut. ”Mereka juga menjamin hal serupa tidak akan terulang lagi,” kata Bona.
Bona mengatakan, di RS Siloam Sriwijaya terdapat tim khusus yang menangani Covid-19 yang beranggota 24 tenaga medis. Mereka terdiri dari dokter dan perawat. Mereka tinggal di RS dan tidak diperbolehkan pulang selama masih menangani pasien. Adapun perawat atau tenaga medis yang pulang dipastikan aman dari Covid-19. ”Kami berharap kejadian ini tidak terulang lagi,” katanya.
Adapun Sekretaris Daerah Kota Palembang Ratu Dewa mengungkapkan, kejadian ini merupakan kesalahpahaman. Dia menjamin bahwa pemerintah kota akan tetap melindungi tenaga medis yang sudah berperan besar menjadi garda terdepan dalam penanganan Covid-19. ”Kami sangat mengapresiasi perjuangan dari para tenaga medis,” ucapnya.
Pemerintah Kota Palembang juga sudah berkoordinasi dengan pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk menyiapkan ruang khusus bagi tenaga medis agar mereka dapat nyaman bekerja. ”Kami sudah siapkan anggaran, termasuk dana insentif untuk tenaga medis yang menangani kasus Covid-19 di Palembang,” kata Ratu.
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan sudah menyiapkan Wisma Atlet Jakabaring dan Hotel Swarna Dwipa Palembang bagi tenaga medis yang menangani pasien Covid-19. Sekretaris Gugus Tugas Unit Rumah Sehat Aufa Syahrizal mengungkapkan, Wisma Atlet Jakabaring, Palembang, yang digunakan sebagai tempat tinggal sementara tenaga medis yang menangani kasus Covid-19 berbeda dengan rumah sehat untuk orang dalam pemantauan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP).
Sampai saat ini, ada 19 tenaga medis dari RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang yang tinggal di Wisma Atlet. ”Kami tetap terbuka untuk manajemen rumah sakit lain yang ingin menitipkan tenaga medisnya di sini,” ujarnya. Dia menjamin semua fasilitas diberikan, mulai dari transportasi hingga makanan. ”Ada satu bus yang disediakan untuk antar-jemput dan makanan gratis bagi tenaga medis,” katanya.
Aufa menyayangkan sikap masyarakat yang menolak tenaga medis di lingkungan tempat tinggal mereka. ”Mereka (tenaga medis) yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan manusia. Masa kita tolak mereka,” ujar Aufa. Seharusnya, masyarakat juga berperan untuk mendukung tenaga medis, bukan malah menolaknya.
Dirawat
Aufa mengatakan, memang ada tenaga medis yang saat ini tengah dirawat di rumah sehat karena masuk dalam golongan ODP. Dari 24 orang yang dirawat di rumah sehat, 13 di antaranya adalah tenaga medis. ”Mereka yang tinggal di rumah sehat adalah orang yang dikhawatirkan terpapar Covid-19 walau belum tekonfirmasi,” kata Aufa.
Catatan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sumsel, dari tiga orang yang meninggal dunia positif covid-19 di Sumsel, dua di antaranya adalah tenaga medis.
Setiap tenaga medis yang masih bertugas dalam kondisi sehat.
Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan Yusri menerangkan, dari 89 orang di Sumsel yang terkonfirmasi positif Covid-19, memang ada yang berprofesi sebagai tenaga medis. Perlakuan terhadap mereka sama dengan pasien positif Covid-19 lainnya. Mereka harus tetap tinggal di rumah atau dirawat di rumah sakit.
Yusri menyayangkan munculnya stigma negatif bagi tenaga medis yang berdampak pada ketakutan masyarakat datang ke rumah sakit. Yusri menjamin, setiap tenaga medis yang masih bertugas dalam kondisi sehat. Kalau dalam kondisi tidak sehat, tentu akan diistirahatkan.