Gangguan distribusi seiring pembatasan sosial akibat pandemi melemahkan permintaan sejumlah komoditas pangan di tingkat petani, peternak, dan nelayan. Para produsen pangan terimpit oleh situasi.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
When lockdown was announced, none of us rushed to buy gold, land, cars, or expensive phones. But, all of us rushed to buy fruits, vegetables, bread, and milk. Farmers are the soul of our planet. Respect.
Meme dengan kalimat itu viral di awal pandemi Covid-19. Bernada satire. Namun, seperti di banyak kota lain di dunia, kepanikan terjadi di pusat-pusat perbelanjaan dan pasar di sejumlah kota di Tanah Air, hanya beberapa jam setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020.
Warga memburu bahan pangan, seperti beras, gula, buah, dan sayur guna mengamankan stok makanan. Permintaan sejumlah komoditas itu melonjak. Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri selaku Satgas Pangan, pada 16 Maret 2020, bahkan mengeluarkan surat edaran yang meminta sejumlah asosiasi ritel membatasi pembelian beberapa bahan pangan, seperti beras, gula, minyak goreng, dan mi instan, untuk kepentingan pribadi.
Pembatasan ditempuh untuk menjamin bahan pokok penting dan komoditas pangan lain tetap tersedia di pasaran. Langkah itu juga diharapkan meredam kepanikan warga serta menghindari risiko penimbunan bahan pangan di tengah pandemi.
Akan tetapi, ketika suasana di hilir diliputi kepanikan dan lonjakan harga, pada saat yang sama para produsen pangan mendapati situasi yang kontradiktif. Kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, peternak, pekebun, serta petani tanaman pangan, menurut data BPS, ”kompak” turun pada Maret 2020. Nilai tukar petani (NTP), salah satu indikator kesejahteraan petani, turun dari 104,16 pada Januari 2020 menjadi 103,35 pada Februari dan 102,09 pada Maret.
Anjloknya harga gabah, jagung, ikan, serta telur, dan daging ayam di tingkat petani atau peternak saat pandemi bisa jadi indikasi NTP bakal turun lagi pada April 2020. Situasinya kontras dengan niat menjaga ketahanan pangan di tengah pandemi.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengingatkan soal potensi krisis pangan dunia akibat disrupsi pada produksi dan rantai pasok pangan global akibat pandemi Covid-19. Sejumlah negara produsen bahkan mulai menghentikan ekspor demi mengamankan stok pangan di dalam negerinya.
FAO merekomendasikan kebijakan aliran dana untuk menyokong produksi pertanian dan menjaga rantai pasok. Bersamaan dengan itu, pemerintah mesti menjamin perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan, salah satunya melalui perluasan jaring pengaman sosial. Kelompok yang berisiko itu mencakup produsen pangan skala kecil, buruh tani, buruh yang terlibat dalam rantai nilai pangan, serta nelayan dan komunitas perikanan yang rentan.
Terkait pandemi Covid-19, pemerintah berencana memberikan insentif berupa bantuan langsung tunai dan sarana produksi untuk mendorong petani menanam lagi seusai panen. Ada 2,44 juta petani berkategori miskin yang akan jadi sasaran insentif Rp 600.000 per bulan selama April-Juni 2020. Insentif akan diberikan tunai Rp 300.000 dan sisanya berupa sarana produksi seperti bibit dan pupuk.
Akan tetapi, seperti selama ini, bantuan sarana produksi, seperti bibit, pupuk, atau alat produksi, kerap tak sesuai harapan ketika sampai di tangan petani. Soal mutu, ketepatan waktu, dan jumlah masih sering dikeluhkan petani. Oleh karena itu, bagi petani, tidak ada insentif yang lebih baik dari harga jual hasil panen yang layak.
Ketika harga jual hasil panen menguntungkan, petani akan terdorong untuk meningkatkan mutu dan kuantitas produksi. Tanpa instruksi, imbauan, atau bantuan dari pemerintah. Sebaliknya, jika mereka berulang rugi karena harga jual serba tak pasti, cepat atau lambat petani akan beralih menanam komoditas lain.
Pada bulan ini, petani sejumlah komoditas memasuki panen raya, seperti padi, jagung, dan tebu. Para peternak ayam juga umumnya berproduksi untuk mengejar ”panen permintaan” bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri.
Kini waktunya memastikan petani, peternak, dan nelayan mendapatkan harga yang layak demi kelangsungan usahanya sekaligus menjamin produksi pangan pada masa depan. Kesejahteraan petani, pembudidaya ikan, nelayan, pekebun, dan peternak adalah kunci mengejar kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan.