Geliat Kota Bandung: Karena Pandemi Tak Datang Sekali…
Ancaman Covid-19 tampaknya belum terburu-buru pergi. Segala bentuk adaptasi sudah semestinya disiapkan sejak dini karena pandemi tak akan datang sekali ini
Oleh
Cornelius Helmy/Melati Mewangi
·5 menit baca
Ancaman Covid-19 tampaknya belum terburu-buru pergi. Segala bentuk adaptasi sudah semestinya disiapkan sejak dini karena pandemi tak akan datang sekali ini. Alunan mendayu lagu ”Hallo Bandoeng” (1929) milik Willy Derby terdengar nyaring menemani Muhammad Anugrah (31) membuka tur rute Gedung Sate en Omstreken, Minggu (3/5/2020) sore.
Ada 12 peserta yang diajak untuk merasakan tur masa jaya Bandung sebelum tahun 1930-an yang digelar Bandung Good Guide. Seperti lagu merindu dalam ”Hallo Bandoeng”, para peserta kangen menyapa indahnya Bandung. Anugerah atau biasa disapa Egar membawa peserta tur mengunjungi gedung Kodiklat yang pernah jadi saksi kemeriahan festival bursa tahunan Jaarbeurs, rumah kentang, Gereja St Albanus, Riaustraat, Gedung Pos Banda, dan Heritage Factory Outlet.
Bangunan bergaya arsitektur Eropa masih kental dijumpai saat menyusuri jalanan sekitar Gedung Sate. Akan tetapi, perjalanan kali ini tidak biasa. Egar tak hadir langsung bersama para pesertanya. Pandemi Covid-19 membuat perjumpaan mereka dilakukan virtual. Jembatannya, aplikasi percakapan Cisco Webex dan Google Maps.
”Metode ini sangat menantang. Saya harus jeli mendeskripsikan suatu gedung dan jejak peninggalan secara detail. Alur juga harus dibangun hati-hati agar tetap menarik dan tidak membosankan,” katanya. Baru berdiri pada Februari 2020, pandemi Covid-19 memukul langkah kreatif yang baru dimulai Bandung Good Guide. Rasanya menyakitkan meski memberikan banyak pelajaran.
Tak mau diam, bersama dua pendiri Bandung Good Guide lainnya, Egar menata langkah. Wisata virtual jadi pilihan. Tak ada tarif khusus. Peserta tur membayar dengan prinsip pay as you wish alias terserah Anda. Sambutan saat dibuka awal April 2020 menjanjikan. Peminat Gedung Sate en Omstreken jilid perdana mencapai 116 orang.
Namun, karena hanya ada tiga pemandu, pesertanya dibatasi 60 orang. ”Kami berpikirnya tidak hanya bertahan, tetapi juga memberi ruang untuk belajar hal yang baru. Semoga bisa menjadi bekal di kemudian hari,” kata Egar.
Pandemi tak pandang bulu. Bagi pelaku usaha senior, seperti Komarudin Kudiya (52), kehadiran Covid-19 tetap memberikan tantangan baru. Enggan putus arang, Komar menyikapinya lewat pameran batik virtual di sanggarnya di Bandung. ”Kreativitas diuji untuk tetap menghadapi ragam tantangan yang tak mudah,” katanya.
Di edisi perdana, 24-30 April 2020, Komar memanggungkan batik Megamendung khas Cirebon. Ratusan kain beragam corak dan warna dipamerkan. Ada yang digantung dalam pajangan khusus. Sebagian berupa baju diperagakan manekin. Suasana mirip pameran konvensional minus penonton. Namun, kali ini, penikmat batik hanya menikmatinya melalui Instagram, Facebook, hingga grup Whatsapp.
Respons pencinta batik positif meski belum seramai pameran konvensional. Ada kerinduan saat tak dapat merasakan halus kain batik. Saat perjalanan dibatasi, pembelian kain batik sementara bukan jadi prioritas. Namun, penjualan 15 potong batik senilai Rp 20 juta tetap disyukuri. Komar yakin tengah menapak jalan benar di era baru.
Warna-warni batik akan tetap hidup apabila para perajinnya tak berhenti berusaha.
”Kami tengah menyiapkan pameran virtual berikutnya, temanya seperti shibori batik, buketan, pagi-sore, hingga batik tiga negeri,” katanya. Komar berharap hal ini bisa menjadi alternatif model usaha baru, setidaknya bagi dia yang memiliki 250 pekerja. Sejak akhir Maret, mayoritas sudah dirumahkan dengan kompensasi Rp 25.000 per orang per hari. Sekarang yang bekerja tinggal mereka yang berstatus bulanan dan tenaga administrasi 20 orang.
”Pegawai bagian produksi sudah kami pulangkan ke Cirebon, Pekalongan, dan Banyumas,” katanya. Komar, yang juga Ketua Umum Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia, menerima banyak laporan dari pengurus dan anggota di daerah. Kondisinya sama-sama terpuruk dan merasakan kesulitan berat. Namun, Komar menyatakan, kini bukan saatnya mengeluh.
Dia yakin, seperti ribuan ragam motif batik, inovasi adalah kunci. Perajin batik harus kuat dan siap berkawan perubahan. ”Penjualan secara daring jadi satu keharusan. Warna-warni batik akan tetap hidup apabila para perajinnya tak berhenti berusaha,” ujarnya.
Kreasi tak mati
Pekerja seni Cimahi juga tak ingin mati kreasi. Tergabung dalam Masyarakat Teater Cimahi (Masteci), mereka menggelar Festival Monolog Se-Bandung Raya untuk pertama kalinya. Namun, pertunjukan tidak digelar di atas panggung. Pentas dilakukan di kamar tidur hingga ruang tamu secara daring. Baru dilakukan sekali, 34 peserta ikut serta. Jumlahnya bisa lebih banyak jika peserta dari luar daerah diizinkan ikut.
”Setelah kurasi 7-9 Mei, enam peserta akan melaju ke babak final pada 17-19 Mei. Tiga terbaik akan mendapat uang pembinaan dan sertifikat. Harapannya jadi semangat saat pandemi,” kata Ketua Masteci Ricky Angga Maulana. Ketua Dewan Kebudayaan Kota Cimahi Hermana HMT mengatakan, pandemi Covid-19 merontokkan roda kehidupan pelaku seni di daerah. Tidak hanya kreasi, tetapi juga kehidupan ekonominya.
Akan tetapi, meratapi keadaan bukan pilihan. Cara kreatif terus dilakukan meski semua serba terbatas. ”Kami menyikapinya dengan program Berkarya Tanpa Batas, Berdaya Berbudaya sepanjang Mei-Juli 2020,” katanya. Kegiatannya beragam. Selain monolog, digelar juga festival tutorial pelatihan seni dan festival menggambar. Ada juga pelatihan membuat video penampilan karya bagi seniman yang belum terbiasa tampil dalam format daring.
Hermana mengatakan, ada atau tidak ada bantuan, dirinya dan kawan-kawannya tak akan mundur. Semua dilakukan sebagai adaptasi menghadapi kemungkinan pandemi lain. ”Pandemi seperti ini tidak datang sekali. Jika tak disikapi, hanya akan terus mendatangkan muram bagi manusia dan kehidupannya,” katanya.
Senja juga yang memisahkan tur virtual menapaki Gedung Sate dan di sekitarnya. Egar menjanjikan masih ada sejumlah tema khas Bandung yang akan ditawarkan, mulai dari Urban Legend, Petite Story of Soekarno, hingga Bandung Stad Centrum. ”Kami terbuka berkolaborasi dengan beragam pihak untuk terus berkarya di tengah pandemi. Semoga semuanya jadi modal baik untuk membangkitkan gairah wisata di tengah keterbatasan,” kata Egar penuh harap.
Harapannya mirip dengan kerinduan nenek pada anak dan cucunya dalam ”Hallo Bandoeng”-nya Willy Derby yang dinyanyikan dalam bahasa Belanda. ”Halo Bandung Salam Anakku Sayang. Aku Sangat Merindukanmu Nak”
Segala bentuk adaptasi sudah semestinya harus disiapkan sejak dini karena pandemi, bisa jadi, tidak datang sekali ini saja.