Kisah Nenek 78 Tahun Asal Ambon yang Berhasil Taklukkan Korona
Lebrien Gaspersz Tamtelahitu, seorang nenek berusia 78 tahun asal Ambon, Maluku, berhasil melewati tantangan terberat dalam hidupnya. Ia sembuh dari Covid-19 setelah dirawat 18 hari.
Oleh
FRANS PATI HERIN
·5 menit baca
Lebrien Gaspersz Tamtelahitu berhasil melewati tantangan terberat dalam hidupnya. Ia lolos dari serangan virus korona baru penyebab Covid-19 yang telah menginfeksi lebih dari 2 juta orang dan menewaskan lebih dari 180.000 jiwa di seluruh dunia dalam lima bulan terakhir. Nenek berusia 78 tahun itu sembuh setelah dirawat selama 18 hari.
Lebrien mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada, memberi salam saat Kompas menyambangi kediamannya di Kelurahan Batu Meja, Kota Ambon, Maluku, Kamis (23/4/2020) siang
Matanya berbinar dengan pipi dan alis terangkat, pertanda ia melepas senyum lebar dari balik masker yang menutupi mulut dan sebagian hidungnya itu. Senyum riang itu barangkali sebagai ekspresi kegembiraan hati atas kondisi dirinya yang kini telah pulih dari penyakit berbahaya tersebut.
Kalau diminta nyanyi, sekarang sudah bisa.
Ia menyapa dengan suara lantang. Tak ada serak atau bunyi batuk. Napasnya pun mengalir lancar. ”Kalau diminta nyanyi, sekarang sudah bisa,” ujarnya melempar canda.
Kondisi normal ini sudah ia lalui lima hari terakhir setelah diperbolehkan pulang oleh dokter Rumah Sakit Umum Daerah dr Haulussy, Ambon, pada 18 April lalu. Dua kali hasil pemeriksaan swab (usap tenggorokan) menunjukkan, virus korona dalam tubuhnya telah hilang.
Kegembiraan Lebrien itu didapat setelah melewati tekanan yang tidak mudah semenjak terserang virus. Perjalanan dua kali Ambon ke Makassar, Sulawesi Selatan, pada Maret lalu untuk urusan pribadi yang tak bisa diwakilkan, membuatnya terpapar virus tersebut. Ia meyakini, virus hinggap di tubuhnya saat dalam perjalanan karena keluarga di Makassar tak ada yang memiliki riwayat terinfeksi korona.
Tiba di Ambon pada 27 Maret, ia merasa demam, batuk, hidung mampet, dan napasnya tak lancar. Ia lalu berinisiatif memeriksakan diri ke dokter. Pada 31 Maret, ia dijemput petugas medis untuk menjalani rawat inap di Rumah Sakit TNI AD dr Latumeten. Dari gejala penyakit dan riwayat perjalanan, ia dinyatakan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP). Swab-nya diambil untuk dikirim ke Jakarta keesokan harinya.
Kabar perawatan Lebrien seketika menyebar ke seantero Maluku melalui media sosial dan aplikasi percakapan. Ia merupakan warga Maluku pertama yang menyandang status PDP. Kompleks tempat tinggal Lebrien pun menjadi perbincangan. Perbincangan itu seputar potensi transmisi lokal, mengingat Lebrien sempat berada di rumah beberapa hari. Banyak tetangga dan kerabat, yang pernah bersentuhan dengan keluarga Lebrien, panik.
Keesokan pagi, salah satu media daring di Maluku memberitakan bahwa Lebrien meninggal. Dalam artikel itu disebutkan ini sebagai kasus meninggalnya PDP pertama di Maluku. Tautan artikel itu beredar melalui aplikasi percakapan media sosial. Seketika, semakin banyak orang yang panik. Beberapa jam kemudian, media itu mencabut artikel dimaksud dan meminta maaf. Media tersebut menulis kabar tidak benar.
Sebelum hasil tes swab diumumkan, Lebrien dan keluarga merasa tertekan oleh isu ataupun pemberitaan media yang dianggap mendiskreditkan mereka. Mereka seolah dianggap membawa aib besar. ”Waktu itu saya minta keluarga untuk tidak perlu baca berita dari media yang tidak jelas. Stop dulu menonton televisi,” ujar Hengky Tamtelahitu (46), anak Lebrien.
Pada 31 Maret, setelah mengantar Lebrien ke rumah sakit, keluarga tidak diperkenankan mendampingi. Lebrien pun melewati hari-hari bersama petugas medis yang tidak dia kenal lantaran berpakaian ala astronot.
Selebihnya, ia sendiri. Dalam kesendirian itu, ia lebih sering berdoa dan membaca Alkitab. Ia ingin menyiapkan batinnya sebelum pengumuman hasil tes swab oleh pihak Laboratorium Kementerian Kesehatan di Jakarta.
Pada 7 April, hasil tes diumumkan dan Lebrien dinyatakan positif menderita Covid-19. Seorang dokter datang menyampaikan hasil itu. Lebrien pun sempat menangis.
Ia menangis karena kembali mengingat tayangan televisi yang ia tonton sebelum opname. Tayangan tersebut tentang rentetan meninggalnya pasien Covid-19 di Italia yang sebagian besar para lanjut usia. ”Sementara usia saya sudah lanjut. Saya pasrah saja,” ujarnya.
Setelah pengumuman itu, ia dipindahkan ke RSUD dr Haulussy, Ambon. Sepanjang perjalanan di dalam ambulans, ia merasa seakan sedang berjalan menuju zona kematian. Ia bahkan sudah membayangkan kondisi terburuk yang akan dilewati. Ia lalu menelepon anak-anak dan cucu-cucunya untuk sekadar mendengar suara mereka. ”Saya pakai handphone lama, jadi tidak bisa video call,” ujarnya.
Saya memikirkan hal-hal yang bikin hati saya senang. Kadang saya menyanyi sendiri.
Lebrien semakin tertekan saat mendengar bahwa kedua anak, kedua cucu, serta anak menantunya juga harus diisolasi dan diperiksa swab-nya. Mereka dianggap orang yang berisiko tertular dari Lebrien. Setelah diperiksa, hasilnya negatif. Meski begitu, mereka masih tetap diisolasi pada 7-21 April.
Titik balik
Telepon yang datang dari keluarga, kerabat, dan pihak gereja untuk sekadar menanyakan kabar menjadi penguat bagi Lebrien. Beberapa dari mereka bahkan mengantarkan makanan untuk dirinya. ”Dari situ saya mulai bertekad untuk melawan penyakit. Saya memikirkan hal-hal yang bikin hati saya senang. Kadang saya menyanyi sendiri,” katanya mengenang.
Menurut dia, makanan yang diberikan pihak rumah sakit juga standar. Nasi, ikan, dan buah. Ia sendiri tidak tahu obat yang diberikan petugas medis. ”Menurut (petugas) medis, saya cepat pulih karena saya bisa kembali riang dan saya juga tidak punya penyakit bawaan. Selama hidup saya, saya baru pertama kali ini diopname,” tuturnya.
Hengky menambahkan, kesembuhan ibunya itu berkat motivasi dari keluarga, kerabat, dan pihak Gereja Protestan Maluku. Setiap hari, mereka meneleponnya tiga kali. Kesembuhan Lebrien adalah berkat kemenangan pikiran dari kesedihan menjadi kegembiraan, ketakutan menjadi keberanian, dan putus asa menjadi optimistis. ”Akhirnya, ibu kami bisa merayakan ulang tahunnya ke-78 pada 21 April lalu,” kata Hengky.
Tidak hanya lolos dari korona, Lebrien yang melewati masa kecil hingga dewasa di Makassar juga mengalami sejumlah masa sulit dalam hidupnya saat terjadi pergolakan dalam negeri setelah era kemerdekaan. Setelah pindah ke Ambon, ia juga ikut menjadi korban konflik sosial sekitar 20 tahun silam.
Sekretaris Daerah Maluku Kasrul Selang mengatakan, kesembuhan Lebrien memberikan harapan bagi semua pasien bahwa mereka juga mempunyai peluang untuk sembuh. Meski berusia lanjut, Lebrien bisa melewati tantangan terberat dalam hidupnya itu. Ia bukan sekadar pembawa harapan, ia adalah pemenang kehidupan.