Sisa Jalan Setapak Menuju Mondoliko
Dengan segala upaya daya yang ada, warga Bedono, Sayung, Demak, Jawa Tengah, berharap bisa terbebas dari rob yang terus mendera, juga agar Bedono tak terhapus dari peta.
Lebih dari satu dekade, warga Dukuh Mondoliko, Desa Bedono, Sayung, Demak, Jawa Tengah, hidup bak di pulau terpencil. Mereka bergantung pada jalan cor beton sempit untuk beraktivitas. Abrasi dan limpasan air laut juga terus mengikis permukiman. Padahal, jarak Mondoliko hanya sekitar 8 kilometer dari Semarang, ibu kota Jateng.
Di bawah gapura sederhana Dukuh Mondoliko, Safuan (52) duduk mengamati sepeda motor yang berkarat pada mesin, knalpot, dan peleknya. Ia lalu bangkit dan menjejak pedal starter. Berkali-kali pedal dijejak, mesin tak kunjung nyala.
”Ya, seperti inilah kalau tinggal di dekat laut. Saat air pasang, sepeda motor ikut tenggelam. Karena keseringan dan sudah biasa, akhirnya banyak karatnya dan sering mogok. Hampir setiap hari air naik sampai 30 sentimeter,” kata Safuan, Selasa (10/3/2020) siang.
Baca juga: Dua Sisi Pandemi Covid-19
Mondoliko merupakan satu dari lima dukuh yang tersisa di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Sebelumnya, ada juga Dukuh Tambaksari dan Rejosari Senik, tetapi tenggelam karena tanah terus ambles dan air laut yang tak berhenti menyergap.
Dukuh-dukuh di Desa Bedono awalnya terhubung jalan, yang jika ditarik lurus memanjang sekitar 1,5 kilometer. Namun, sekitar tahun 2000, jalan itu terputus. Dari lima dukuh yang ada saat ini, aksesibilitas menuju Dukuh Mondoliko paling memprihatinkan.
Jalan utama sudah lama terputus. Tenggelam.
Hanya berjarak sekitar 8 km dari perbatasan Kota Semarang, ibu kota Jawa Tengah, Dukuh Mondoliko kini ibarat pulau terpencil yang dikelilingi rimbunnya tumbuhan mangrove. Satu-satunya akses jalur darat menuju dukuh tersebut ialah melalui wilayah Desa Sidogemah, Sayung.
Setelah menyeberangi jembatan apung darurat yang terbuat dari bambu, jalan masuk ke Mondoliko sepenuhnya jalan berupa cor beton yang lebarnya kurang dari 2 meter. Bahkan, sejumlah ruas ambrol dan menyisakan kurang dari 1 meter. Adapun di kanan-kirinya perairan. Dikelilingi mangrove, masuk ke Mondoliko seperti masuk ke hutan.
”Memang seperti pulau sendiri. Cor beton itu jalan satu-satunya. Sebenarnya itu jalan sawah yang kemudian dilebarkan. Jalan utama sudah lama terputus. Tenggelam,” kata Safuan.
Dukuh Mondoliko yang termasuk dalam wilayah RW 002 dihuni sekitar 100 keluarga. Sebelumnya jauh lebih banyak. Satu per satu mereka pindah. ”Yang belum pindah, ya, karena tidak ada biaya. Bingung mau ke mana,” kata Ketua RW 002 Sukiyo (62).
Baca juga: Petani Sulut Enggan Tergantung Pada Kopra
Tinggal cerita
Desa Bedono awalnya berupa permukiman dengan hamparan tambak, sawah, dan deretan pohon kelapa. Perekonomian warga ditopang oleh itu semua. Namun, berbagai sumber penghidupan warga kini tinggal cerita.
”Waktu saya kecil, di sini loh jinawi. Tambak, padi, palawija, dan pohon kelapa, ada semua. Sangat melimpah. Namun, kini sudah tenggelam,” kata Suwito (56), warga Mondoliko lainnya.
Suwito, pembuat barang kerajinan dari kayu, serta warga lainnya kini bahkan hidup dalam ancaman. Selain permukaan tanah yang terus turun, rob atau limpasan air laut bisa datang kapan saja. Terkadang ia harus menunda bepergian saat air sedang meninggi.
Baca juga: Sebelum ”Badai” di Wakatobi
Warga yang masih bertahan, terutama yang bukan nelayan, bukannya tak mau pindah. ”Pindahnya ke mana? Tak ada uang. Ikut ke anak enggak enak, ya, sudah di sini saja. Saya dengar ada pilihan (direlokasi), tetapi ke Kalimantan. Ya, berat juga,” kata Sukiyo. Sekretaris Desa Bedono, Aslor, mengatakan, air pasang mulai terasa meninggi pada 1995, yang membuat wilayah desa terus tenggelam. Pada 1999-2000, sekitar 66 keluarga di Dukuh Tambaksari direlokasi. Pada 2006-2007 giliran 205 keluarga di Dukuh Rejosari Senik direlokasi.
Sejak dulu, tambak merupakan mata pencarian utama warga Bedono. Namun, karena air laut terus masuk, tambak hilang semua karena airnya asin. Abrasi membuat perekonomian warga terdampak. Selain itu, aksesibilitas juga menjadi sangat terbatas.
Kini, Dukuh Mondoliko dan Dukuh Bedono terpisah dari balai desa atau pusat desa karena jalan penghubung, yang dulu disebut jalan kabupaten, tenggelam. Kala masih tersambung, dari Dukuh Bedono ke balai desa jaraknya 1,5 km. Sekarang jaraknya lebih dari 7 km karena harus memutar lewat jalan di pantai utara Jawa. ”Warga kesusahan kalau mau urus surat-menyurat,” kata Aslor.
Kini mayoritas warga Bedono bermata pencarian buruh dan nelayan. Enggan pasrah pada keadaan, sejumlah warga sejak 2016 membudidayakan kerang hijau. Ada pula upaya menggerakkan perekonomian lewat pemanfaatan mangrove untuk wisata bahari. Di Bedono juga ada makam ”apung” Syekh Muzakir yang pada waktu tertentu banyak dikunjungi peziarah.
Kini, Bedono menjadi salah satu desa yang paling banyak menjadi tempat penanaman mangrove. ”Hampir setiap bulan ada, dari berbagai instansi, juga, mahasiswa. Selain itu, peninggian jalan terus diperlukan karena jalan sering terendam,” kata Aslor.
Terus turun
Hasil pemantauan tim Departemen Oseanografi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Diponegoro, laju penurunan tanah di pantai utara di Kecamatan Sayung, Demak, dalam dekade terakhir berkisar 5-10 cm per tahun. Garis pantai mundur sekitar 1,7 kilometer (km), bahkan yang terjauh mencapai 5,2 km.
Guru Besar Bidang Oseanografi FPIK Undip Denny Nugroho Sugianto mengatakan, kondisi lapisan tanah berupa aluvial menjadi salah satu penyebab penurunan muka tanah di Demak. Perubahan volume lapisan membuat degradasi fisik tanah semakin cepat.
Selain itu, penggunaan air tanah juga berlebihan dan fenomena kenaikan muka air laut rata-rata juga turut memicu. ”Disertai gelombang pasang yang besar, kerusakan pantai menjadi lebih cepat,” kata Denny. Menurut dia, kenaikan muka air laut sebenarnya terbilang kecil, yakni 8 mm per tahun. Namun, pemanasan global turut berkontribusi pada kerusakan pesisir.
Oleh sebab itu, upaya rehabilitasi ekosistem pesisir perlu terus dilakukan, termasuk dengan penanaman mangrove. Tanaman ini diyakini memberikan banyak manfaat. ”Akar mangrove akan menjebak sedimentasi sehingga akan terkumpul di situ. Mangrove juga menjadi tempat ikan berpijah, bertelur, dan berlindung sehingga ada ekosistem penyeimbang di pantai,” ujar Denny.
Selain mangrove, sejumlah upaya telah dilakukan pemerintah bersama berbagai instansi untuk menekan abrasi. Salah satunya dengan rekayasa struktur dengan buise beton guna memecah ombak. Namun, tak kalah penting adalah pemberdayaan warga.
Dengan segala upaya daya yang ada, yang jelas kini warga Bedono, termasuk Mondoliko, berharap bisa terbebas dari rob yang terus mendera, juga agar Bedono tak terhapus dari peta.